Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Monday, June 9, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 5

The Failure Climbêr

Pagi itu tidak cerah-cerah amat, langit digeromboli awan di sana sini. Matahari tidak dapat menghadirkan sosok dirinya untuk menyapamu bersama teman-temanmu dengan kehangatannya. Tapi dingin hari itu sangat menusuk. Dingin itu, merayap, menggerayangi, dan menikam apa saja yang mempunyai saraf nyeri, dingin dengan tusukan-tusukan yang amat menyiksa. Hingga engkau tak dapat mentolerir untuk membiarkan kulit tangan, kaki, tengkuk leher dalam keadaan terbuka. Engkau lindungi mereka dengan jaket tebal warna coklat. Engkau pakai skibo. Sesekali kabut gunung turun begitu cepat dan tiba-tiba. Kehadirannya tidak pernah engkau sadari sama sekali. Tahu-tahu ia ada di depanmu. Menghambat pantulan sinar benda-benda untuk sampai ke retinamu yang hitam legam, seperti terhalang tangan-tangan lembut yang tidak kentara. Hingga engkau tidak dapat merasakan pandanganmu leluasa ke depan. Dinginnya pagi membuat pembuluh darah di wajahmu menjadi mengerut hingga membuat wajahmu pucat tapi terlihat bersih. Dinginnya udara membuat uap-uap air mengental, dan engkau tidak menyadarinya. Semburan uap yang keluar dari lubang hidungmu, berirama seperti kenalpot kendaraan bermotor dua tak.

Keletihan yang terpancar dari tatapan matamu karena malam itu engkau habiskan semuanya dengan jalan, menyisiri jalan setapak yang terus menanjak, karena engkau bersama-sama tujuh orang temanmu beriltizam untuk mencapai puncak gunung itu.

Sudah sebelas jam engkau berjalan, walaupun engkau dan teman-temanmu mencoba tidur, namun angin dingin yang tajam menancapkan duri-durinya di permukaan kulitmu yang menusuk, menggugat kenyamanan tidurmu yang baru lima menit. Kemudian tiba-tiba saja otot-otot yang menempel di tulang-tulangmu, berkontraksi ritmis, membakar persediaan glikogen yang ada di dalamnya, membangkitkan panas agar metabolisme dalam tubuhmu tetap berjalan dan engkau akan tetap terus hidup, muncul suara gemeretak gigi-gigi, tungkai, lengan, tangan dan kaki berirama mengerak-gerakkan gerakan bergetar-getar, sangat mengganggu kenyamanan tidurmu. Alias kalian ini menggigil. Hingga engkau dan teman-temanmu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan agar tetap hangat dan tidak menggigil.

Engkau pacu otot-otot kaki, tungkai dan paha untuk terus berkontraksi. Rasa keju, kêmêng, keletihan engkau tahan. Engkau susuri gunung itu di malam hari yang dingin menggigit. Tidak engkau pedulikan hujan turun yang memaksamu untuk terus menundukkan muka. Tidak engkau pedulikan bau belerang yang membusuk menyengat di sana sini. Tidak engkau pedulikan air yang mengalir disibak oleh sepatumu yang putih kemudian bermetamorfosis menjadi coklat kehitaman. Sedikit rasa cemas, was-was, dan kemasygulan akan keadaanmu. Engkau harus berjuang melawan semua itu. Engkau dan tujuh orang temanmu bertekad mencapai puncak.

Hingga tiba suatu saat gunung yang ada dihadapanmu engkau anggap seolah-olah begitu sombong untuk engkau taklukkan. Kabut menghalangi pandanganmu akan puncak gunung itu. Tidak ada tanda-tanda kabar gembira yang engkau lihat. Puncak gunung tidak juga engkau lihat, walaupun tanda panah sudah enam kali menunjukkan tulisan puncak. Engkau berjuang melawan rasa frustrasi yang terus menerus menggelayuti pikiran dan hatimu.

Akhirnya engkau dan tujuh orang temanmu memutuskan berhenti sejenak, sholat subuh, walaupun jam sudah menunjukkan lima lebih seperempat. Engkau ambil wudlu dari embun yang menempel di daun tanaman yang membisu.

Gunung itu dan penghuninya begitu membisu. Tidak terusik sama sekali atas kehadiranmu. Yang bergejolak hanyalah hati dan emosimu sendiri. Tidak satupun engkau jumpai benda bergerak sama sekali. Sekali saja engkau berjumpa dengan makhluk seperti burung puyuh yang sering engkau jumpai ketika engkau di bawah sana. Engkau bukan seorang biolog hewan, hingga engkau tidak dapat mengidentifikasi gerangan apakah nama burung itu.

Engkau dan tujuh orang temanmu terus berjalan ke atas, menerobos kabut yang makin tebal dan sesekali ada gumpalan-gumpalan air yang menetes, orang menyebutnya embun. Embun itu begitu banyak, hingga engkau harus pakai mantel jas hujanmu. Empat kali engkau dan tujuh temanmu itu berjalan dalam siraman air hujan yang dingin menusuk.

Akhirnya, engkau dan tujuh temanmu memutuskan berhenti lagi. Kali ini untuk sarapan. Engkau keluarkan persediaan supermimu. Salah seorang temanmu mengeluarkan parafin, lalu membakarnya. Sedangkan seorang temanmu yang lain lagi, mengeluarkan rantang dan menuangkan air aqua yang engkau bawa. Engkau bakar rantang itu, membuat air itu bergelembung-bergelumbung mengeluarkan udara yang ada di dalamnya. Seketika itu engkau tuangkan supermi, temanmu tuangkan mi sedaap, yang lain tuangkan Indomie dan Sarimi. Jadilah sebuah pesta sarapan yang menyenangkan.

Engkau dan tujuh temanmu terus berjalan lagi, engkau pacu otot-otot kaki, tungkai dan pahamu terus berkontraksi. Lagi, lagi dan lagi. Tantanganmu kini makin berat, permukaan yang engkau lalui makin tajam kemiringannya, makin licin dan sesekali hujan turun deras. Beberapa kali engkau terjatuh, alhamdulillah, engkau masih dalam lindungan-Nya. Engkau tidak terperosok, masih bisa berpegangan pada ranting-ranting yang kokoh.

Akhirnya engkau sampai di pos enam. Engkau dan tujuh temanmu beristirahat, mengobrol, mengeluarkan persediaan makanan. Kalian selonjorkan kaki. Kalian usir kepenatan yang makin memuncak saja rasanya. Engkau rebahkan tubuhmu. Engkau molet. Terasa lepas semua rasa keju, kêmêng, dan letih di otot-otot punggung, otot-otot kaki, tungkai, paha, tangan, dan lengan. Terasa seperti dimanjakan. Engkau merasa sudah di puncak gunung. Engkau merasa puas telah menaklukkan gunung yang telah engkau anggap sombong. Seharusnya engkau merasa dirimulah yang kecil tidak ada apa-apanya dengan ciptaan Allah yang satu itu.

Tiba-tiba kemelut perasaan, pikiran dan khayalanmu pudar. Seorang temanmu tlah memberitahumu, masih ada satu jam perjalanan lagi untuk benar-benar mencapai puncak. Engkau terkejut, engkau marah, engkau merasa frustrasi, engkau jengkel. Engkau masih saja merasa gunung itu sombong padamu. Dasar gunung brengsek, jual mahal, pasang harga tinggi, sok jinak lu, berbagai umpatan muncul sebagai tanda rasa frustrasimu. Sebenarnya, engkaulah yang tidak tahu diri.

Engkau berpikir realistis, besok pagi engkau masih harus kuliah. Engkau lihat jarum yang rajin berputar tanpa berhenti. Sudah jam sembilan pagi. Sesudah engkau hitung, engkau heran, sudah sebelas jam engkau berjalan. Engkau merasa ragu, bilakah nanti sampai bawah. Pasti kemalaman. Pasti engkau tidak dapat berangkat kuliah dalam keadaan fresh. Sekali lagi engkau terkejut, dan kendur seketika iltizammu. Katanya akan engkau taklukkan gunung itu. Kini engkau dalam posisi tersudut. Engkau harus mengakui kekalahan telakmu. Kekalahan yang menyakitkan. Hanya kurang satu jam perjalanan. Tidak ada oleh-oleh membawa fotomu dan tujuh orang temanmu yang berada di puncak gunung itu.

Engkau kecewa, namun engkau masih bisa menghibur diri, yang penting engkau merasa enjoy menikmati petualangan itu.

Dan lihatlah betapa muram wajah yang engkau perlihatkan, engkau tidak bisa menutupinya. Muram wajahmu lebih muram ketimbang bulan yang masih mencoba menantang kedigdayaan sinar matahari di pagi hari yang mulai menyilaukan. Benar! Engkau tidak dapat menutupinya. Bahkan engkau berusaha merahasiakan setelah turun nanti, seolah-olah engkau tidak pernah naik gunung. Walaupun engkau menyadari sesadar-sadarnya bahwa Allah Maha Tahu terhadap apa yang engkau perbuat. Emosimu terlalu dangkal. Gengsimu terlalu tinggi. Engkau ingkari kenyataan bahwa engkau tidak sampai ke puncak.

Kalian akhirnya berbaiat tidak akan menceritakan pengalaman memalukan itu kepada siapapun. Kalian buat skenario, seolah-olah kalian baru pulang dari kampung.

1 comment:

Linux Center said...

Membaca kisah novel ini jadi senyum-senyum sendiri. Tokoh Iqbalnya sekarang jadi tetangga depan rumah. Salam dari Mukuh, mas

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments