Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Thursday, June 5, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 3

Nganjuk -1

Nganjuk, sebuah kota kecil 126 km dari barat kota Surabaya dan 180 km di timur kota Solo. Sebelah selatan kabupaten Nganjuk adalah kabupaten Kediri, sebelah timurnya adalah kabupaten Jombang, sebelah utaranya berbatasan dengan kabupaten Bojonegoro dan sebelah baratnya berseberangan dengan kabupaten Madiun. Sawah-sawah yang terhampar luas banyak dijumpai mengepung perkampungan penduduk demikian juga dengan hutan terutama yang berbatasan dengan Madiun, Kediri seolah memagari perkampungan penduduk, dengan pagar pohon-pohon yang tertata rapi berbaris seperti tentara melindunginya dari segala marabahaya. Hutan-hutan di barat menggerombol, menjorok, merapat, sebagian melintasi jalan seperti tangan raksasa, jari-jarinya mencengkeram ruas-ruas jalan.

Ibuku pernah cerita, tatkala masih kecil, perjalanan dari Nganjuk menuju Madiun, kadang-kadang harus berhenti sejenak karena ada harimau yang lewat. Sekarang harimau itu sudah tidak ada, mungkin sudah punah. Ketika itu kendaraan yang dinaiki ibuku adalah truk terbuka, walaupun waktu itu ada juga transportasi kereta api.

Aku dan kedua adikku yang semuanya laki-laki lahir dan besar di Nganjuk. Kedua kakakku yang semuanya perempuan lahir di Kediri dan besar di Nganjuk. Aku adalah anak laki-laki pertama bapak ibuku. Karena itu mereka sangat bahagia begitu aku terlahir sebagai anak laki-laki. Namun kebahagiaan itu, tergadai sesaat, ketika aku pernah mengalami kejang-kejang dan demam tinggi, yang kata bapakku waktu itu kejang bisa sampai lebih dari dua puluh kali sehari. Setelah diperiksa dokter Ahmad Sanusi di Nganjuk, segera aku dirujuk menuju rumah sakit dokter Soetomo Surabaya. Aku opname di sana selama lebih dari tiga bulan. Benar-benar menguras harta yang dipunyai kedua orang tuaku. Aku didiagnosis menderita meningitis, suatu peradangan pada selaput otak, aku tidak mendapatkan informasi yang jelas apa sebab meningitis yang menghinggapi tubuhku waktu itu, apa karena virus atau bakteri atau sebab lainnya. Yang jelas, menurut cerita ibuku, waktu itu ada 19 bayi yang dirawat satu kamar dengan aku. Semuanya meninggal dan yang tersisa tinggal 2 bayi, diantaranya aku. Ketika aku keluar dari rumah sakit, dokter anak yang merawat aku, berkata kepada bapakku, bahwa kemungkinan besar aku akan menjadi anak yang mengalami keterbelakangan mental dan sukar dididik. Bapakku begitu keluar ruangan, langsung menangis sejadi-jadinya sambil memandangi aku dengan penuh rasa iba. Dan benar, aku baru bisa jalan tatkala berusia dua tahun, pada umur tiga tahun kata bapakku kata-kata yang keluar dari mulutku hanya “oo” “oo” dan “oo”. Bapakku memeriksakan aku ke dokter Ahmad Sanusi lagi dan memberikan resep kepadaku Encephabol sirup diminum 3 ´ 1 sendok makan. Kata bapakku, obat itu aku konsumsi sampai aku berusia 5 tahun. Sejak usia 3 tahun, oleh bapak, aku dimasukkan sekolah TK. Bapakku punya maksud agar ada sparing partner bicara. Sehingga dapat mengejar ketertinggalanku dalam hal berbicara. Ternyata yang diprediksikan oleh dokter anak itu, alhamdulillah tidak benar. Aku termasuk siswa yang mendapatkan ranking baik di SD, SMP maupun SMA. Sekarang dokter anak yang merawatku mungkin tidak percaya kalau aku ini bisa kuliah di Fakultas Kedokteran.

Kakakku yang sulung Fatimah Nur Khasanah, co-Ass di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung. Kakakku yang kedua, Malika Hidayati, nasibnya lebih beruntung diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga barusan wisuda sarjana kedokteran. Aku sendiri, Abdul Karim Abdullah, baru menginjak tahun ketiga di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adikku, anak ke 4, Muhammad Iqbal, baru lulus SMA, gagal masuk perguruan tinggi negeri, 2 tahun ini. Dia itu KORPRI; ikut bimbingan belajar di Primagama, tetapi gagal sehingga orang menyebutnya dengan istilah KORPRI; KORban PRImagama. Adikku yang bungsu, Muhammad Harun, masih duduk di kelas 3 SMA Negeri I Nganjuk, riwayat akademisnya selalu mendapat ranking satu.

Mbak Fatimah, orangnya keras dan tomboy hingga mbak Fat SMA. Banyak hal-hal yang bersifat kelaki-lakian selalu dikerjakan sendiri. Memperbaiki sepedanya sendiri tanpa bantuan bapak atau dibengkel sepeda. Juga mereparasi sepeda motornya sendiri ketika bapak membelikan sepeda motor ketika SMA. Tidak hanya itu saja, sampai dandanannya pun kelaki-lakian. Di luar sekolah lebih banyak memakai celana ketimbang rok. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah ketika kuliah di semarang. Ia lebih anggun, memakai kulot, bahkan sekarang memakai jilbab.

Mbak Malika, orangnya pendiam, kurang ekspresif, minatnya terlalu besar pada hal-hal akademis. Kalau besok ujian, pulang sekolah, habis ganti baju dan makan siang, langsung tutup pintu kamar dan belajar. Menjadi pertapa.

Namanya perempuan, sering aku menjumpai mereka berdua satru[1], bahkan ketika nonton TV atau makan bareng. Sayangnya, bapak sering kurang tanggap atau pura-pura tidak tahu melihat hal tersebut. Lucu juga tatkala mereka mengakhiri masa satru atau kami biasa menyebutnya wawuh. Pernah temanku sewaktu SD, proses wawuh-nya pakai sembunyi-sembunyi segala. Waktu itu, malam takbiran idul fitri, dengan membawa óncór ada empat orang temanku wanita, berlari di belakang sekolah. Aku curiga ada apa mereka berempat. Ternyata itu dua orang yang satru dengan malu-malu bersalaman, dengan dua orang yang lain berperan sebagai “obat nyamuk” membumbui agar proses itu berjalan dengan lancar.

Dik Iqbal, orangnya agak pemberontak. Sejak kecil kalau tidak setuju dengan apa yang diinginkannya, dia ngambek. Ngambêknya unik, seperti memakan kertas, memakan daun atau kadang-kadang bila memuncak membentur-benturkan kepalanya pada dinding. Tetapi bila segala sesuatu sesuai dengan keinginannya, semangat juang dan daya bantingnya luar biasa. Mengurangi waktu bermain, bahkan sampai siang-siang panas pun tetap diterabas. Aku sangat terkesan dengan semangatnya berlatih badminton, dan ternyata dia juara lomba badminton SD di tingkat kecamatan.

Dik Harun, lain lagi karakternya. Dia kebetulan mempunyai banyak kesamaan dengan hal-hal yang disenangi bapak. Rajin belajar, senang utak-utik memperbaiki radio kami yang rusak. Tidak hanya itu saja, banyak inisiatifnya yang disukai bapak. Seperti memendam kabel listrik di tembok, lalu menambal dan melabur kembali tembok yang telah dibobok itu.

Melihat berbagai karakter anak-anaknya itu, secara tanpa sadar, walaupun tidak dilakukan secara sengaja oleh bapak, dipersepsi oleh kami anak-anaknya sebagai perilaku pilih kasih. Terutama terhadap mbak Malika dan Harun.

mbok kamu itu kayak mbak Malika, belajarnya rajin” kata bapak menasihati dik Iqbal dan aku tatkala nilai harianku tidak baik.

“Malika itu, nilainya sembilan dan sepuluh. Dia juga juara pidato bahasa Inggris” cerita ibuku kepada para pelangganya di warung makan.

Untuk dik Harun, dia tidak sesering “dipamerkan”, tetapi dia itu sedikit sekali mengalami konflik dengan bapak. Bahkan dapat dikatakan tidak pernah dimarahi, selalu akur-akur saja.

Bukannya iri, tetapi ada rasa tidak enak saja. Maafkan aku ya, bapak ibuku tercinta. Aku sangat tidak nyaman dengan kondisi psikologis Iqbal akhir-akhir ini. Rasanya seperti terpuruk saja.

“Mas Karim, rasanya aku malês. Malês untuk sholat, buat apa aku harus melakukannya” kata dik Iqbal yang tanpa disadarinya, di kelopak mata bagian bawah, meneteskan bulir bening air mata. Baru aku sadari kalau dik Iqbal ternyata hatinya lembut dan sensitif. Selama ini yang aku lihat dia cuek, pemberontak, dan tak pernah merasa bersedih. Baru kali ini aku lihat dia begitu terpukul.

“Aku bisa rasakan kepedihan itu dik. Aku lihat dulu ketika mbak Fat tidak diterima SIPENMARU[2] juga sedih dan sakit seperti yang kamu rasakan dik.” Aku mencoba menghiburnya.

“Kalau dik Iqbal, kuliah di UMS[3], mau dik? Tidak harus kedokteran. Tuh mas Jatmiko dia kuliah di teknik sipil, malah enak. Kalau jadi Insinyur enak kerjanya. Tinggal ngawasi, dan orang lain yang kerja. Biaya kuliah lebih murah ketimbang kedokteran” aku mencoba mengajaknya berpikir rasional.

“Tapi, tenangkan hati dulu, berpikir masak-masak, sholat istikharah ya dik”

Dik Iqbal masih terdiam, membisu tidak ada respons sama sekali terhadap apa yang barusan kukatakan padanya.

“Kamu pingin sendiri tho dik? Ya sudah mas tak pergi dulu” kataku sebagai isyarat aku berpamitan meninggalkannya di kamar tidur kami.

BERSAMBUNG..

[1] Tidak saling menyapa karena habis bertengkar

[2] SIPENMARU = Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, untuk bisa kuliah di universitas pemerintah harus lulus seleksi ini

[3] Universitas Muhammadiyah Surakarta

1 comment:

SETYO said...

Assalamu'alaikum...
Wah tulisannya bagus pak (maksudnya ceritanya). Salut masih punya kesempatan untuk menyalurkan kemampuan menulisnya.
Saya merasa banyak bagian yang merupakan kisah nyata. he..he..he..BTW
Saya agak bingung dengan kata-kata atau istilah "failure climber"...??

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments