Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Thursday, June 12, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 9

wisuda sarjana kedokteran --> co-ass; 2001

Bagiku wisuda sarjana kedokteran bukanlah sesuatu yang sakral. Ia hanyalah sebuah pertanda aku sudah menyelesaikan satu tahap dalam garis perjalanan hidupku sebagai mahasiswa fakultas kedokteran. Masih ada perjalanan yang tidak kalah menegangkan seperti ketika menempuh pendidikan yang hanya di bangku kuliah dan ruang praktikum. Perjalanan yang penuh kejutan dan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Kuhitung-hitung ada 20 bagian yang harus kulalui selama 2 tahun 3 bulan.

Walaupun terlambat satu semester wisuda, aku bisa bernafas lega, karena satu episode yang melelahkan, mengalahkan badai yang menghadang dan nyaris membuat diriku merasa frustrasi dan depresi. Kepercayaan diri yang terguncang, menggoyahkan keyakinanku kepada Allah, mulai “menggugat” mengapa aku ditakdirkan seperti ini. Mengapa harus dipilih orang semacam aku. Mengapa aku harus berjumpa dengan dirinya yang pernah mengisi ruang di hatiku. Mengapa aku dilahirkan dari orang tua yang mengkhawatirkan secara ekonomi bagiku sebagai mahasiswa fakultas kedokteran. Mengapa Engkau membuat bapak ibuku harus terjerat utang pada rentenir, hingga satu per satu sawah yang mereka kumpulkan selama bertahun-tahun habis tak tersisa. Mengapa Engkau buat dik Iqbal harus merelakan diri tidak dapat merasakan setidaknya mendaftar di Fakultas Kedokteran swasta seperti ketiga kakaknya. Mengapa Engkau buat dik Iqbal harus memecah pikiran dan perhatiannya mencari nafkah selain memikirkan kuliahnya. Mengapa Engkau harus membuat bapak ibuku, aku dan kedua adikku, harus menempati rumah yang belum selesai dibangun, tidur berbulan-bulan di atas tikar, dengan hembusan angin malam yang meraung-raung tak kenal ampun karena dinding rumah belum sempurna dan atap belum menutup penuh. Semuanya demi kedua kakakku agar dapat kuliah di Fakultas Kedokteran.

Segera masa itu berlalu. Segera pula terucap “astaghfirullahal’adhiim”. Bila aku berlarut-larut dalam pikiran-pikiran itu, membuatku letih, pandangan kabur, badan terasa enteng dan melayang, sering berdebar-debar, sering nyeri di dada, dan merasa madesu[1]. Di tengah kesulitan yang mendera hidupku ada kabar penghibur bagiku, bapak ibuku dan kedua kakak dan adikku. Harusnya aku selalu senang dan berusaha untuk mencari cara agar aku merasakan kebahagiaan, walaupun orang memandang aku dan keluargaku berada dalam kesusahan.

Perlahan aku menyadari banyak nikmat yang terselip diantara kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluargaku. Alhamdulillah, ya Allah telah Engkau bukakan pintu hidayahMu untukku. Aku sangat bersyukur kepadaMu. Dua temanku seangkatan menderita schizophrenia, salah satunya mati bunuh diri. Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih membuatku tegar. Jiwaku tidak mengalami sakit yang permanen. Terhitung tiga temanku mengalami DO[2] walaupun mereka tetap kuliah menyelesaikan kuliah di Fakultas lain. Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih menghendaki kembalinya semangat hidupku. Berbagai peristiwa yang aku hadapi bila diskor dengan menggunakan skala Holmes[3] pasti di atas 300, yang berarti aku sangat rentan untuk menderita gangguan jiwa. Alhamdulillah aku tidak mengalaminya. Kepribadianku masih utuh. Kesehatan mentalku masih baik. Aku bisa bangkit. Satu semester terakhirku, yaitu semester sembilan adalah masa turn around-ku. Aku putar haluan, tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang menderaku, aku kuatkan tekadku untuk kembali. Kembali konsentrasi belajar. Kembali melihat kenyataan. Kembali sadar, bahwa aku ini anak petani desa yang harus tegar untuk berjuang. Kembali sadar, bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan segala pengorbanan yang telah diberikan oleh kedua orang tuaku, kedua adikku yang tentunya hidup dengan pas-pasan mengorbankan banyak kesenangan masa remaja yang tidak mereka peroleh sebagaimana aku dan kedua kakakku alami. Kembali sadar, aku tidak boleh berlarut-larut dalam rasa bersalah dan berdosa atas kesalahan dan terlenanya aku. Aku harus menebus kesalahan itu dengan segera menyelesaikan sarjanaku.

Wisuda sarjana kali ini juga membawa kegembiraan tersendiri buatku, terutama dalam membantu dik Iqbal yang ikut menyangga beban kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan aku co-ass, berarti sering jaga di rumah sakit. Kalau jaga di rumah sakit, berarti dapat ransum makan siang, malam dan pagi. Lumayan bisa menghemat pengeluaran untuk makan. Dan menu makanannya enak, ada dagingnya. Tidak seperti yang sering aku dan dik Iqbal jajan makan. Seringnya kami membuat istilah MTK untuk singkatan maêm tempe kaleh, makan tempe dua biji. Minum air putih tidak dihitung. Biasanya kalau makan MTK habisnya 2.000 rupiah.

Bersamaan dengan aku co-ass usaha dik Iqbal bertambah pesat. Usaha berada di kos-kosan. Dik Iqbal menyewa satu kamar lagi, untuk tempat usahanya. Satu kamar itu diisi empat unit komputer. Dik Iqbal pintar juga bernegosiasi dengan ibu kos untuk menambah daya listrik kos-kosan dan tawaran komitmennya untuk membayar kelebihan tagihan yang melebihi besar tagihan biasanya. Aku tidak tahu bagaimana teknik negosiasi dik Iqbal hingga ibu kos setuju dengan tawarannya.

Dengan melihat kondisi keuangan dik Iqbal itu, aku santai saja bila makan enak dari ransum makanan ketika jaga. Walaupun dengan berlalunya waktu, mulai bosan juga dengan menu makanan yang akhirnya aku hafal urut-urutan jenisnya, tetapi ransum makan itu sangat berarti untuk menghemat pengeluaran makan. Aku sendiri juga mulai mengikuti jejak dik Iqbal untuk berusaha mandiri. Dengan mendompleng usaha dik Iqbal kuberanikan diri membuka jasa penerjemahan. Jasa yang aku berikan adalah menerjemahkan makalah dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Terutama ini berguna bagi co-ass atau residen untuk tugas reading journal. Aku patok tarif Rp 2.000,- per lembar untuk pengetikan dan penerjemahan. Aku tidak mengambil harga pasaran waktu itu Rp 5.000,-. Niatku untuk membantu, disamping aku merasa bahasa Inggrisku masih belum baik dan dengan membuka jasa penerjemahan itu aku berharap dapat meningkatkan kemampuanku dalam memahami dan mengekspresikan kata-kata dalam bahasa Indonesia ilmiah. Dari pendapatan itu lumayan aku bisa menyisihkan uang untuk membayar SPP untuk semester mendatang. Pelangganku terbesar adalah residen[4] Obgyn. Disamping mulai menyusul residen paru dan satu dua residen bedah. Kadang-kadang pula aku memberikan layanan gratis menerjemahkan dengan mendikte teman-teman co-ass yang satu bagian denganku.

-------------------


Suatu siang yang panas, sehabis naik bis kota dari rumah sakit, segera ingin ku teguk air dingin yang ada dikamarku tinggal bersama dengan dik Iqbal dan merebahkan tubuhku yang penat ini. Namun apa yang selintas kulihat ketika melalui kamar kerja kami, membuatku terkejut dan segera mengurungkan hasrat melepas dahaga dan kepenatan karena habis jaga tadi malam.

“Apa ini dik Iqbal?”

“Kamu beli VCD player dan CD-CD bajakan ya?”

“Kamu dapat uangnya dari mana?”

Segerombol pertanyaan meluncur begitu deras laksana hujan deras di siang yang terang benderang. Aku tidak dapat menahan rasa keterkejutan, rasa kemarahan dan tersinggung, karena merasa aku telah dilangkahi dalam membuat keputusan penting. Yang lebih merisaukanku saat itu adalah hadirnya CD-CD bajakan, disamping kalau-kalau dik Iqbal meminjam uang kepada teman untuk membeli VCD player dan CD-CD itu.

“mas Antok meminjamiku uang mas” jawab dik Iqbal

“berapa?” tanyaku dengan nada selidik

“enam ratus ribu mas” jawab dik Iqbal dengan suara serak dan takut.

“terus kamu janji mau mengembalikannya kapan?”

“dicicil kok mas”

“berapa kali, berapa besar cicilannya dan berapa bulan lunas” aku tanya ini karena sewaktu praktek PPKM[1] di puskesmas, aku melihat banyak staf puskesmas yang hobi ngutang kalau beli barang-barang untuk keperluan rumah tangga.

“dicicil empat kali, plus nambah komisi sepuluh persen” jawab dik Iqbal dengan suara yang makin pelan.

“Sepuluh persen itu total setelah lunas atau setiap cicilan?” tanyaku dengan nada agak tinggi

“Setiap cicilan” suara dik Iqbal makin mengerut

“Berarti setiap bulan kamu mengasih komisi sepuluh persen? Setiap cicilan? Ini riba!” hatiku tersentak dan tidak percaya. Tega-teganya temanku satu kos Antok itu mencari keuntungan dari jerih payah adikku. Aku jadi ingat perkataan Barkah tentang bisnis dan masalah uang.

“Akhlaq seseorang itu, terlihat ketika ia berhadapan langsung dengan uang. Seorang ustadz yang berceramah di sana-sini, bisa berkata tentang hal-hal normatif bahkan sangat keras sekalipun. Sering terdengar beliau ini menjadi lembek bahkan menjadi pemain yang buruk dalam hal uang. Kalau berhitung masalah uang orang sering mudah lupa dan hanya berpikir tentang keuntungan besar yang akan diperoleh dalam jangka waktu yang singkat.”

“Ujian keimanan seseorang itu, akan sangat terlihat ketika ia dalam posisi bisa memilih mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan bagi dirinya di satu sisi, tetapi ada pihak-pihak lain yang jelas-jelas menderita kerugian dari pilihan-pilihan itu. Bagaimana ia memikirkan dengan keras pihak-pihak lain yang mempunyai dampak itulah yang membuat seseorang itu bermakna atau tidak.”

Aku hanya bisa merenungi kata-kata itu, sambil berjalan menuju kamar istirahatku, menuangkan air dingin ke permukaan tenggorokanku yang memanas akibat terik matahari yang terasa menyengat ketika aku berada di dalam bis kota tadi. Kubuka baju, hanya memakai kaos dalam, aku berbaring di tempat tidur sambil memandang keluar dengan tatapan mata kosong.

“Penghasilan dari menyewakan VCD player dan CDnya sudah kuperhitungkan mas Karim. Aku perkirakan dalam empat bulan lunas termasuk komisi yang kuberikan kepada mas Antok.” Tiba-tiba dik Iqbal muncul dari hadapanku, memecah tatapan kosongku di siang bolong.

“Ya sudah. Kalau sudah kamu perhitungkan. Aku cuman berpesan hati-hati kalau berhadapan dengan uang.” Jawabku dengan nada yang mulai melemah, karena kantuk mulai menarik-narik kelopak mataku, hingga terasa berat untuk mempertahankan mata ini dalam keadaan terbuka, sebuah fase tidur yang disebut REM (rapid eye movement; karena mata berkedip-kedip à gerakan mata cepat). Aku mulai memasuki fase tidur non REM alias terlelap dalam tidur siang. Jangan coba-coba membangunkan orang ketika memasuki fase tidur ini. Dijamin akan sulit bangun dan tidak akan mampu menceritakan mimpi apa yang dia alami.

----------------------

Gedung TBS (Taman Budaya Surakarta), sebuah gedung yang sangat kental bernuansa jawa. Bangunan joglo, ada undak-undakan khas bangunan punden, aula besar dan luas tempat berbagai pertunjukan seni digelar, digabung dengan penataan lampu dan tata ruang yang sangat entertaint menimbulkan kesan yang nyaman, enak, eye catching dan ada nuansa kolosal bila melihat pentas-pentas yang disajikan secara live. Bangunan yang dibangun dengan harapan akan menjadi simbol budaya orang Solo, terletak di sebelah barat serong ke utara dari kos tempat kami tinggal. Di seberang jalan depannya banyak berjejer pedagang makanan yang menjajakan beraneka macam masakan yang terutama disajikan untuk anak-anak kos macam aku dan teman-temanku. Murah, tetapi porsi besar, mengenyangkan, sehingga tubuh bisa tegak menghadapi buku-buku dan berbagai pengalaman pembelajaran dengan efektif dan efisien.

Setiap bulan selalu saja ada kegiatan pameran-pameran atau pagelaran kesenian. Aku dan teman-teman satu kos selalu menunggu-nunggu saat-saat itu. Yang rutin aku lihat setiap bulan adalah sajian keroncong live dari HAMKRI[1] cabang Surakarta.

Yang menikmati sajian keroncong ini, tidak saja para mahasiswa, tetapi yang pasti sebagian besarnya adalah orang-orang kampung yang ada di sekitar kos kami. Tetapi orientasi mereka kebanyakan lain. Yang dilihat disamping hiburan yang disajikan adalah keelokan wajah dan tubuh yang menyanyikan, terutama para biduanitanya. Pernah suatu ketika ada segerombolan pemuda yang pulang tidak jadi menonton, kemudian ditanya salah seorang penduduk kampung,

Lho kok kembali mas? Tidak jadi menonton keroncongnya?”

Lha wong yang nyanyi ‘doktoranda-doktoranda[2] pak dhé

Maksudnya yang menyanyi orang paruh baya. Sehingga secara penampilan tidak menarik bagi para kawula muda kampung, walaupun suaranya merdu seperti Waljinah, penyanyi keroncong terkenal itu.

Kampung di dekat kos kami, para pemuda dan bapak-bapaknya sering mengalami gempa. Kalau gempa yang membuat kerusakan dahsyat berskala Richter, tetapi gempa di kampung dekat kos kami ini hampir setiap hari terjadi dan berskala liter. Artinya setelah menenggak ciu[3] beberapa mili liter hingga berliter-liter, baru terjadi gempa setempat. Gempa setempat ini akan meluas manakala ada orang kampung yang sedang punya hajat. Mulai kelahiran bayi, khitan, dan manténan. Bahkan kematian pun juga diiringi pesta “gempa”. Anehnya setelah berdirinya masjid Sabililah dekat dengan kos kami, peristiwa “gempa” itu turun drastis. Walaupun ada satu dua orang yang masih bersolo karier melakukan ritual rutin membangkitkan “gempa” setiap malam.

Sajian lain yang disuguhkan di TBS adalah theatre live dan salah satu aktornya adalah teman dekat tetangga kos. Teman-teman menyebutnya Simbah, karena seluruh rambutnya hampir memutih, padahal usianya baru dua puluh tahun. Dia pernah bilang penyebab rambut putihnya adalah ketika mencukur rambutnya di tukang potong rambut madura, oleh si pencukur ditaburi bedak putih, setelah memotong rambutnya. Karena peristiwa itu terjadi berulang-ulang maka jadi putihlah rambutnya. Walaupun sebenarnya semua pelanggan di tukang potong rambut madura juga ditaburi bedak putih. Mengapa terjadi perbedaan hasil, yang lain tetap hitam rambutnya termasuk diriku, sedangkan Simbah rambutnya berubah banyak putih itulah yang tidak habis ia mengerti.

Orangnya pinter melucu, dan ada lagi kelebihannya adalah kalau diminta kentut sewaktu-waktu pasti dia bisa menghasilkan.

“Ayo mbah… kentut!”

“tut..tut …préét”

“lagi mbah!”

“tut..tut…préét”

“lagi..!”

“tut…préét”

“sekali lagi!”

“tut..préét”

Aku tidak tahu, gerangan apakah yang menyebabkan dia bisa sangat produktif seperti itu. Kayaknya tidak ada dalam pembahasan di textbook ilmu kedokteran yang selama ini aku pelajari. Untungnya Simbah itu laki-laki, ada lho teman dari temanku kos setiap ketawa pasti terkentut-kentut dan dia adalah seorang wanita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa malunya.

Bakat terpendam mengenai acting itu, pernah dimanfaatkan oleh salah seorang teman satu kos untuk memprovokatori dalam mengusili gadis cantik. Dasar anak laki. Aku dengar cerita itu dari mas Bagus, dan arsitek pengarah ceritanya adalah mas Antok.

Sore itu mereka berlima naik angkot, kebetulan dari jauh memandang ada gadis cantik yang dari gelagatnya juga akan naik angkot tersebut. Entah apa yang terjadi, mereka berlima tiba-tiba berêmbug, bergerombol sejenak seperti layaknya time out tim bola basket, sebelum bersama-sama naik angkot.

Setelah angkot berjalan beberapa lama, tiba-tiba

“tut..tut..preet” terdengar suara kentut. Seluruh penumpang saling pandang. Tetapi beberapa saat kemudian mereka berlima secara serempak memandangi gadis cantik tadi. Tanpa ada instruksi dari siapa-siapa, seluruh penumpang yang berada di angkot itu, ikut-ikutan memandangi gadis itu dengan warna wajah yang penuh kecurigaan dan penghinaan. Terbesit dalam pikiran orang yang naik angkot itu beraneka macam dugaan dan prasangka, walaupun tidak terekspresikan

“Gadis cantik kok tidak punya sopan santun”

“Gadis cantik kok tidak waras”

“Gadis cantik kok tidak tahu diri”

begitulah kira-kira sebagian ungkapan dalam hati semua penumpang dan awak angkot.

Kontan gadis cantik itu memerah mukanya, dan karena tidak tahan dengan tatapan-tatapan mata liar yang memandangi, ia segera memutuskan turun, walaupun belum sampai ke tempat tujuannya. Sungguh malang nian nasib gadis cantik itu. Anak-anak itu sungguh keterlaluan kalau ngerjain orang.

Simbah…Simbah….. berbakat jadi aktor, tetapi salah penempatan. Kalau dia jadi aktor theater di TBS, orang pasti akan pangling dengan Simbah. Pasti tidak menyangka kalau Simbah bisa berbuat demikian. Sungguh bisa berbeda dengan kepribadiannya saat berada di kos. Sayangya belum ditemukan oleh para pencari pemain theatre berbakat.

Mudah-mudahan nasibmu akan beruntung, sehingga tidak untuk mengusili orang yang tidak berdosa lagi.

-------------

Sambil duduk-duduk lesehan di tikar yang telah disediakan, aku memulai pembicaraan serius setelah aku dan dik Iqbal selesai makan malam di warung pak Yasin depan gedung TBS.

“Dik Iqbal, kalau ada apa-apa, termasuk ketika membuat keputusan yang bersifat penting, aku ingin dik Iqbal mengajakku untuk rembugan. Aku merasa dihormati sebagai kakak. Tetapi kejadian siang ini, membuat mas jadi merasa dilangkahi.”

“Ya mas Karim, maaf.”

“Lain kali, kalau ingin menambah modal, tidak harus meminjam dan memberikan komisi sampai sepuluh persen. Itu namanya pencekikan. BPR yang dianggap sudah mencekik saja masih berkisar 3 – 6 persen. Pak Bayan Suwardi dan pak Bas, tempat bapak pinjam uang, 6 persen. Aku tidak habis pikir, tega sekali mas Antok mau menerima sepuluh persen darimu.”

“Kalau tidak begitu, mana ada yang tertarik memberikan pinjaman modal mas. Kata mas Junaidi ini namanya opportunity cost. Orang tidak akan mengambil resiko apabila gain yang diperoleh rendah dan tidak sesuai besarnya resiko yang ditanggung” dik Iqbal mulai pintar mengungkapkan argumen-argumen yang berbau ke-ekonomi-ekonomian, padahal dia adalah mahasiswa teknik sipil. Ternyata ilmu itu agar bisa dipahami, harus dipraktekkan. Maka benar juga kata filsuf Cina:

aku membaca aku lupa

aku mendengar aku lupa

aku mengajar maka aku menjadi master.

Dik Iqbal telah menyelami teori ekonomi, mempraktekkan dan juga mengajari aku sesuatu yang baru aku tahu tentang ilmu ekonomi dalam bahasan opportunity cost.

“Aku yakin pasti ada cara lain yang lebih brilian. Allah memberikan karunia kepada kita pikiran cemerlang. Musti ada cara lain yang sama-sama menguntungkan.” Namun kataku itu hanya bisa didengarkan oleh aku sendiri. Jadi Iqbal tidak mengetahuinya, karena hanya aku batin.

-----------------------

Aku dan dik Iqbal sama-sama terdiam, sambil menghitung-hitung berapa yang harus kami bayar kepada pak Yasin. Dengan sedikit basa-basi tanda keakraban, kami berpamitan pulang berjalan menuju tempat kos dalam keadaan diam larut dalam pikiran kami masing-masing.

Tidak ada solusi, tetapi kehidupan terus berjalan menapaki waktu yang tidak pernah diam, apalagi mundur ke belakang, terus menapaki detik demi detik maju ke depan. Tidak akan pernah kembali selamanya. Hanya dalam imajinasi orang-orang Holywood saja yang ada hukum mundurnya waktu, atau melompat jauh ke depan sesuai dengan keinginan manusia.

BERSAMBUNG...

[1] Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia

[2] doktoranda yang dimaksud adalah untuk gelar yang disingkat dra.

[3] Minuman beralkohol tinggi produksi tradisional




[1] Program Pendidikan Kesehatan Masyarakat


[1] masa depan suram

[2] drop out

[3] skor untuk menilai derajat stress yang dialami seseorang

[4] istilah residen digunakaan untuk dokter umum yang sekolah lagi mengambil spesialisasi

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments