Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Tuesday, June 17, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 12

Usaha Iqbal berkembang


Dik Iqbal usahanya dari hari ke hari makin mencrong saja. Koleksi VCD Playernya makin banyak. Aku hitung sudah ada dua puluh limaan. Komputer ada lima unit. Dan tidak ketinggalan CD berbagai macam film dan tentu saja semuanya bajakan. Karyawannya ada empat orang. Mas Praba, mas Bono, Yules dan Pendik. Mas Praba dan mas Bono mengurusi rental komputer, sedangkan Yules dan Pendik mengurusi persewan VCD player dan CD. Setiap malam dik Iqbal selalu kulihat dengan membawa uang segepok banyaknya. Dengan uang segepok setiap malam itu dik Iqbal tidak lagi meminta uang SPP kepada bapak atau ibu di Nganjuk. Aku sendiri juga kecipratan rezeqi. Masalah uang makan tidak usah memikirkan karena orderku menerjemahkan setiap hari juga makin banyak. Termasuk uang untuk membayar SPP walaupun sebagian dari uangku sendiri, tetapi juga dik Iqbal ikut membantu. Dengan kondisi secara finansial sudah mulai “stabil” seperti itu, harusnya aku senang. Aku dan dik Iqbal bisa bangga karena bisa mandiri, tidak usah meminta-minta kiriman dari orang tua. Aku juga memaklumi kesulitan yang masih melilit yang dihadapi kedua orang tuaku. Aku dan dik Iqbal sudah membulatkan tekad untuk tidak menambah beban kepada orang tua lagi. Kami tidak ingin bapak ibu menjual harta berharga satu-satunya bapak ibu, yaitu rumah yang tempati saat ini. Kasihan bapak ibu.

Tetapi perasaan tenang itu masih menyimpan kejanggalan. Masih ada yang mengganjal tentang keadaan aku dan dik Iqbal di Solo. Yang pertama, sumber pendanaan yang dipakai dik Iqbal dalam menjalankan usaha. Masih tetap memakai seperti yang pertama dulu ketika membeli VCD player. Memberikan bunga 10 %. Pernah aku desak kepadanya tatkala makan di tempatnya bu Yasin katanya tidak perlu dirisaukan. Semuanya beres.

“Dik Iqbal, bunga 10 % per bulan itu berat dan mencekik, lha.. usahamu bisa menutup tho?”

“Mas Karim, dari dua puluh lima VCD player, tinggal sepuluh yang belum lunas. Setiap hari aku bisa menyisihkan tiga ratus ribu untuk cicilan dan membayar bunganya. Asal target itu tercapai ndak apa-apa. Selama ini semua berjalan sesuai rencana.”

“Ya sudah, aku cuman khawatir saja dengan beban berat keuanganmu. Lancar kan dik selama ini?” sekali lagi aku menanyakan untuk kebutuhan penenangan kecemasanku.

“Ya mas” jawab dik Iqbal mantap dan meyakinkan.

Persoalan kedua yang merisaukanku, masalah jenis CD film yang semuanya bajakan. Dan terselip satu dua CD film porno. Dua permasalahan besar yang mengganggu. Pertama dua-duanya jelas barang ilegal. Kedua CD film porno, jelas-jelas barang haram. Berarti memakan rizqi dari barang haram. Untuk yang terakhir ini aku tidak berani mempertanyakannya kepada dik Iqbal.

“Dik, lha CD bajakan yang kamu sewakan apa tidak khawatir ditangkap polisi?” tanyaku dengan wajah risau.

“Kalau masalah itu, aku ikut paguyuban rental CD/VCD player. Setiap bulan aku iuran. Dan dari iuran itu, sebagiannya untuk komisi kepada perwira yang membekingi. Asal kalau sudah ikut paguyuban aman kok mas Karim. Seminggu yang lalu, persewaan Donal Hitam miliknya orang cina digêrêbêg dan disita semua barang dagangannya, karena dia tidak mau jadi anggota paguyuban. Mas Karim pokoknya tidak usah khawatir.” Jawab dik Iqbal dengan argumen yang meyakinkan.

Keterangan dik Iqbal untuk sementara membuatku merasa sedikit lega. Bisnis persewaan VCD player terutama seperti yang digeluti dik Iqbal memang bisnis yang membuat jantung selalu berdegub kencang. Terlebih untuk bisnis dik Iqbal dengan pendanaan yang bagiku membuat mata tidak dapat tidur dengan nyenyak, makan dengan lahap dan belajar dengan tenang.

Dik Iqbal pernah suatu ketika nyaris ditipu pelanggannya. Dengan membawa KTP asli, tetapi fotonya diganti foto pelanggan yang meminjam, pelanggan ini menyerahkan identitasnya yang nyaris sempurna sebagai jaminan peminjaman. Kemudian VCD player berhasil dibawa. Sehari setelah batas terakhir peminjaman, diq Ibal bersama mas Praba mencari alamat sesuai KTP, dan didapati ternyata nama yang sama di KTP tidak sesuai dengan foto. Ternyata dia orang Ambon dan mengaku sudah satu bulan ini ia kehilangan KTP. Untung saja mas Praba, ketika orang itu meminjam, mempunyai firasat yang tidak baik. Kemudian dia berusaha mencatat nomor polisi kendaraan sepeda motor yang dipakai. Dari plat nomor kendaraan ini, mas Praba melacak di kantor polisi lewat temannya yang kebetulan menjadi polisi. Akhirnya ketemu. Pelaku penipuan merubah penampilan fisiknya. Ketika meminjam dulu berambut gondrong, ketika ditemui dik Iqbal dan mas Praba sudah berambut cêpak.

“Mas Hendra, perkenalkan ini pengacara saya Praba Dewanta, yang mau mengusut penipuan yang anda lakukan.” Gertak dik Iqbal pada Hendra

“”Penipuan apa?”

“Saya tahu, seminggu yang lalu, anda merubah potongan rambut anda kan?”

“Maksudnya apa ya?

“Sudah, langsung ke permasalahan! Dimana VCD player yang seminggu kemarin disewa?”

“Oo..itu Adik saya, ya sudah saya uruskan, besok saya antar ke tempat panjenengan. Adik saya sering begitu”

“Apa jaminannya?”

“Ini KTP dan STNK sepeda motor saya”

“Mana?” segera dik Iqbal menyambar KTP dan STNK, mencocokkan dengan kenyataannya dan memasukkannya ke dalam dompet.

Dan benar sehari kemudian VCD player dan CD telah kembali dan mengembalikan jaminan KTP dan STNK. Bagi dik Iqbal tidak peduli siapa yang mencoba ngembat VCD player dan CD persewaannya, yang penting kedua barang asetnya itu kembali.

Dari pengalaman ini, dik Iqbal membuat prosedur baru persewaannya. Siapa yang mau menyewa harus bisa menunjukkan dua kartu identitas yang sama dengan penyewa, serta satu kartu untuk jaminan.

Persoalan ketiga, yang menggangguku adalah dik Iqbal mulai jarang kuliah. Walaupun dia mengaku tidak banyak mengambil SKS matakuliah, yang penting mata kuliah yang diambil lulus. Kenyataan yang kulihat dia hampir tidak pernah belajar. Hari-harinya dihabiskan untuk mengontrol usaha dan melayani customernya. Dengan kondisinya yang mulai “menanjak” menuju “puncak” dik Iqbal mulai menunjukkan rasa “ke-aku-annya”.

“Ndak usah kuliah pintar-pintar, banyak orang yang tidak sarjana, kaya, disegani dan dihormati banyak orang. kemarin orang melihat di kantongku ada handphone yang mahal, rona wajahnya berubah. Semula meremehkan, langsung berubah menjadi menghormati.”

Untuk masalah ini, aku hanya bisa terdiam. Tidak bisa berkata-kata. Membiarkannya hanyut dalam pemenuhan kebutuhan psikologis aktualisasi dirinya yang demikian besar. Untuk yang ini, tidak tanggung-tanggung dik Iqbal mengirimi uang ke bapak dan ibu. Besarnya aku tidak tahu, tetapi kata bapak dan ibu jumlahnya besar, bisa membantu mengirimi uang kepada dik Harun yang baru kuliah di Fakultas Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang.

Lagi-lagi, aku tidak bisa melakukan apa-apa terhadap yang dirasakan, diidam-idamkan dan yang dilakukan dik Iqbal. Aku merasa bersalah, merasa berdosa tetapi tidak berdaya. Kembali aku ingat nasihat ustadz Luqman yang mengutip sebuah hadits “barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, bila tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu maka dengan hatinya. Yang terakhir ini adalah selemah-lemah iman.”

Ya Allah ampunilah hamba-Mu yang tidak berdaya ini. Tidak mampu memenuhi apa yang Engkau perintahkan.

Ya Allah, berikanlah hamba-Mu petunjuk dan kekuatan untuk mencari jalan keluar dari ujian-Mu ini. Sebelum aku, dik Iqbal dan keluargaku jatuh ke dalam lubang yang lebih besar. Lubang adzab-Mu. Na’udzubillahimindzalik. Itulah yang aku takutkan ya Allah.

Aku saat ini berada dalam selemah-lemahnya iman.

Astaghfirullahaladziim

BERSAMBUNG..

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments