Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Monday, June 9, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 7

* Masjid Sabililah 2000

Selain tempat kuliah, aku punya tempat yang aku gunakan sebagai markas besarku. Bersama mas Syaiful, mas Sugeng, Irfan dan Burhan untuk yang ikhwan, sedangkan yang akhwat mbak Herlin, mbak Nurul, Amik dan Aisyah. mas Syaiful dan mas Sugeng adalah mahasiswa fakultas teknik sipil yang hampir lulus angkatan tua, sedangkan Irfan mahasiswa fakultas pertanian dan Burhan Fakultas Sastra. Mbak Herlin dan mbak Nurul juga lebih tua dariku, juga hampir lulus seperti mas Syaiful dan mas Sugeng, tetapi beliau berdua mahasiswa fakultas pertanian, sedangkan Amik dia adik kelas, mahasiswa fakultas Keguruan dan terakhir Aisyah, juga adik kelas, mahasiswa fakultas Ekonomi. Perjumpaan dengan mereka berawal, dari kesulitan mencari tempat sholat tarawih saat puasa, ngobrol dengan pengurus RT, pembentukan panitia pembangunan masjid, kerja bakti membangun masjid hingga perencanaan kegiatan untuk memakmurkan masjid. Yang memberikan nama “Sabililah” adalah pak Darno, yang juga pak RT. Nama ini diambil, untuk selalu mengingatkan kepada seluruh jamaah, agar kita selalu berkomitmen menjaga perjalanan kehidupan kita tetap berada dalam rel sabilillah; jalan yang diridhoi Allah SWT.

“Sebuah perjalanan perjuangan yang panjang telah dimulai. Perjuangan mencari ridho Allah SWT. Kita telah berusaha mewujudkan apa yang diperintahkan Allah SWT, agar kita berjihad di jalan Allah dengan diri dan jiwa serta harta yang kita miliki. Yang pertama harus kita bersihkan adalah niatan kita. Niatan untuk berjuang mengadakan, membangun dan memakmurkannya harus benar-benar bersih dari niatan-niatan yang tidak ditujukan mencari ridho Allah SWT, walaupun hanya sedikit sebesar atom. Dengan begitu, maka apa yang telah dan akan kita lakukan tidak sia-sia. Allah berfirman ‘barangsiapa yang berjihad di jalan Allah, maka Kami akan menunjuki mereka itu jalan-jalan Kami.’ Janji Allah itu, telah kita buktikan, ketika kita bersungguh-sungguh atau berjihad di jalan Allah dalam membangun masjid Sabilillah ini, atas izin Allah pulalah kita ditunjuki-Nya jalan-jalan yang banyak tidak kita sangka-sangka sebelumnya…..” sebagian kata-kata pak Darno saat memberikan sambutan peresmian masjid yang belum sempurna pembangunannya.






Selesai membaca surat Al-fatihah, dilanjutkan dengan hafalan-hafalan surat pendek secara bersama-sama, masing-masing dari kami berenam memulai actions mulai mengajari satu-satu persatu anak membaca buku iqra’ dengan berbagai jilid sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah dicapai masing-masing anak. Murid TPA Masjid Sabilillah sebanyak 30 anak. Lumayan banyak. 30 anak dibagi 6 ustadz/ustadzah, jadilah tiap-tiap ustadz/ustadzah mengampu 5 anak.

Tidak ada kurikulum, tidak ada silabus, tidak ada concept map, semua dilakukan secara trial and error. Terkadang emosi berjalan duluan ketimbang otak rasional dalam mengatasi kenakalan anak-anak. Walaupun demikian, dengan cara spontanitas itu, kami bisa mengantarkan banyak anak yang semula tidak bisa membaca huruf hijaiyah menjadi mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil. Sudah dua anak yang khatam Qur’an, lewat bantuanku dalam mengajar tanpa program yang terstruktur. Aku hanya mengikuti air mengalir saja. Dua muridku yang aku banggakan itu adalah Erna dan Ari. Namun demikian, tidak semua murid seperti mereka, ada satu murid yang cukup membuat aku pusiiing. Pandu namanya. Mungkin termasuk anak yang hiperaktif. Perilakunya seperti digerakkan mesin saja, tidak pernah berhenti, tidak pernah capek, suka usil, nyenggolin teman. Untuk yang satu ini, sering kali kesabaranku benar-benar habis. Hambatannya dalam belajar cuma satu, sulit konsentrasi karena terganggu geraknya yang luar biasa.

Dari pengalaman mengajar TPA ini, aku mulai bisa menghayati, dari mereka yang anaknya lebih dari satu, banyak orang yang berkata, walaupun kita berusaha berbuat adil dengan semua anak-anak kita, tetap dalam batin ini ada satu yang lebih di sayang ketimbang anak-anak yang lain.


Pandu menjadi siswa favorit kami berenam. Dia berumur tujuh tahun, ukuran tubuhnya termasuk kecil bila dibandingkan dengan anak seusianya, kulitnya coklat legam, rambutnya berombak agak kusam coklat kemerahan. Yang terakhir ini bukan karena mengikuti mode pakai pewarna rambut, melainkan karena kurang gizi terutama protein. Maklum anak buruh lepas pasar Ledoksari, yang pemasukannya tergantung jumlah barang yang diangkut.

Kami semua tertantang mengenai program apa yang tepat untuk anak hiperaktif semacam Pandu itu. Selama ini ia dicap sebagai anak nakal, suka usil, tidak mau antri, yang membuat gemes adalah ketika ditanya mengapa ia berbuat demikian, ia tidak menyadari apa yang ia perbuat.

“Terus terang, kalau menuruti keinginan, aku tidak mau mengajar Pandu” ucapku di dalam rapat rutin bulanan ustadz/ustadzah TPA Sabililah.

“Iya, tapi apa harus menyerah pada kenyataan yang ada…mas Karim kan mahasiswa kedokteran tahu bagaimana cara mengatasi masalahnya Pandu..” Aisyah mencoba mendudukkan permasalahan secara obyektif.

“Karim, aku pernah membaca artikel anak hiperaktif, gejala-gejalanya plêg persis seperti yang dialami Pandu, mungkin kita bisa membuat program pengajaran, siapa tahu bisa sebagai terapi buat Pandu” Mas Syaiful meminta aku agar bisa membuat langkah yang lebih spesifik dan konkret.

“Benar mas Syaiful, kurasa kita perlu membuat kelompok kerja, ya anggotanya kita-kita ini, mas Karim jadi koordinatornya, ya” Irfan menyetujui usul mas Syaiful dan memberikan usulan yang lebih konkret dan fokus.

“Benar Irfan, kan kita bisa berbagi tugas, Karim mencari referensi kedokteran, aku akan mencari modul pengajaran untuk anak hiperaktif, teman satu kosku kebetulan ada anak FKIP jurusan pendidikan luar biasa, aku yakin bisa membantu membuat modul itu” Mas Syaiful kembali menambahkan.

“Gini mas Syaiful, teman jênêngan[1] bisa kita datangkan di sini, memberikan pengarahan kepada kita bagaimana sih cara mendidiknya, bagaimana program dan kurikulum yang tepat untuk Pandu, saya kira perlu kita agendakan untuk acara itu.” Burhan menyela.

“OK, berarti sudah jelas langkah-langkah kita. Yang pertama kita tentukan batas akhir pengumpulan bahan-bahan yang akan kita diskusikan lagi. Kapan?” Aisyah menandaskan

“Maksud Aisyah ini, kita buat schedule target-target kita, misalnya minggu depan kita selesai mengumpulkan bahan dari kedokteran praktisnya, dari psikologi praktisnya dan dari pedagogi praktis untuk pandu, dan yang bertanggung jawab untuk itu mempresentasikan, kemudian minggu depannya kita menyusun kurikulum sampai menyusun rencana pengajaran sampai tingkat menit ke menit, minggu depannya lagi, kita sosialisasikan kepada orang tua Pandu, habis itu kita actions terus satu bulan kemudian evaluasi dan seterusnya, begitu?” aku mencoba membreakdown gagasan Aisyah.


Yang membuat aku merasa excited bersama ustadz/ustadzah TPA Sabilillah adalah mereka responsif, tidak suka berdebat, orientasi pada kerja, job descriptions, kesepakatan dan fokus pada hasil.

Walaupun di luar sana, anak-anak sekitar kos-kosan masjid Sabilillah, ramai membicarakan kecantikan Aisyah, walaupun Aisyah sendiri jarang keluar, kalau keluar tidak pernah menonjol-nonjolkan kecantikannya, kami terutama yang ustadz tidak pernah terpikir memanfaatkan kesempatan sebagai ustadz TPA dalam rangka pe-de-ka-te (PDKT/ pendekatan). Sebagai laki-laki normal, aku diam-diam juga mengagumi kecantikan Aisyah, lewat tatapan yang tidak sengaja, itupun dari kejauhan. Ah, dia bukan apa-apaku, buat apa aku harus pusing-pusing memikirkannya. Untuk mencegah pandangan-pandangan yang memungkinkan saling bertatapan, kami ketiga ustadz ketika mengajari iqro’ selalu membelakangi ustadzah-ustadzah. Bahkan ketika rapatpun kami selalu memakai hijab. Kami selalu mengingati rambu-rambu rasulullah SAW, bahwa panah-panah beracun yang ditebarkan syaithon itu berada pada memandang atau menatap lawan jenis, dari situ akan berlanjut menjadi sapaan, kemudian berlanjut menjadi, bercakap-cakap, berlanjut, curhat, dan pertemuan rutin, berkhalwat, berzina, na’udzubillah.

Aku teringat cerita Ust Luqman “Imam Syafii, ketika masih remaja pernah suatu ketika, pada saat akan berangkat ‘setoran hafalan’ kepada gurunya, di tengah jalan tanpa sengaja, melihat betis seorang gadis yang tersingkap oleh angin. Ketika ‘setoran’ hafalan telah dimulai, berantakanlah hafalan sang Imam Syafii muda.

Aku melihat mahasiswa-mahasiswa sekarang dipertontonkan berbagaimacam godaan-godaan kecantikan, keelokan tubuh, liukan-liukan tubuh yang menggugah birahi, apalagi CD porno atau situs porno mudah sekali diakses. Kalau Imam Syafii saja baru tanpa sengaja melihat betis gadis langsung hilang hafalan beberapa juz, bagaimana dengan mahasiswa sekarang…tidak ada yang nyantól [2] kali ya.. pelajarannya apalagi hafal Al-Qur’an dan Hadits. Padahal kedua terakhir ini yang harusnya menjadi prioritas sebelum yang lain.

Bagaimana bisa maju bangsa dan umat Islam di Indonesia ya?



[1] Anda

[2] nyangkut

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments