Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Sunday, June 15, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 11

co-ass penyakit dalam; 2002

Sudah tiga bulan ini aku menjadi seorang dokter muda atau co-ass. Tiga bagian dari seluruh siklus program pendidikan dokter yang sudah aku masuki, bukannya somse, tapi memang kenyataannya begitu, terbilang enteng-enteng saja. Tidak ada sesuatu yang mendebarkan. Bagian kali ini yang aku masuki adalah bagian penyakit dalam. Menurut program yang harus aku jalani, aku akan berada di bagian ini selama sepuluh minggu atau tiga bulan lebih. Bagian inilah kata banyak seniorku yang dikatakan sebagai inti dari dokter umum.

Di bagian penyakit dalam ini ada 2 co-ass yang jaga. Tetapi begitu banyak kasus yang ditangani, akhirnya kami membagi dua wilayah. Aku di wilayah barat, sedangkan mbak Erlina jaga di wilayah timur. Tetapi walaupun demikian tetap ada komunikasi lewat aiphone bila salah satu dari kami membutuhkan bantuan. Banyak pekerjaan rutin yang harus dilakukan di sepanjang malam di samping menerima pasien baru kemudian melaporkannya kepada dokter senior yang jaga. Sore hingga malam itu ada tiga pasien baru yang kami kerjakan secara bersama-sama. Hingga tibalah saatnya dalam waktu yang bersamaan ada dua pasien sekaligus, dua-duanya sama-sama kritis.





------

Malam begitu larut dan hening. Jam dinding menunjukkan pukul 23.00 WIB. Sayup-sayup suara roda karet yang keras membentur-bentur lantai disertai derap kaki orang-orang yang berjalan memecah keheningan malam itu. Seorang pria berumur separoh abad terbaring di atas bed beroda itu datang dalam keadaan kejang. Keluar dari mobil ambulans, bergerak-gerak seperti melakukan tari terputus-putus tetapi tidak sadar. Badannya kurus, kulitnya mulai menunjukkan keriput-keriput tanda bahwa ia telah tua. Rambutnya dibiarkan demokratis, yang putih dibiarkan putih dan hampir merata di seluruh kepalanya. Kalau melihat wajahnya, barulah diketahui ini bukanlah sebuah tontonan yang mengenakkan. Mata terpejam, kelopak mata kadang terbuka sedikit, hingga yang tampak bagian putih bola matanya saja. Dari mulut keluar darah kehitaman. Aku baru sadar kalau itu bukan akibat lidah yang tergigit setelah perawat memberikan tounge spaltel dari chrom yang dilapisi gulungan perban agar lidah tidak tergigit, ternyata darah hitam masih terus mengalir keluar dari sudut mulutnya. Posisi pasien kumiringkan, biar cairan darah kehitaman keluar lancar dari mulut, tidak masuk kembali ke dalam, karena yang ditakutkan adalah cairan darah kehitaman itu memasuki saluran pernafasan. Bila itu terjadi akan memperparah keadaan. Aku merasa panik karena seumur-umur baru kali ini melihat orang dalam keadaan seperti itu. Sebisa mungkin kutenangkan diri, agar dapat berpikir jernih. Perlahan tanpa aku sadari keringat hangat yang segera dingin mengucur deras dalam butiran-butiran sebesar biji jagung membasahi dahi, dan berkali-kali aku usap, namun tetap saja masih terus berproduksi. Di bagian tubuhku yang lain dada dan punggung juga mengikuti derasnya keringat, sehingga bajuku mulai lembab dan basah. Namun itu tidak terlihat, karena tertutup jas putih yang menutupi pakaian premanku. Sedapat mungkin aku memulai berpikir keras tentang apa yang harus aku lakukan saat itu, karena satu-satunya pikiran yang membuatku cemas adalah kalau terjadi apa-apa pada pasien ini, sedangkan aku belum melaporkan apapun kepada seniorku yang jaga, aku akan kena kondite. Jadi idealisme memikirkan tindakan terbaik bagi pasien sebagai alasanku bertindak tidak terpikirkan sama sekali saat itu. Semua teori yang ada di buku tidak ada yang nyantol sedikit pun dibenakku. Hilang kemana aku tidak tahu, padahal ini adalah saat-saat yang sangat dibutuhkan.

“Tensi!, vital sign!” suara itu tiba-tiba muncul entah dari bagian otakku yang mana, aku tidak tahu.

“Aku harus mengukur tensinya, menghitung denyut jantungnya, frekuensi nafasnya segera!” doronganku begitu kuat, tanpa banyak membiarkan waktu terbuang lagi aku segera melakukannya. Aktivitasku kemudian meluas, memeriksa pupil[1] dengan mengarahkan cahaya yang keluar dari lampu senter. Pupil masih ada respons tetapi diameternya 3 – 4 mm.

“Pak! Bangun Pak!” teriakku untuk membangunkan pasien.

Orang itu tetap tidak ada respons. Aku cubit keras di lengan atasnya. Sambil sekali lagi berteriak,

“Pak! Bangun Pak!”

Orang itu tetap tidak memperlihatkan respons.

“Orang ini tidak sadar. Kejang telah merenggut kesadarannya. Kejang berarti otak banyak kekurangan oksigen.” Segera suara itu kuat mendominasi pikiranku saat itu.

“Suster, minta tolong pasang selang oksigen, 5 liter permenit!” Tanpa kusadari ilham itu meluncur dengan lancar, entah dari mana mulai mengalirnya, berbuah instruksi kepada suster jaga. Atau mungkin sudah ada pengalaman stasis di bagian paru sebelumnya, belajar dari senior dan dokter senior jaga.

Baru kemudian, aku memulai mengukur tensi, menghitung respirasi, dan memeriksa vital sign sambil meminta suster yang lebih senior untuk memasang infus D 5%.

Tensi orang itu 200/110 mmHg. Masya Allah, Stroke! Setelah tensi diketahui, baru aku menyadari anggota gerak tubuh sebelah kirinya kurang begitu aktif geraknya ketimbang yang bagian kanan. Tanpa banyak pikir, segera aku laporkan kepada dokter senior jaga.

Aku berlari-lari kecil menuju operator telefon rumah sakit, waktu itu telefon belum secanggih sekarang dan jumlahnya masih terbatas. Jaraknya harus menempuh tiga belokan, lumayan jauh dan memakan waktu. Itupun aku harus menunggu antri dengan co-ass THT yang juga melaporkan kepada dokter Senior jaga THT. Untung segera berakhir. Waktu yang sebenarnya sangat berharga terutama bagi kondisi pasien seperti yang aku tangani kali ini. Mudah-mudahan tidak terlambat.

“Selamat malam, dokter Hadi, ini co-ass penyakit dalam melaporkan : pasien pria, umur 60 tahun, datang dalam keadaan tidak sadar, kejang, dengan hematemesis[2], tensi 200/110 mmHg, respirasi 18 kali permenit, nadi 80 kali permenit, sudah terpasang infus D 5% 20 tetes permenit, dan oksigen 5 liter permenit, paresis anggota gerak kiri.” Aku memulai laporan dengan diselimuti rasa was-was dan berdoa semoga yang aku laporkan tidak membuat dokter Hadi marah. Karena beliau ini terkenal galak dan ditakuti para co-ass.

Paresis anggota gerak kiri? Kamu tahu dari mana? Jangan asal ngomong!” nada suara dokter Hadi terdengar keras di telefon, menghentak kenyamananku dan semakin membenarkan pendapat teman-teman kalau beliau ini orangnya galak.

“Ini dok, dari aktivitas anggota gerak sebelah kiri yang tidak seaktif anggota gerak sebelah kanan.”

“Sudah kamu periksa refleks-refleksnya? Jangan membuat kesimpulan sebelum kamu memeriksa!”

“Belum dok. Hanya dari pengamatan saja.”

“Kamu ini seperti tukang becak yang hanya memakai jas dokter saja. Sudah… sekarang kamu datang ke rumah saya. Kita rujuk dia ke bagian neurologi. Sementara infus D5% diteruskan, dikurangi jumlah tetesannya menjadi 16 tetes permenit dan diberi injeksi diazepam ½ ampul intramuskuler. Resep menyusul, sambil kamu membawa blanko resep ke rumah!”

“Ya dok, terima kasih”

Klêktuttuttut” Hanya itu suara terakhir yang aku dengar sebagai balasan terimakasihku kepada dokter Hadi. Suara itu juga sebagai tanda telefon harus kututup. Aku mencatat di buku penggunaan telefon, menuliskan namaku, co-ass penyakit dalam, dokter Hadi sebagai tujuan telefonku, waktu yang dihabiskan 4 menit.

Segera aku melangkah menuju bangsal Sundoro tempat pasien tadi dirawat. Masih terngiang-ngiang bagaimana aku bisa berbuat bodoh karena membuat kesimpulan klinis tanpa memeriksa lebih detil. Bagaimana membuat kesimpulan paresis tapi aku tidak melakukan pemeriksaan refleks. Aku juga tidak habis pikir bagaimana pasien stroke dimasukkan ke bagian penyakit dalam. Padahal di UGD ada dokter jaga. Bagaimana bisa kelewatan pasien stroke masuk bangsal penyakit dalam. Aku juga tidak habis pikir, bagaimana sistem yang berlaku di rumah sakit pendidikan membuat sistem penanganan pasien menjadi lebih lama. Harus datang ke rumah dokter tengah malam kayak begini. Padahal perjalanan menuju ke sana jauh, tambahan pula aku harus menghubungi bagian ambulan mengantar co-ass ke rumah, itupun kalau ada. Sering kali co-ass harus mencari kendaraan sendiri menuju rumah dokter senior yang jaga. Habis itu aku harus mencari co-ass neurologi, dia melaporkan kepada dokter senior jaga, baru ada instruksi mengenai terapi dan penanganan pasien. Banyak waktu terbuang, sementara waktu pada pasien ini sangat berharga bagi penyelamatan jiwanya. Aku harus berjuang mempersempit jarak waktu agar kerusakan sel-sel otak yang ada di kepala pasien ini tidak meluas. Agar kerusakan otak yang permanen tidak meluas. Masih banyak fungsi-fungsi kompleks sebagai manusia normal yang dapat dilakukan pasien ini, seandainya Allah menghendaki dia lolos dari serangan cerebrovascular accident ini.

Dari pada berlarut-larut dalam kejengkelan-kejengkelan itu, aku segera bergegas menghampiri perawat jaga untuk memberitahu mereka mengenai instruksi yang diberikan dokter Hadi. Tidak lupa pula aku menghubungi mbak Erlina lewat aiphone bahwa aku saat ini akan menuju ke kediaman dokter Hadi. Tampaknya mbak Erlina sedang mengurus instruksi yang sudah diberikan dokter Hadi pada pasien yang ditanganinya. Kemudian aku melangkah ke tempat parkir, mencari pinjaman sepeda motor menuju ke daerah Penumping, tempat kediaman dokter Hadi.

Aku kembali lagi ke tempat mangkal co-ass penyakit dalam pukul 00.00 WIB genap satu jam menangani pasien stroke salah masuk itu. Dini hari itu, aku masih harus memeriksa Hb serial 3 pasien yang diduga ada perdarahan laten. Memantau perkembangan hasil pemeriksaan gula darah 3 pasien penderita diabetes melitus yang menerima terapi insulin. Walaupun ada petugas laboratorium, tetapi kebijakan di bangsal penyakit dalam mengharuskan co-ass melakukan sendiri pemeriksaan laboratorium sederhana secara manual. Bila ada kelainan, co-ass harus segera melaporkan perkembangan itu kepada dokter jaga senior.

Ada dua pasien baru lagi yang harus aku terima, untungnya pada saat yang ini masih bisa kukerjakan bersama dengan mbak Erlina, sehingga ada teman berpikir serta mengurangi kepanikan.

Kegiatanku malam hari itu berakhir dengan berkumandangnya adzan subuh. Dengan berpamitan kepada perawat jaga dan mbak Erlina, aku melangkah menuju mushola rumah sakit dan sholat subuh berjamaah di sana bersama dengan co-ass, residen dan keluarga pasien.

----

Dengan kepenatan yang makin memuncak. Diiringi rasa kantuk yang makin mendominasi, aku dan mbak Erlina pagi itu menuju ruang sidang penyakit dalam, menuliskan pasien-pasien yang masuk malam itu di papan tulis. Ternyata konsentrasi menulis laporan mengenyahkan rasa kantuk dan letih seketika. Laporan pasien malam yang masuk harus sudah selesai dan kami berdua harus mengusainya sebelum jam 7.00 WIB. Karena tepat jam 7.00 WIB acara laporan kasus sudah dimulai, biasanya akan dicêcar banyak pertanyaan. Jangan sampai tidak menguasai sama sekali. Kalau tidak menguasai sama halnya seperti dalam bahasa jawa kêthék kêtlulup, alias tidak berkutik. Kalau sudah begitu, satu-satunya respons yang kualami adalah masih tetap berusaha menjawab pertanyaan sebisaku, kalau ide sedang blank, berarti mengalami mutisme, alias diam seribu bahasa. Dalam posisi seperti itu, seperti biasa, keringat dingin mengucur dengan deras seperti air mengalir dari mata air abadi yang tidak pernah berhenti.

Aku dan mbak Erlina mempersiapkan sebisanya, malam selama kami jaga ada sepuluh pasien baru. Kami pilih dua kasus baru yang akan kami presentasikan, yaitu kasus sirosis hepatis dan diabetes melitus. Langkah pertama dalam menyusun laporan kasus adalah keluhan utama. Ternyata tidak mudah memilih dua tiga kata yang digunakan untuk menunjuk keluhan yang paling utama diantara keluhan-keluhan yang lain.

Pada kasus serosis hepatis misalnya sulit menentukan mana yang keluhan utama apakah mual, atau perutnya yang membuncit atau yang badannya makin mengurus.

“Keluhan utamanya badannya yang makin mengurus. Kan kelihatan sekali badannya kurus, menghitam. Pasiennya merasa pakaiannya makin melonggar. Dia merasa wajahnya mulai tirus dan cekung.” Mbak Erlina memulai diskusi untuk menuliskan mana keluhan utama yang akan kemukakan.

“Apa bukan perutnya yang membuncit mbak? Kan proses kurus badannya butuh waktu yang relatif lama ketimbang membuncit.” Sanggahku kepada mbak Erlina. Mbak Erlina, mulai mengerutkan dahi dan ekspresi wajahnya menunjukkan tanda bahwa ia sedang serius berpikir.

“Dik, kamu masih ingat kata dokter Harun, bahwa keluhan utama itu adalah keluhan yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit.”

“Kalau begitu, berarti mualnya mbak. Kemarin ketika aku tanya apa yang dirasakan saat masuk, beliau mengeluhkan mual sekali.”

“Berarti keluhan utamanya mual” aku dan mbak Erlina koor bersama seperti ada yang memberi aba-aba agar terucap serempak.

“tulis mbak!” ucapku secara spontan, karena melihat mbak Erlina membawa spidol.

mbak Erlina menulis di papan tulis keluahan utama : mual

Sambil kulirik jam tanganku menunjukkan jam 05.30. masih tersisa satu setengah jam lagi untuk menulis dua kasus yang akan dipresentasikan hari ini. Padahal saat ini baru menentukan “judul” untuk kasus pertama.

Kalau jaga seperti itu, biasanya co-ass yang jaga membawa buku teks minimal membawa buku teks penyakit dalam FKUI, kadang ada pula yang membawa buku Textbook Harrison’s Internal Medicine. Kesempatan membaca buku-buku tebal sebenarnya adalah pada saat jaga dan mempresentasikan kasus yang ditangani pada malam sebelumnya. Seolah-olah dunia sekarang hanya berkutat pada dua buku itu dan pada bab sirosis hepatis. Dalam waktu sekejap kami mulai menguasai segala hal yang terdapat dalam dua buku itu mengenai sirosis hepatis.

Kami mulai mencocok-cocokkan antara gejala dan tanda yang ditemui pada pasien dengan yang tertulis pada buku teks. Yang membuat hati berdebar adalah nanti pada saat visite di bangsal. Mengenai pengujian kualitas skill pemeriksaan yang telah kami lakukan. Apakah benar tanda dan gejala yang kami presentasikan benar-benar terdapat pada pasien. Pada saat itulah betapa terlihat bodohnya kami sebagai co-ass, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan senior yang telah menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Ketika aku dulu stasis di bagian penyakit paru, atas izin-Nya sungguh mendapatkan suatu karunia besar bagi kami yang stasis di bagian paru, karena kedatangan tamu profesor paru dari Jakarta. Yang membuatku merasa senang adalah saat visite pasien bersama beliau. Beliau ini menjadi standar bagi kami co-ass, residen paru dan bahkan dokter senior kami yang sudah ahli sekali pun. Kami dibimbing mengenali suara ronchi kering, untuk suara nafas yang kasar seperti orang ngorok tapi lebih halus. Ronchi basah basal, seperti rambut yang digesek-gesek dengan sesama rambut. Mengenali suara wheezing yang bunyinya seperti ngiiik..ngiik tiupan seruling bambu. Sebuah pengalaman berharga bagi peningkatan kualitas skill pemeriksaan fisik pada pasien bagi kami. Walaupun untuk itu seringkali harus mengorbankan harga diri terinjak-injak di depan teman sendiri, tetapi yang lebih menohok adalah di depan pasien yang kita tangani.

Pernah suatu ketika, temanku yang bernama Yahya, ketika membawa status pasien tangannya gemetaran. Secara logika bila status itu ditamplék, maka serta merta tumpukan kertas yang berisi data-data mengenai penyakit pasien akan jatuh berserakan di lantai. Hingga ia tergopoh-gopoh memunguti lembar-lembar itu dilantai. Kayaknya itulah saat-saat yang dinantikan dokter Imron, melihat ketidakberdayaan co-ass. Waktu itu ia mempresentasikan pasien dengan diagnosis diabetes melitus tak terkontrol dengan status gizi buruk.

“Apa, status gizi buruk?” tanya dokter Imron dengan nada membentak

“Bu…. rruk… dok…” dengan suara serak dan berat Yahya berusaha keras menjawab pertanyaan dokter Imron.

“Bu, jenengan dipun wastani kirang gizinipun[3]. Kamu jangan menghina pasien ya..! Mengapa kamu berpikir kalau ibu ini status gizinya kurang?”

“Dari asupan makanan yang kurang dok” jawab Yahya yang tangannya kelihatan sekali gemetaran.

Melihat tangan Yahya yang gemetaran, dokter Imron makin gemes dan…

Plak…!!! ditampléklah papan kayu dengan status pasien yang dibawa Yahya sambil berkata

“Apakah dari asupan makanan yang kurang kamu berkesimpulan status gizi kurang? Bagaimana kamu bisa membuktikan kalau asupan makanan kurang? Kalau kamu salah menentukan masalah maka bisa mati pasien yang kamu tangani!”

“Bisa mati…!!!”

“Bu…doktere jenengan tidak hati-hati bu!”

yang membuat heran seluruh orang yang mengelilingi visite dokter Imron adalah status yang dipegang Yahya tidak jatuh, bahkan makin dipegang erat walaupun kedua tangannya masih gemetaran dan makin mengkilat karena keringat melumasi tangannya yang lumayan hitam.

Dokter Imron memang terkenal galak di mata co-ass, tetapi itu hanya sebatas di bangsal ketika co-ass mempresentasikan pasien yang ditangani. Tetapi di luar bangsal beliau orangnya ramah, enak diajak ngomong. Mungkin maksudnya agar kita-kita mahasiswa kedokteran yang nanti akan menangani manusia agar benar-benar menguasai ilmu kedokteran dengan sempurna. Aku sendiri pernah ditendang tulang garésku[4], lumayan sakit juga. Sebenarnya bukan salahku, tetapi salah teman sesama co-ass yang menghindari bertemu dengan dokter Imron.

“Apa diagnosisnya?” tanya dokter Imron dengan nada yang keras

“Sesak nafas karena Infeksi saluran nafas dengan diagnosis banding Asthma bronchiale, dok” jawabku dengan suara agak parau

“Bodoh kamu! Ngawur! Orang masih lega nafasnya begini, kamu bilang sesak nafas. Coba mbak nafas yang panjang.” Bentak dokter Imron kepadaku, sambil memerintah dengan lembut kepada pasien gadis berusia dua puluh satu tahun.

“Kamu lihat sendiri kan. Apakah begini nafas bisa panjang, kamu bilang sesak nafas? Saya beri waktu kamu sampai besok pagi harus ketemu diagnosisnya. Kamu tidak boleh pulang sebelum kamu temukan diagnosisnya” masih dengan nada keras, sambil beliau menulis resep dan program diet untuk pasien.

“Iya dokter” jawabku dengan tertunduk, karena merasa bodoh dan tidak berdaya. Masih untung sekarang aku menjadi co-ass. Coba nanti kalau menjadi dokter bisa berakibat fatal bagi pasien.

Alhamdulillah pada kasus ini aku bisa menemukan diagnosisnya pada jam lima sore hari. Itu pun terinspirasi dari apa yang diperiksa dokter Imron sebelum menanyai diriku, beliau mengauskultasi perut dan memerkusinya.

“mbak Diah, sesak atau ampeg?” aku memulai percakapan dengan berdiri di samping kanan pasien nona Diah yang membuatkan tidak bisa pulang ke kos segera. Namun demikian, aku tidak ada rasa dendam baik dengan pasien maupun dokter Imron yang “ngerjain” diriku.

Ampêg mas” jawab nona Diah, dengan suara lemah, walaupun secara fisik masih baik.

“Boleh saya periksa?” aku meminta izin kepadanya untuk melakukan pemeriksaan fisik.

“Silahkan” jawab nona Diah sebagai tanda memberikan izinnya.

“Maaf ya” aku katakan maaf, sebelum memulai pemeriksaan, sebagai etika pemeriksaan. Aku lakukan auskultasi dengan stetoskop pada bagian dada dan perut, dilanjutkan perkusi pada bagian perut. Memang suara paru-parunya jernih tidak ada wheezing[5], ronchi[6] dan suara-suara lain yang menyebabkan paru-paru tidak dapat berfungsi secara normal. Pada waktu aku perkusi perutnya, betapa gembira diriku menemukan suara hipertimpani[7] atau orang awam bilang perutnya kembung.

“Sudahlah Rim, diagnosisnya demam typhoid!”

“Percaya saja padaku!”

“Aku ini seniormu di sini, masa kamu tidak percaya denganku?”

“Dokter Imron itu ahlinya typhus! Segala penyakit pasti diagnosisnya typhus!”

Suara-suara teman jaga, senior dan co-ass-co-ass yang lain menyorakku memberikan dukungan. Walaupun demikian, aku harus mencari alasan logis mengenai diagnosis itu.

“Harus rasional doong!”

What is the reason behind that typhoid fever as your diagnosis?”

Aku tidak mengerti apakah gramar-nya bênêr atau tidak asal menjawab dengan bahasa Inggris. Oleh dokter Imron kami memang dibiasakan menggunakan bahasa Inggris dalam sidang kasus beliau. Walaupun dengan gramatical maupun cara pengucapan yang kacau, tetapi tetap berusaha bercuap-cuap with English.

Kembali kulihat status nona Diah, pelan-pelan dan aku perhatikan dengan seksama program diet dan terapi yang diberikan oleh dokter Imron. Aku lihat pula buku penyakit dalam FKUI yang dengan setia aku bawa kemana-mana. Demam terutama malam, disertai gangguan lambung mual, eneg, sebah ada pada nona Diah. Nona Diah mengekspresikannya dengan sesak. Dan kata sesak itu yang masuk dalam pikiranku. Setelah aku konfirmasi lagi ternyata bukan sesak tetapi ampeg. Kulihat program terapi pada status pasien nona Diah sekali lagi.

“Yaah…. diet bubur!”

bed rest total…!”

“berarti diagnosisnya typhoid fever

Ya.. diagnosisnya typhoid fever. Aku harus segera menilfun dokter Imron, kalau diagnosisnya typhoid fever. Biar masa “hukumanku” berakhir. Segera pulang… segera melepas jas co-assku, segera melepas segala lengket-lengket daki dan keringat, merasakan segarnya mandi, nikmat sekali, jam dinding menunjukkan jam 17.30 sebentar lagi maghrib.

“Selamat sore dokter Imron… saya Abdul Karim Abdullah co-ass penyakit dalam yang tadi diminta masih tinggal dirumah sakit untuk mencari diagnosis nona Diah Puspitaningsih.”

“Gimana…?”

“Iya dokter, ternyata keluhannya bukan sesak, tetapi ampeg, sebah dan eneg. Ada demam naik turun, turun pagi hari mulai naik siang hingga malam. Setelah saya periksa memang tidak ada wheezing maupun ronchi. Pemeriksaan abdomen hypertympani. Jadi diagnosisnya typhoid fever dokter..”

“Ha..begitu…ya..ya”

“Terus..terapinya apa dokter?”

“Kamu lihat protap untuk Typhoid fever, kamu tulis resepnya…”

“Terima kasih dokter Imron”

klêk……tut…tut…tut..”

Seperti biasa setiap laporan via telephon berakhir, tanpa happy ending bahkan tidak ada penutupan. Penutupannya selalu dengan “tut…tut…tut..”. segera aku selesaikan pekerjaan yang harus selesai sore itu. Aku sudah tidak tahan dengan plikêt[8] keringat dan bau yang menyertainya. Ingin kutanggalkan baju kotor yang menempel di kulit ini. Aku masukkan cucian. Merasakan segarnya air yang dingin saat mandi. Melepas segala kepenatan. Melepas segala ketegangan. Aku ingin rileks.

Kemudian…. P U L A N G ke K O S.

Game over!”

“Aku bebaaas…. yeeees”

“Aku mau mandi sepuasnyaaa…”

“Merdeka!”

----------------------------------


Menjadi co-ass walaupun letih, menegangkan, sport jantung, kusut, tetapi kadang-kadang ada peristiwa yang lucu dan menjadi hiburan tersendiri.

Teman sesama co-ass, Budi, suatu ketika dalam menulis resep seperti ini:

R/ OBH syr fl no 1

S imm
-----------

Arti resep itu, surat permintaan kepada apoteker untuk memberikan OBH sirup kepada pasien dan agar menandai dalam kemasannya cara pemakaiannya diserahkan kepada orang medis. Dengan perintah seperti itu, berarti pasien diminumkan obatnya oleh petugas medis. Sederhananya yang meminumkan obat dokter atau perawatnya. Namanya juga orang lagi belajar. Kalau tahu arti yang sesungguhnya memang menggelikan.

“doktermu, kamu suruh meminumkan OBH ke pasien?” tanya dokter Daniel

“Bu…nanti kalau minum OBH yang meminumkan biar dokter Budi ya…”

“minum sendiri aja bisa, kok bisa-bisanya kamu suruh dokternya meminumkan”

“kik…kik…kik” tanpa bisa ditahan lagi kami co-ass yang mengelilingi dokter Daniel tertawa tetapi tetap berusaha menjaga perasaan pasien. Jadinya tertawa geli yang tidak sempurna.

Co-ass itu memang seperti bayi atau anak-anak balita yang sedang belajar memasuki kehidupan manusia. Belajar ngomong, belajar jalan, belajar mencerna peristiwa yang ada di sekitarnya, belajar merangkai, menggabung-gabungkan peristiwa dan sebagainya. Perilaku orang belajar kalau salah, kan terlihat lucu. Sama seperti co-ass. Karena yang ditangani manusia, maka harus didampingi secara ketat. Penyerahan wewenang secara bertahap sesuai kompetensi yang sudah bisa dicapai.

Kadang-kadang muncul guyonan sesama co-ass, bahwa co-ass adalah singkatan dari corps anak serba salah. Memang orang sedang belajar juga serba salah. Tetapi serba salah itu juga terbawa dalam hubungan-hubungan lain.

Suatu ketika, mas Ridlo, co-ass penyakit dalam juga. Untuk memenuhi syarat untuk bisa ujian di akhir sesi stasis, harus meminta tanda tangan setiap hari kepada dokter senior penanggung jawab stasis. Mas Ridlo, kelupaan kalau paginya tadi tidak meminta tanda tangan di kartu kegiatan. Akhirnya baru siang hari ada kesempatan meminta tanda tangan dokter Hermono, penanggung jawab stasis gastroenterologi.

Dengan terburu-buru, dokter Hermono berjalan menuju parkir mobil. Menjelang sampai mobilnya, tiba-tiba

“Maaf dokter Hermono, tadi dokter belum tanda tangan di sini” kata mas Ridlo sambil menunjuk kartu yang ia bawa.

“Kamu ini bagaimana tho? Tadi ada kesempatan kamu tidak minta. Sekarang saya mau nyopir mobil kamu mintai tanda tangan. Besok saja tanda tangannya di kantor…ndak pantas tanda tangan di sini”

“Maaf dokter, apa kita kembali ke kantor saja untuk tanda tangan…?”

“Ya sudah mana saya tanda tangani” dokter Hermono akhirnya menanda tangani kartu kegiatan mas Ridlo di atas kap mobil sedannya.

Memang sulit dilogika, mengapa dokter Hermono bisa mau masuk ke logika berpikirnya mas Ridlo. Mungkin beliau berpikir dari pada susah-susah harus jalan kembali ke kantor, mendingan beliau tanda tangan di mobilnya saja. Orang pandai pun masih bisa dipinteri oleh orang yang kurang pandai dan kurang pengalaman. Lucu memang aku membatin keadaan ini.

Dokter Hermono, ahli penyakit dalam ini, orangnya nyentrik. Seumur-umur dokter yang perilakunya aneh yang aku jumpai ya beliau itu. Hobi berburu. Berburu pun juga aneh. Sampai beliau ini, dari yang beliau ceritakan, bisa membedakan kucing yang ditembak kepalanya dengan kucing yang ditembak jantungnya.

“Cepat mati mana, kucing yang ditembak kepalanya dengan kucing yang ditembak jantungnya?”

“Kok, kucing dokter yang dibuat percobaan?” tanyaku heran

“Haa… kamu jangan terbawa oleh pola pikir adat atau semacamnya, kalau kucing itu binatang yang malati[9]

“Jangankan menembak kucing, segala tempat keramat kata orang, pernah saya beraki dan saya kencingi. Kata orang ‘hei jangan kencing di situ! Hei jangan berak di situ!’ saya tetap kencing dan berak. Buktinya sampai sekarang saya masih sehat, rejeki saya tidak berkurang. Ndak benar ada tempat keramat itu. Itu hanya ada di pikirannya orang-orang yang pikirannya tidak rasional, macam tuyul kayak kamu-kamu itu!”

“Kembali ke kucing tadi dokter, lebih cepat mati yang mana dokter?”

“Kamu masih ingat anatomi fisiologi?”

“Masih dokter”

“Pusat pengatur pernafasan dan pengatur irama jantung itu ada dimana?”

“Di batang otak dokter”

“Tepat”

“Berarti lebih cepat mati kalau ditembak kepalanya”

“Ya…berarti kamu sudah bisa menggunakan logika berpikir yang baik. Saya itu hanya ingin mengajak kamu-kamu agar bisa berpikir secara rasional. Buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang irrasional atau hal-hal yang berbau mistis itu. Kalau perlu, bila mau memasak ayam, membunuhnya jangan disembelih, tembak saja kepalanya... haa haa ha”

Yaah memang, aku bisa memaklumi maksud beliau agar anak didiknya selalu menggunakan otak rasionalnya. Karena dari apa yang aku peroleh dari buku-buku teks, kuliah..dokter itu harus percaya dan yakin akan bukti-bukti empiris. Jangan percaya apapun sebelum bisa dibuktikan kebenarannya. Selama belum ada penelitian yang valid mengenai suatu metoda terapi, jangan menggunakannya untuk terapi pada pasien yang ditangani. Ini juga benar, dokter Hermono juga pernah mengatakan bahwa seringkali pula orang awam terjebak obat-obat sinse atau lewat jalur MLM obat bagus. Nyatanya belum ada penelitian yang valid yang membuktikan. Yang ada di brosur-brosur itu hanyalah succes story, suksesnya hanya beberapa orang, namun menceritakannya ribuan kali, sehingga tertanam kesan obat itu sangat manjur. Namun dokter Hermono ini kadang-kadang kebablasan dalam menerapkan prinsip ilmiah itu. Dalam taraf tertentu aku menilai beliau ini “atheis”, sangat yakin dengan kemampuan rasionalnya. Banyak hal, bahkan sangat sangat banyak hal berada di luar kemampuan logika berpikir kita. Aku teringat akan nasehat ustadz Luqman, “nabi Musa pernah suatu ketika diuji oleh Allah dengan sakit perut yang hebat. Kemudian beliau memohon kepada Allah untuk diberikan obatnya. Kemudian diwahyukan bahwa ada tanaman tertentu yang bisa mengobati sakitnya. Setelah tanaman itu diketemukan, segera digunakan untuk obat. Maka dengan izin Allah sembuhlah penyakitnya. Beberapa waktu kemudian, nabi Musa ini diserang penyakit yang sama. Segera beliau mencari tanaman yang sama untuk menyembuhkan penyakitnya. Apa yang didapati? Diluar dugaan sakitnya tidak kunjung sembuh malah bertambah hebat. Akhirnya nabi Musa kembali memohon kepada Allah dan menanyakan mengapa dengan sakit yang sama dan obat yang sama pada kali ini tidak menyembuhkan. Kemudian Allah berfirman, yang menciptakan penyakit adalah Aku, maka Aku pulalah yang menyembuhkannya. Akhirnya nabi Musa menyadari kesalahannya, bahwa Allahlah yang menurunkan penyakit, maka Allah pulalah yang menyediakan obatnya, baik itu melalui tangan dokter atau tumbuh-tumbuhan atau semacamnya yang sudah dikenal menyembuhkan penyakit. Kesembuhan itu atas izin Allah”.

Logika ini yang tampaknya tidak terpikirkan atau terbersit dalam pikiran dan hati beliau. Suatu ketika pernah beliau dibuat mati kutu oleh pasien.

Seorang pasien yang baru masuk kemarin divisite dokter Hermono, bersama kami para co-ass.

“Saya itu, sebelumnya dirawat di rumah sakit swasta dua hari saja sudah menghabiskan dua juta rupiah belum sembuh-sembuh. Dari pada saya bangkrut, saya putuskan pindah di sini dokter.”

Lhasampeyan ndak periksa sama saya. Kalau periksa sama saya pasti sudah sembuh! Yang meriksa sampeyan siapa tho?”

Lhapanjenengan niku tho ingkang ngerawat kulo? Kok kesupen panjenengan….kadhos pundhi tho pak dokter[10]?”

dokter Hermono : ?!#?

Aku tidak tahu kemelut apa yang ada dibenak dokter Hermono waktu itu. Dibuat mati kutu di depan co-ass. Selama ini beliau memposisikan diri sangat expert di depan kami.

BERSAMBUNG....

[1] lubang yang ada di bagian hitam untuk orang Indonesia, kalau orang bule berwarna hijau atau kebiruan, dari bola mata

[2] muntah darah dimana sumber perdarahannya dari lambung

[3] Bu, Anda disebut kurang gizi

[4] (bahasa Jawa) untuk menyebut tulang betis bagian depan

[5] suara “ngiiik-ngiiik” yang terdengar ketika melakukan pemeriksaan dengan stetoskop, bila berat sudah terdengar tanpa memakai stetoskop

[6] suara nafas kasar dari saluran nafas

[7] suara “pung-pung” akibat perut kembung

[8] rasa lengket di kulit karena keringat

[9] kalau memperlakukan buruk akan membawa sial

[10] Lha..yang merawat saya ya Anda kan? Gimana sih dokter kok Anda lupa?

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments