Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Tuesday, June 17, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 13

Aku menjadi co-ass bedah


Malam sudah larut, jam dinding menunjukkan pukul 23.30. sebagian besar pasien dan keluarganya sudah tertidur lelap. Pasien tidur di bed masing-masing, sedangkan penunggunya tergantung kelasnya. Yang kelas satu, VIP, hingga super VIP bisa tidur nyenyak di bed penunggu yang tersedia di kamar masing-masing. Sedangkan yang kelas II, III hingga Zaal yang los penunggu berserakan tidur di lantai di bawah, di sekitar bed pasien masing-masing yang ditunggui. Untuk pasien yang mulai sembuh, penunggu mulai bisa tidur lebih nyenyak walaupun tidur di lantai. Tetapi bila pasien masih aktif sakitnya jauh dari mau sembuh, penunggu tidak akan bisa tidur walaupun kamarnya super VIP.

Semakin larut suasana makin hening. Sehingga di sana sini terdengar suara-suara ngrook…ngrook….ssss….secara ritmis yang menyembul dari hasil resonansi[1] organ-organ tertentu dalam rongga mulut, tenggorokan, rongga hidung dengan cara tertentu menghasilkan suara yang dikenal dengan nama mengorok. Persis seperti suasana di desa terutama musim penghujan, suara para makhluk jantan, entah itu katak atau jengkerik yang sibuk melantunkan irama-irama tertentu yang mendayu-dayu untuk mengajak-ngajak dan merayu-rayu calon partnernya yang betina agar mau diajak melakukan hal-hal yang diinginkan kaum lelaki. Cuman suara yang dihasilkannya “kriik” “kriik” “kriik” dan “pung” “pung” “pung”. Ada juga teman yang bilang, suara-suara orang mengorok itu seperti orang yang tahsin[2] yaitu melatih bacaan huruf-huruf hijaiyah tertentu

“gho ()” dan

“kho ()” kadang-kadang

“ssiin (س)”

cuman sayangnya dilakukan pada saat tidur dan tidak sadarkan diri.

Derit roda bed menggelinding, memecah keheningan malam yang larut. Terbaring seorang pasien pria, 35 tahun di atas bed, terpasang sebuah infus yang selangnya bergelantungan seperti tangan-tangan monyet yang menyambar makanan sementara kakinya masih di batang pohon. Di ujung bed, sepasang tangan yang putih, bersih dan lembut mbak Darsih, perawat bangsal bedah dengan wajah yang masih tetap sumringah kendati malam telah larut, mendorong dengan lembut, membawanya menuju kamar operasi.

“Tenang ya, pak Sarwono. Ditata hatinya. Kalau bapak tenang, insya Allah operasi nanti akan berjalan lancar.” Kata mbak Darsih yang berusaha menenangkan hati pak Sarwono.

“Iya suster, saya juga berusaha menenangkan hati saya, sejak tadi saya mencoba memperbanyak dzikir kepada Allah. Saya sudah siap suster.” Jawab pak Sarwono mantap, yang menunjukkan kesiapan batiniahnya.

------------------

Pasien didiagnosis menderita appendicitis acut. Namanya bapak Sarwono, beliau ini adalah pasienku pertama yang dilakukan operasi selama aku stasis di bagian bedah. sudah puasa 6 jam yang lalu Kesempatan ini adalah jadwal jagaku pertama. Dengan pak Sarwono ini pulalah aku akan melihat suatu rangkaian peristiwa yang bagiku sebagai suatu pengalaman yang luar biasa. Aku sendiri sebagai dokter muda atau co-ass ikut-ikutan deg-degan apalagi pak Sarwono. Penyebab rasa deg-deganku adalah selain harap-harap cemas melihat tubuh orang yang dirobek, disayat, diobok-obok, darah mengucur juga aku takut seperti yang terjadi pada Tony. Dia itu pingsan bila melihat darah mengucur. Bila pingsan seperti itu tentu akan merepotkan kru operasi yang sedang repot-repotnya bekerja. Bila pingsan, akan menjadi berita besar di acara infotaintment ruang jaga co-ass.

“Hee… si Karim pingsan”

“Eh.. sudah dengar belum Karim pingsan sampai terkencing-kencing di kamar operasi”

“Ada berita lucu…. Karim menjadi pasien tambahan di kamar operasi”

“Kabar terbaru… Karim pingsan dan celananya basah karena kencing di kamar operasi”

Lain halnya dengan aku, rasa dêg-dêgan pak Sarwono, tentu saja mengenai kecemasan akan hal-hal yang terjadi pada dirinya yang dia sendiri tidak mengetahui sama sekali. Dia hanya bisa bedoa, memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit terdengar suara lirih surat Alfatihah, sholawat nabi, ayat kursi dan dzikir-dzikir lainnya.

Subhanallah…” ± 33 ×

× 33 ± Subhanallah…”

alhamdulillah” ± 33 ×

× 33 ± Alhamdulillah

Astaghfirullah

Astaghfirullah” ± 33 ×

± 33 × “Allahu akbar

Allahu akbar” ± 33 ×

Laa illaha illallaah” ± 33 ×

Laa illaha illallaah” ± 33 ×

× 33 ± Laa haula walaa quwwata illa billaah

Laa haula walaa quwwata illa billaah ± 33 ×

Sesekali beliau wajahnya menyeringai, meringis, menahan rasa sakit sambil memegangi perut bagian kanan bawahnya dengan tangan kanannya yang terpasang seperangkat instalasi jarum infus dan teman-temannya.

“Ahh..hhh….” terdengar rintihan lirih dari mulut pak Sarwono diantara dzikir-dzikirnya.

“Sabar ya, pak” kataku sambil aku genggam ringan tangan pak Sarwono. Aku rasakan kekekaran otot-otot tangannya yang menunjukkan beliau itu adalah seorang pekerja keras.


Aku sangat bisa memaklumi apa yang dialami dan yang dilakukan pak Sarwono. Sebelum co-ass, aku pernah juga menjalani operasi. Menjelang operasi dilaksanakan, kecemasan yang sama juga bahkan perilakuku lebih parah ketimbang beliau. Aku bolak-balik ke kamar mandi sampai 10 kali, bukti kalau aku sedang mengalami kecemasan menjelang operasi. Selain itu, kecemasanku yang lain adalah efek samping akibat obat anestesi, aku takut mengigau tentang hal-hal pribadiku yang bersifat sangat rahasia dan aku sangat malu kalau diketahui orang lain.

---------------------

Pak Sarwono kutinggalkan di ruang tunggu pra operasi. Mbak Darsih mengolah pak Sarwono, agar siap “hidang” di meja operasi. Mengganti pakaian pak Sarwono dengan baju steril. Serta mengecek kelengkapan operasi, obat-obat semuanya obat injeksi termasuk botol-botol infus yang akan digunakan nanti pada saat operasi. Mbak Darsih sangat cekatan, pekerjaan ini dia lakukan sendiri, tidak ada perawat lain yang membantu. Mana mungkin mendapat bantuan dari sesama teman perawat, pekerjaan malam itu sangat banyak. Banyak pasien yang harus ditangani di IGD
[1].

---------------------

Sementara aku masuk kamar ganti sambil menyambar baju dan celana steril untuk operasi nanti. Baju dan celana itu berwarna hijau pupus, modelnya seperti piyama untuk baju tidur, tanpa kerah, lengan pendek. Sementara celana operasi seperti celana kolor tanpa karet, untuk sekuriti biar tidak melorot ada tali dari bahan kain yang sama dengan baju dan celana, yang bisa dikencangkan dan dibuat simpul tali.

Kutanggalkan bajuku, kuganti dengan baju operasi, dan memakai topi operasi. Semuanya serba steril. Memakai baju operasi, membuatku merasa sudah seperti dokter ahli bedah yang gaek, dan merasakan kewibawaan seorang dokter bedah. Baju dan celana operasi memang hanya baju yang sederhana, tetapi karena dengan baju itu orang akan melihat sebagai bagian dari tim dokter yang akan melakukan operasi, jadilah perasaan emosionalku bermain. Seperti orang yang membeli sepatu Nike Michael Jordan yang mahal itu, walaupun orang biasa, tetapi bila memakai sepatu itu sudah merasa seperti Michael Jordan, walaupun hanya menonton pertandingan basket saja dan tidak bermain.

Itulah yang kualami. Kebetulan di lorong kamar ganti banyak cermin, sadar tidak sadar aku melirik diriku dengan pakaian kebesaranku. Aku dilanda perasaan bangga dengan diri sendiri.

“Lihatlah dirimu Karim. Kamu ini anak seorang petani yang dulu culun, lugu, ndeso sekarang kamu menjadi dokter.”

“Bapak ibu, lihatlah aku ini anakmu, aku jadi dokter. Betapa senang dan bangganya mereka bisa melihat aku seperti ini sekarang. Ya Allah berikanlah aku kekuatan dan kemampuan, sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan dokter ini hingga aku benar-benar menjadi dokter. Menjadi dokter yang sholeh tentunya. Amin” suara lirih dari dalam batinku, menentramkan, membuat hilang semua capek, kepenatan, keletihan dan memompakan semangat baru dalam perjuanganku untuk meraih gelar dokter.

---------------

Dokter Ninik, seorang dokter residen bedah semester lima menghampiriku. Orangnya cantik, rambutnya lurus sebahu, bulu alisnya tebal tapi lembut dan langsing seperti bulan sabit yang masih tipis, hidungnya yang lentik, kulitnya putih cerah, mengingatkanku pada pada wajah bintang sinetron Desi Ratnasari. Memakai kaca mata fiberglass minus tanpa frame, menambah cantik, anggun dan terkesan intelek.

Aku cuman membatin diriku, baru sekilas melihat dan bercakap-cakap dengan beliau aku bisa mendiskripsikan dengan detail bagian-bagian wajah yang menarik darinya, dan sebagai laki-laki normal tentu ada ketertarikan dengan penampilan fisik cantiknya dokter Ninik. Makanya Allah SWT, memerintahkan kepada orang mukmin untuk menjaga pandangan terhadap lawan jenis kemudian manjaga kemaluan. Karena dari pandangan itu mulailah segala interaksi yang pada puncaknya menjadi berkhalwat. Banyak kudengar selingkuh dokter dengan dokter, dokter dengan perawat, dokter dengan pasiennya, dokter dengan bidan dan seterusnya. Semua berawal dari pandangan, kemudian curhat bahkan puncaknya sampai terjadi coitus. Bahkan pernah dokter Idrus, psikiater bercerita, “hubungan psikiater dengan pasien, bila pasien perempuan, sedang psikiaternya laki-laki atau sebaliknya psikiaternya perempuan sedang pasien laki-laki, sedang menjalani psikoterapi, dalam enam bulan dipastikan akan terjadi coitus dari relasi tersebut, yaah dokter juga manusia normal, pasien juga manusia yang normal... hawa nafsunya”

“Mana dik Karim, status pak Sarwono? Sudah puasa 6 jam kan?” tanya dokter Ninik, sambil memberikan isyarat tangan agar aku mengikutinya di tempat cuci tangan.

“Ini, dokter Ninik, beliau sudah puasa” jawabku sambil ku berjalan mengejar ketertinggalanku berjalan agar bisa bareng dan sejajar dengan beliau. Samar-samar kucium aroma tubuhnya yang harum. Dan akhirnya sampai di tempat cuci tangan.

“Sarung tangan steril ada di tepi situ ya dik Karim, sudah bisa cara memakainya kan?”

“Sudah dokter, begini kan? Insya Allah masih ingat, kemarin diberi briefing oleh dokter Beny.” Jawabku sambil memakai sarung tangan steril. Sarung tangan yang sudah disteril, sengaja separoh bagian pergelangannya dilipat keluar, agar tangan yang tidak steril banget, walaupun sudah cuci dengan sabun dan dibilas dengan alkohol, masih belum ideal sterilnya, bisa menyentuh permukaan sarung tangan yang nanti terletak dibagian dalam.

“OK, udah benar Karim, ayo kita masuk dan memakai gaun steril..” dokter Ninik membenarkan cara memakai sarung tangan steril yang aku praktikkan.

Kemudian kami berdua masuk kamar operasi memakai gaun steril dengan dibantu oleh perawat.

------------------

Dokter Karso, ahli anestesi mulai menyuntikkan penthotal 1 ampul untuk premedikasi, lewat karet yang terletak pada pangkal selang infus di punggung tangan pak Sarwono, menusuknya, memasukkan pelan-pelan cairan bening kekuningan penthotal sembari menekan pelan-pelan pendorong spuit 10 cc.

“Di suntik ya pak Sarwono, beberapa saat setelah disuntik nanti bapak akan tidur, dan bangun operasi sudah selesai… bismilahirrohmaanirrohiim,” ucap dokter Karso sambil melakukan pekerjaannya.

“Iya dokter, insya Allah” jawab pak Sarwono dengan pasrah. Yang beberapa saat kemudian mulai mengantuk dan tertidur..

Pak Sarwono saat ini berubah menjadi wujud yang lain. Separoh wajahnya tertutup masker oksigen. Banyak selang di sana-sini bermuara ke tubuhnya. Pipa oksigen, nitrogen semua bermuara ke masker oksigen, yang membekap seluruh mulut dan hidungnya. Di bagian lengannya melingkar manset tensi meter yang mengalir pipa karet menuju pompa elektrik yang secara otomatis bisa memompa dan mengembungkan manset, terlihat di monitor berapa besar tensinya. Di ujung jari telunjuk tangan kiri, tersambung alat yang memancarkan cahaya merah yang ujungnya bermuara kabel berjalan menuju monitor yang melaporkan berapa frekuensi nadi permenit, tingkat kejenuhan oksigen. Kulit punggung tangan kanan dekat pergelangan tangannya ditembusi jarum infus sudah terpasang sebelumnya beserta perangkat pelengkapnya, di dalamnya ada lubang panjang terbungkus pipa yang menghubungkan pembuluh darahnya dengan kantong infus 500 cc yang tertera NaCl 0,9 %.

Papan monitor elektronik memamerkan angka-angka indikator baik tidaknya status umum pasien. Ada indikator tekanan darah, ada indikator kadar oksigen dalam darah, ada indikator penunjuk frekuensi nadi semenit dan ada grafik rekaman listrik jantung yang terus berjalan tanpa henti-hentinya sepanjang yang dimonitor masih hidup.

-----------------

Bagian tubuh pak Sarwono ditutup dengan kain steril kecuali bagian yang akan menjadi medan operasi. Daerah itu terletak antara pusar dengan tonjolan tulang dekat pinggang atau kami menyebutnya sebagai SIAS[1], ditarik garis lurus, garis pembatas sepertiga bagian bawah, dilakukan pengirisan dan di bawahnya terletak appendix atau usus buntu.

Dokter Karso memberikan kode mengacungkan jempol tangan kanan, pertanda bahwa operasi bisa dimulai. Dokter Ninik, mencubit keras kulit yang akan diiris dengan penjepit jaringan dalam waktu lama. Pak Sarwono tidak menunjukkan respons kesakitan atau bergerak-gerak, malah dia tertidur pulas. Segera memulai membuat sayatan melintang di atas garis yang telah dibuat tadi dengan ballpoint yang tentu saja sudah disteril.

“Untuk membuat sayatan kulit, tekanan jari pada sepertiga ujung pisau Rim, seperti ini, tetapi kalau kita ingin membuat sayatan yang lebih luas tekanan jari di arahkan pada bagian tengah pisau sambil menggeser pisaunya, jangan lupa kamu siap-siap memegang kassa ya. Begitu kamu lihat darah merembes keluar, segera ditampon dengan kassa itu” dokter Ninik mengajariku cara membuat sayatan kulit yang benar.

Dan benar darah segera merembes keluar. Sesekali, ketika sayatan mengenai arteri.. darah tidak lagi merembes tapi mengucur…

Klem!” dengan intonasi suara yang agak tinggi, dokter Ninik menginginkan klem arteri untuk menjepit pembuluh arteri yang robek akibat sayatan. Sehingga darah berhenti keluar.

Couter!” bila dokter Ninik berkata seperti itu, berarti menginginkan darah yang mengucur dihentikan perdarahannya dengan couter listrik. Perawat langsung menjulurkan alat couter listrik pada pembuluh arteri atau vena yang robek tadi à di”las” dengan couter listrikàperdarahan segera berhenti.

“Arteri terpotong, sekalipun arteri besar terpotong…. itu hal yang biasa… dan tidak salah… asal kita tahu… sehingga kita segera mampu menghentikan perdarahannya. Yang berbahaya adalah…. ada arteri terpotong walaupun kecil… tetapi kita tidak tahu…luka bisa kita tutup…. tetapi perdarahan terus berjalan…. lama-lama pasien kehabisan darah…. dan… mati. Yang sangat ditekankan bagi dokter bedah adalah selalu ‘awas’, teliti, melihat kelainan-kelainan yang terlihat hingga sedetil-detilnya…dan segera atasi permasalahannya. Dokter bedah boleh “salah” tetapi tidak boleh ragu.” Dokter Ninik mengajariku tentang prinsip-prinsip dalam melakukan pembedahan dalam keadaan hidung dan mulut tertutup masker steril. Sesekali dari permukaan masker yang menutup mulutnya menyembul-nyembul keluar terutama saat beliau mengucapkan kata yang menyebabkan udara terdorong kuat. Memang memakai masker terasa tidak nyaman, sehingga berbicara tidak bisa lancar seperti ketika tanpa masker steril.

Sayup-sayup aku mulai merasakan hawa dingin yang mulai menggerayangi permukaan kulitku. Rupanya udara AC itu mulai merasuk di sela-sela gaun bedah yang aku kenakan. Kamar operasi selalu ber-AC. Meskipun demikian ketika mengalami kesulitan dalam melakukan operasi, selalu saja masih bisa berkeringat. Sehingga seringkali dokter bedah itu meminta perawat mengusap keringat yang mengalir setetes demi setetes di permukaan dahinya yang tidak tertutup masker.

hak!” sekali lagi dokter Ninik memerintahkan perawat asisten mengambil hak, untuk menyibak lapisan-lapisan kulit perut, otot-otot perut dan fasia[2] pembungkus perut; dokter Ninik telah menyayati lapisan-lapisan itu.

“Itu usus ya dok, …dan itu appendiks… benar dok?” tanyaku melihat benda yang sedang dikeluarkan dokter Ninik dari lubang yang telah dibuatnya.

“Ya benar. Kamu lihat ini…. warnanya!” dokter Ninik membenarkan apa yang aku katakan. Dan meminta aku untuk melihat secara seksama benda yang ditunjuknya, umbaian usus kecil yang namanya usus buntu atau appendiks itu.

“Bengkak, trus, kemerahan dan samar-samar ada warna kekuningan, sepertinya ada abses ya dok?” jawabku setelah mengamati benda yang dokter Ninik tunjuk.

“Benar Rim, Alhamdulillah tidak ada abses yang pecah. Tidak ada pus yang menyebar di dalam rongga perut. Berarti nanti langsung kita tutup kulitnya. Kamu nanti yang menjahit kulit luarnya ya. Aku ingin melihat keterampilanmu menjahit kulit” dokter Ninik, sekali lagi membenarkan apa yang aku katakan.

“OK dok! Nanti aku diberi umpan balik mengenai teknikku menjahit ya dok!”

“Ya..” jawab dokter Ninik sembari mengacungkan jempolnya yang masih terbungkus sarung tangan yang penuh bercak-bercak darah.

Dokter Ninik sibuk sekali mengangkat usus tempat menempelnya usus buntu hingga bisa terangkat. Setelah itu, beliau mengikat pangkal usus buntu dengan simpul beberapa kali. Sebentar, beberapa saat mengamati sekali lagi permukaan usus yang terlihat… bersih! Akhirnya memotong pangkal usus buntu tadi tepat di atas simpul benang yang telah dibuat sebelumnya.

Selesai…

Setelah menjahit kembali lapis demi lapis, dan tinggal lapisan kulit terluar, dan kemudian …, giliranku melakukan actions, menjahit lapisan kulit terluar dengan simpul sederhana.... ya dengan tangan yang gemetaran, meyangkutkan benang harus berulang-ulang. Waktu yang kuhabiskan ternyata 10 menit sama seperti yang dilakukan dokter Ninik mulai dari mengiris membuat sayatan pertama hingga menutup kembali lapis demi lapis…. Luar biasa dokter Ninik!

“Jangan minder Karim! Keahlian itu terbentuk bukan dari IQ yang tinggi, melainkan sifat tahan bantingnya kita. Yang diperlukan agar bisa menjadi dokter bedah adalah tahan banting. Tahan banting untuk selalu, selalu dan selalu berlatih, belajar dan membaca. Kita tidak tahu pada latihan yang ke berapa kita bisa mahir. Bisa mengusai teknik bedah tertentu. Ibarat seperti pemukul batu besar, dia terus memukul batu, tanpa peduli pada pukulan ke berapa batu itu akan pecah. Kita tunduk pada sunatullah ‘jam terbang’. Semakin ‘jam terbang’ tinggi semakin mahir, semakin tenang dan semakin bisa melihat secara detil.” Dokter Ninik memotivasiku sambil menanggalkan gaun bedahnya, sarung tangan steril ke dalam bak yang telah disediakan. Kemudian menulis tindakan dan program terapi selanjutnya di lembar status pak Sarwono.

“Tapi walaupun sudah senior, ketika menghadapi dissaster juga masih tetap panik, walaupun tidak seheboh ketika masih yunior. Dahulu pernah senior saya, dia itu dokter ahli lutut dan senior lagi, ketika mengoperasi seorang dokter juga, mengalami panik akibat disaster, walaupun akhirnya permasalahan selesai, operasi berlangsung sampai 4 ½ jam! Sekali lagi masih merasa P A N I K.” cerita dokter Ninik kepadaku saat sama-sama berjalan keluar dari kamar operasi menuju bangsal. Karena ada dua lagi pasien yang akan dilakukan operasi malam itu juga.

Dissasternya kayak apa ya dok?” tanyaku dengan penasaran.

“Setelah kapsul pembungkus tempurung lutut dibuka, mulai terlihat keadaan tempurung lutut pecah, tendon otot ada tiga yang terputus. Pekerjaan pertama menyambung tempurung pecah dengan saling mengikatkannya dengan kawat seperti orang menjahit menusukkan kemudian mengayam kawat di tulang tempurung. Setelah itu diuji kekuatannya. Pekerjaan telah menghabiskan waktu empat puluh lima menit atau tiga perempat jam. Pekerjaan yang sulit adalah menyambung tendon yang terputus dengan otot-otot yang ada tetapi menghasilkan fungsi yang maksimum. Jadi tidak asal menyambung otot dan tendon. Pekerjaan pertama kali menyambung otot dan tendon yang lepas berhasil, tetapi pada saat uji kekuatan otot penderita rapuh, sehingga ada pekerjaan tambahan memulihkan bentuk otot yang rapuh dan mencari otot baru tempat pengait kawat dengan tendon. Sudah dua kali otot yang telah dicoba, semuanya rapuh. Padahal masih ada dua pekerjaan penyambungan lagi. Keadaan inilah yang menjadi dissaster dan membuat P A N I K. Dalam bayangan kita yang masih yunior, keadaan ini cukup menegangkan. Sementara pasien masih dalam keadaan terbius total, kita bekerja dalam batasan waktu harus selesai tidak bisa ditunda besoknya. Harus segera membuat keputusan. Kegagalan akan berakhir pada tuntutan. Segala macam pikiran berkecamuk pada keadaan seperti itu. Karena itu dibutuhkan ketenangan, jiwa tahan banting menghadapi dissaster seperti itu dan yang lebih penting mampu menghasilkan keputusan yang tepat. Yang sangat penting adalah keadaan terkendali secara emosional. Akhirnya beliau berhasil juga walaupun ada keterlambatan dua jam dari waktu yang semula diperkirakan. Keadaan ini juga berakibat pasien mengalami oedema paru karena kelebihan cairan dari infus yang diberikan.” Papar dokter Ninik panjang lebar, dan tanpa sadar, kami berdua sudah sampai bangsal.

Dissaster” desisku. Aku masih terpesona dengan kosa kata baru “dissaster”. Tanpa sadar aku sudah ketinggalan langkah dari dokter Ninik.

“Karim! Kamu ngapain? Status pasiennya mana?” suara itu mengejutkan lamunanku. Segera aku menyusul beliau.

Dokter Ninik kuakui fisiknya luar biasa, semalam melakukan operasi lima kali, pagi harinya masih dalam keadaan fresh. Sementara aku pada operasi yang ketiga, rasa kantuk dan lemasku sudah tidak tertahankan lagi bahkan sampai mau jatuh. Karena itu aku meminta mbak Erlina menggantikanku dalam posisi asisten operator mendampingi dokter Ninik.

Karena itu aku bisa memaklumi mengapa tarif dokter bedah bisa mahal. Memang pekerjaanya rumit, melelahkan, tanpa mengenal jam tetap untuk bekerja, penuh resiko serta tuntutannya demikian tinggi. Bahkan ada guyonan dokter bedah dan dokter obgyn itu tidak bisa menikmati spring bed mahal yang ia beli. Sisa umur hidupnya dikontrak untuk tidak bisa tidur nyenyak. Tapi ada juga joke yang agak miring… cita-cita dokter Obgyn adalah mengubah vulva menjadi volvo…baddala.

BERSAMBUNG..

[1] SIAS singkatan dari Spina Iliaca Anterior Superior; tonjolan tulang di depan pinggang kanan dan kiri

[2] jaringan pengikat berwarna putih dan tebal yang membungkus otot-otot.

[1] Instalasi Gawat Darurat

[1] Ikut bergetarnya suatu benda akibat bergetarnya benda lain, dalam hal ini yang bergetar adalah langit-langit lunak yang melembek akibat kita tidak sadar oleh getaran aliran udara pernafasan.

[2] Belajar intensif memperbaiki tajwid (cara membaca) huruf-huruf Al-Qur’an

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments