Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Monday, June 9, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 4

Nganjuk- 2

Rumah itu terpisah dari rumpun rumah yang lain seperti seekor kambing yang menjauh dari gerombolannya. Melepaskan diri, memagarinya dengan tanaman-tanaman yang rimbun, sesekali menyembul tanaman besar seperti mangga cangkok dan kelapa hibrida. Jadi rawan sekali keamanannya. Bapakku, termasuk “the best seller” dalam melaporkan kemalingan di kantor balai desa.

Rumah itu bagaikan wajah suku terasing Irian, penuh dengan ornamen-ornamen yang némplék di wajahnya. Di sana-sini tanaman. Hampir-hampir tidak ada ruang tersisa, kecuali teras dan halaman untuk parkir kendaraan. Bapakku memang pecinta tanaman dan burung. Masalah tanaman, beliau sangat bertangan dingin. Apapun tanaman yang dipegangnya selalu tumbuh lebat dan berbuah. Sawo yang dicangkok dari budhé dengan tinggi kurang dari satu meter bisa berbuah. Tidak ada sejengkal tanah pun di rumah kami yang tidak luput dari tanaman. Minimal tanaman rumput. Rumput pun banyak ragamnya. Rumput golf, rumput têki, rumput gajah, rumput gulma semuanya ada.

Hanya satu kelemahan kami adalah menyusun p r i o r i t a s dalam menentukan tanaman mana yang boleh tumbuh dan tanaman mana yang tidak. Tidak ada dominasi tanaman komersial yang tertanam di sana. Kalaupun ada, kami kurang pintar mengomersialisasikan. Burung pêntét yang ngocéhnya bagus dan nyaring, namun sayang jumlahnya hanya dua, sehingga bukanlah barang yang layak dijual karena tidak ada perputaran. Pernah ditawar dengan harga mahal, tetapi bapak tidak mau melepaskannya. Jadi jiwa kapitalis belum atau sedikit sekali yang merasuk dalam jiwa kami.

Yah itulah rumahku, rumah di pinggir jalan besar, tidak ada tetangga karena kanan, kiri, dan belakang terhampar sawah. Rumah itu sebenarnya berdiri di atas tanah persawahan yang sudah dikeringkan. Hampir setengah kilometer di belakang rumahku adalah jalan kereta api. Hingga aku SMA, aku masih sering berlari-lari di pinggir jalan kereta api. Aku, dan kedua adikku Iqbal dan Harun, melintas menyeberangi jalan kereta api yang panjang membelah sawah di kanan kirinya dengan tegas, seperti jarum yang menusuk merobek daging. Orang tua kami punya sawah yang luasnya satu hektar, terpencar-pencar dan ada sawah yang letaknya di selatan jalan kereta, dekat sungai besar.

Di belakang rumahku ada dua blumbang[1], sedangkan di samping kanan juga ada dua blumbang. Keempat blumbang itu diisi ikan mujahir dan sebagian ikan nila. Memang diniatkan untuk dijual. Hasilnya lumayan, untuk membayar SPP kami. Yang membuat was-was adalah penyakit yang menyerang ikan. Biasanya cepat sekali menyebarnya. Pernah suatu ketika, satu kolam terkena penyakit, banyak ikan yang mati. Blumbang harus dikuras dan dikosongkan hingga beberapa waktu, agar benar-benar steril.

Karena trauma setelah kejadian itu, akhirnya bapak memutuskan untuk mengurug dua blumbang di belakang rumah dan menyulapnya menjadi kandang ayam lehor. Ternyata setali tiga uang, alias sama saja. Juga banyak hama. Pernah tiga kali panen berturut-turut rugi, yang berarti kerja bakti dan tombok.

Pilihan membuat blumbang dan peternakan ayam lehor, adalah upaya bapak dan ibu untuk bisa survive. Petak-petak sawah yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, satu persatu akhirnya dilepas, menyusul kebutuhan kuliah aku dan kedua kakakku yang harus segera dipenuhi. Uang gedung yang jutaan dan sangat besar nilainya terutama untuk kakakku yang sulung dan cadangan pilihanku ketika aku juga mendaftarkan diri di FK UNISSULA masih bisa diambilkan dari hasil menjual petak-petak sawah itu. Untuk aku, yang Allah mengizinkan aku kuliah di FK UNS, uang gedung yang sudah bapakku bayar, dikembalikan lagi setelah dipotong 10 persen.

Dan tibalah saatnya ketika adikku Iqbal, kuliah dan gagal UMPTN, orang tuaku sudah exhausted. Tidak ada petak sawah yang dijual, tinggal rumah itu satu-satunya yang ada. Aku sangat memprihatinkan kondisi Iqbal. Mudah-mudahan Allah memberikan dia kekuatan hati. Mudah-mudahan dia memahami ayat “janganlah kalian berputus asa dalam rahmatNya

“Allah Maha Kaya dik. Maha Kaya akan pilihan rahmat yang diberikan-Nya kepada kita. Maha Kaya akan cara membuat kita bahagia” namun sayang kata-kata itu hanya terucap di dalam hati. Belum pernah aku ungkapkan pada Iqbal.

Nganjuk -3

Aku dan Barkah menginjakkan kaki di rumah itu. Butuh waktu beberapa lama memasuki pekarangan hingga pintu rumah, yang semuanya dikepung oleh tanaman. Segera terbayang dibenakku bapak yang makin memutih rambutnya. Makin terlihat jelas kerut-kerut akibat keriput kulit yang menutupi dahinya. Pertanda usianya semakin lanjut. Sedangkan ibu makin kurus dan kakinya kering penuh bercak-bercak kehitaman yang aku tahu dari pelajaran interna[2] adalah ciri khas diabetes yang sudah menahun dan disebut kaki diabet. Ibuku sudah menderita diabetes sejak sepuluh tahun yang lalu. Kadar gulanya sering di atas 200 mg/dL. Pemicu ibuku menderita diabetes adalah ketika memikirkan biaya untuk kakakku yang sulung kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Pilihan berat bagi keluargaku harus memilih mbak Fatimah tetap kuliah di FK UNISSULA atau tidak kuliah sama sekali.

“Fatimah harus kuliah!” tekad bapakku begitu kuat.

Piyé carane!” lanjut beliau dengan mantap

“Kalau rumah yang kita tempati ini kita jual piyé buk’e Fat[3]?” pertanyaan bapak bagaikan petir menggelegar, menghanguskan hati siapa saja yang mendengar. Seluruh waktu serasa berhenti memberi kesempatan otak untuk mencerna dalam-dalam kalimat yang diucapkan bapak. Hingga waktu serasa tidak mau berpindah ke detik selanjutnya. Seisi rumah ingin benar-benar memahami kata rumah di jual tanpa diiringi oleh waktu yang terus berjalan.

“Rumah ini kita jual?” tanya ibuku kepada bapak, dengan tatapan masih tidak percaya.

Yang dipikirkan ibu adalah nasib warung makan yang selama ini beliau tekuni. Warung makan itu bernama “Warung Cocok”. Memang warung ibu adalah warung kelas sopir truk karena dari yang kebanyakan makan di sana kebanyakan berkendaraan segala macam jenis truk. Biasanya favorit mereka selain rasa harus enak, porsi nasi harus banyak dan ukuran daging yang disajikan dalam potongan-potongan besar. Lawuhe tenanan. Jadi kalau habis makan pasti benar-benar kenyang.

Usaha jualan makanan itu berada di rumah yang kami tempati. Selama ini, biaya hidup, untuk makan sehari-hari, membeli peralatan sekolah, membayar SPP diperoleh dari usaha buka warung makan ini. Sedangkan bapak, banyak mengurus sawah yang luasnya nyaris satu hektar. Jadi bapak baru mendapatkan uang cash setiap musim panen atau tiga bulan sekali.

Lha terus, warung makannya?” tanya ibu secara telak kepada bapak, untuk menyadarkan bapak,

“Kalau rumah ini dijual, kita akan kehilangan sumber pendapatan rutin kita pak’e Fat”. Lanjut ibuku lebih menegaskan lagi.

Bapak kemudian mengerut-ngerutkan dahi. Mencoba-coba segala alternatif yang muncul dari dalam benaknya. Semua beliau tata dalam skenario rencana. Beliau siapkan rencana-rencana skenario dari A sampai Z. Semuanya kembali mengarah pada satu jawaban: b u n t u. Menjual petak sawah harus menjual 3 patok sekaligus. Tidak ada jaminan kapan akan laku. Sedangkan waktu pembayaran uang gedung harus segera dilunasi berikut uang SPP kuliah dan praktikum. Beberapa waktu yang lalu ada orang Cina yang membutuhkan tanah untuk membuat bengkel dan bersedia membeli rumah kami. Jadi satu-satunya jalan adalah menjual rumah yang ditempati. Inilah persoalan yang membuat kami pontang-panting.

Tiba-tiba saja ibu yang semula gemuk, berat badannya mencapai 70 kg berubah menjadi tinggal 48 kg. Menyusut drastis. Akhirnya periksa ke dokter Natalia, dan diperiksa gula darahnya. Hasilnya sungguh mencengangkan 340 mg/dL. Ibu sejak saat itu harus minum obat penurun gula darah atau biasa disebut antidiabet secara teratur setiap hari hingga sekarang.

Untung saja, mbak Malika diterima PMDK[4] di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Biaya kuliah jauh lebih murah. Dan sekolah di universitas negeri lagi.

Sering aku merasa sangat pengecut. Tidak mampu berbuat apa-apa untuk ibuku. Maafkan aku ibu. Maafkan aku bapak. Aku masih harus meminta uang saku kuliahku.

------

“Assalamu’alaikum!” sapaku dan Barkah dengan sedikit berteriak.

Rumah tampak lengang dan sepi. Warung makan tempat jualan ibu telah ditutup. Ia terletak di sayap kiri rumah. Bagian tengahnya adalah ruang tamu. Sedangkan sayap kanan adalah garasi mobil. Garasi mobil? Jangan terkejut dulu, mobil milik keluargaku adalah Mitsubishi L100, bermesin dua silinder, mungil dan berwarna kuning kehijauan. Pilihan warna yang disukai bapak memang nyéntrik. Walaupun begitu, mobil itu telah mengantar kami sekeluarga ke Surabaya, mengunjungi mbak Malika. Ke Semarang, menengok mbak Fatimah dan ke Solo, melihat keadaanku di kos.

“Wa’alaikum salam” suara yang muncul dari dalam rumah menyapa kami dengan ramah.

“Pak, Karim dan Barkah datang!” dengan gembira ibuku menyambut kami, dan tidak tertahankan ingin bersegera menyampaikan kegembiraannya kepada bapak yang berada di belakang.

“Ayo Kah, kita masuk ke dalam!” aku ajak Barkah langsung masuk ke kamarku. Kamar itu sekarang ditempati dik Iqbal dan dik Harun. Memang kamar rumah baru setelah rumah lama dijual, hanya ada dua kamar. Karena yang tinggal di rumah tinggal bapak, ibu, dik Iqbal dan dik Harun. Kalau dik Iqbal kuliah, berarti berkurang satu. Kalau dik Harun kuliah berarti tinggal bapak dan ibu saja. Bila lebaran, semua orang berkumpul, maka kami anak-anak yang laki-laki tidur di ruang tamu dan warung, setelah meja dan kursinya dibereskan.

“Aku salut sama keluargamu Rim, tekad dan semangatnya luar biasa. Aku punya keyakinan kuat semua putra-putri bapak ibumu akan jadi orang sukses semua” Barkah mengawali pembicaraan pada saat santai setelah bersih-bersih badan.

“Ah, kamu. Amin, itu doa, harus diamini. Yang penting amanah dengan segala apa yang kita miliki. Kamu sekeluarga aku yakin juga akan menjadi orang sukses. Mas Amir menjadi insinyur di Malang, kamu menjadi dokter, dan mas Indra menjadi dokter gigi. Apa itu namanya juga bukan keluarga yang sukses?” aku menimpali mengimbangi rasa tidak enakku karena dipuji.

“Ya sama-sama, amin”

Ibu memberi kode kepada kami, habis sholat maghrib agar kami makan malam bersama. Kalau butuh makanan enak, tinggal menyembelih ayam atau mengambil ikan. Semuanya ada di belakang. Malam itu bapak dan ibu seperti biasa tidur di kamar bapak ibu sendiri. Kami berempat, Barkah dan aku tidur di tempat tidur atau di atas, sedangkan dik Iqbal dan dik Harun tidur di bawah. Aku tidur di atas karena menghormati tamu.

Pagi hari, sholat subuh berjamaah, mandi dan sarapan. Seperti biasa bapak selalu memanasi mobil L100 itu dengan penuh kesabaran. Aku meminta izin kepada bapak untuk memakai mobil itu dan sebagai sopir Barkah, karena ia bisa mengemudi dan punya SIM. Ku ajak Barkah keliling-keliling kota Nganjuk, menyusuri sejarah hidup yang dikaruniakan oleh Allah kepadaku.

“Itu Kah, aku dulu TK di bangunan itu!” aku tunjuk bangunan balai desa Kedondong, sebuah bangunan seperti rumah penduduk lainnya. Hanya bedanya ada kerangkeng kawat yang menutupi tembok depan.

“Aku dulu pernah mencret di situ” kataku sambil menunjuk samping utara bangunan tadi.

“Sewaktu berangkat ke sekolah, sebenarnya sudah terasa perut ini sangat mules, tapi aku tahan, hingga tiba-tiba, tidak aku sadari, aku melihat bubur kuning hangat, merambat menyusuri paha, lutut dan têplók jatuh sebagian masuk dalam sepatu, dan sebagian menutupi sepatu boot merah dari plastik yang aku pakai.”

“Karim mencret. Karim mencret. Karim mencret” teman-temanku waktu itu mengolok-olok dan mengejekku. Rasa malu, marah, sedih semua bercampur menjadi satu.

“Aku pulang tidak pakai celana sama sekali”

“Ha…haa..haa” Barkah khas sekali tertawa meledaknya kali ini seperti bisul yang tiba-tiba meletus, nyêprot.

Siang hari itu kami habiskan waktu berkeliling, menyusuri jalan-jalan yang aku lewati saat aku SMP dan SMA. Aku dulu ke sekolah naik sepeda onthél, hingga kulitku legam, muka jerawatan dan keringat bau lêbus.



[1] sebutan kami untuk kolam ikan

[2] Ilmu Penyakit Dalam

[3] Sebutan untuk memanggil istri yang sudah mempunyai anak dalam tradisi Jawa, dengan mengikutkan nama anak pertama.

[4] PMDK (Penulusuran Minat Dan Kemampuan) sarana menjaring mahasiswa baru dari jalur non ujian masuk perguruan tinggi negeri.

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments