Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Sunday, June 29, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 20

entah kapan kembali

Pohon-pohon itu, bongkahan-bongkahan tanah itu, gumpalan-gumpalan raksasa batu itu, akar-akar itu, batang-batang itu semua dalam keadaan kekuatan penuh dalam perlombaan besar-besaran ukuran. Semuanya menjulang tinggi, menyembul besar, menukik tajam dalam keadaan bisu dan terus mempertahankannya selama ribuan tahun. Ribuan tahun dalam ketundukan mengikuti apa yang ditakdirkan oleh Yang Maha Mencipta. Auksin-auksin[1] itu membakar semangat ujung batang-batang pohon untuk berlomba menjangkau matahari. Memperbesar ukuran, menambah tinggi, memacu pembelahan sel, agar matahari terlihat jelas oleh masing-masing lembar daun untuk membakar zat nutrisi agar menjadi makanan sumber kegairahan hidup.

Harusnya aku nikmati keindahan ini. Harusnya aku bisa bertadabur alam saat ini. Harusnya aku bisa merasakan rileksnya menyatu dengan kesegaran alam.

Pagi ini bersama kedua adikku Iqbal dan Harun, aku terdampar di hutan, gunung, kabut, udara dingin, air jernih dan dingin, serta perut yang makin lama makin keroncongan. Beruntung kemarin ketika belanja, korek api gas aku kantongi di celana sehingga walaupun disekap barang tersebut masih bisa aku bawa. Aku tidak tahu bagaimana nasib handphone-ku.

Aku melihat, tidak jauh dari tempat kami berdiri, mulai banyak semak dan padang rumput yang luas. Di daerah seperti inilah, biasanya banyak kelinci liar yang memakan rumput untuk melanjutkan kehidupannya. Inilah saatnya beraksi.

“Kita mencari makan untuk sarapan yuk” ajakku kepada kedua adikku.

“Nyari apa ya mas” tanya Harun

“Ya seadanya” jawab Iqbal enteng. Kulihat darah menggumpal kering di pelipis kanannya, disertai biru-biru dan lebam di pipi kanan pula.

“Ada yang bawa pisau?” tanyaku

“Aku bawa, tapi kecil, untuk apa tho mas?” jawab Harun

“Kayaknya di daerah sana banyak kelinci, kita bisa sarapan kelinci nih” kataku dengan menunjuk jari menuju sebuah lapangan rumput kecil dengan diseraki semak-semak dan tanaman umbi-umbian.

“Itu mas…” Iqbal menunjuk ke arah yang sama dengan yang aku tunjukkan tadi hanya berbeda sedikit koordinatnya.

“Ayoo tangkaap! Pelan-pelan! Jangan sampai mereka tahu kalau ada kita!” kataku

Kami bertiga berlari mengejar kawanan kelinci yang ada…

Iqbal dapat satu, aku dapat satu dan Harun dapat dua.

“Siapa yang menyembelih?” tanya Harun

“Aku saja” Iqbal menawarkan

“Ayo tunggu apa lagi” kataku

Empat kelinci hasil tangkapan disembelih Iqbal, sementara aku dan Harun yang membantu memegangi. Habis itu menguliti, menghilangkan kotoran, membuang usus dan jeroannya tinggal dagingnya.

“Aku yang mencari kayu bakar” Harun menawarkan diri

“Mas Karim yang membuat perapiannya ya..”kata Iqbal

Iqbal membuat kayu yang diruncingkan ujungnya, kemudian ditusukkan ke daging kelinci yang sudah bersih dan siap dipanggang. Beberapa saat kemudian Harun sudah mendapatkan kayu bakar yang banyak, dan dibuatlah perapian.

Saatnya membakar daging kelinci…

…………………………………..

Walaupun tidak ada bumbu, atau garam, memakan kelinci bakar tetap lahap mungkin karena sudah benar-benar kelaparan. Lalu masalah minumnya? Jangan khawatir, tinggal sruput dari sungai saja, pakai tangan. Pengalamanku ketika dulu naik ke gunung Lawu minum dari air sungai gunung langsung ga bikin penyakit ternyata, buktinya setelah pulang di antara tujuh orang yang ikut tidak ada yang sakit perut atau muntaber.

Alhamdulillah kenyang. Sudah lumayan menegakkan badan. Tidak loyo. Sejenak istirahat, duduk-duduk menikmati sapaan hangatnya sinar matahari pagi.

“Dik Iqbal, tadi malam kamu cerita tentang… semula antara kamu, dokter KindoNo dan Kolonel Prawoto serta… siapa....si Yo yo bandar judi. Trus mengapa setelah itkamu dijadikan buronan oleh mereka?” tanyaku sekaligus memulai kembali pembicaraan pagi setelah sarapan daging kelinci bakar.

“Awalnya lancar semuanya setor 10 % dari laba bersih kepada Kolonel Prawoto. Hingga ada peristiwa yang menyadarkan aku. Yu Slamet yang biasa memasak nasi untukku, suatu ketika meminjam uang kepadaku, berapa mas kalau mau tahu?” cerita Iqbal. Yu Slamet yang orangnya lugu, hanya jualan nasi kucing ke kos mahasiswa-mahasiswa.

“Aku ga tahu… paling seratus ribuan” tebakku

“Salah besar mas… LIMA JUTA RUPIAH” Iqbal berkata dengan semangat pada nominal pinjaman yu Slamet.

“LIMA JUTA RUPIAH? Lha untuk apa pinjam segitu besar? Untuk usaha warung makan?” kali ini Harun gantian bertanya.

“Bukan untuk apa-apa” jelas Iqbal

“Trus, untuk apa?” tanyaku dan Harun serentak.

“Untuk melunasi utang suaminya yang kecanduan main judi Cap Ji Kie. Suaminya yu Slamet tidak pernah bekerja. Setiap hari pekerjaannya hanya memegang buku kecil ‘analisa terjemahan mimpi ke dalam nomor Cap Ji Kie’, sambil menunggu jam keluar nomor Cap Ji Kie, dia main poker atau remi sendiri dengan sesama teman penggila Cap Ji Kie, dengan memakai uang. Jadi menunggu judi dengan judi” jelas Iqbal sambil mengompres luka di pelipisnya dengan sapu tangan yang dimasukkan ke air sungai.

Astaghfirullahaladzim! Masya Allah! Lima juta hanya untuk itu” gumamku tak percaya dengan yang terjadi

“Lalu? “ tanya Harun yang penasaran dengan lanjutan cerita Iqbal

“Suami yu Slamet kalah telak judinya, ya sampai lima juta itu, dia mengancam akan menjual anak gadisnya sematawayang, Erna ke germo, bila yu Slamet tidak mau mencarikan uang sebesar itu” Kata Iqbal

Astaghfirullahaladzim! Masya Allah!” kataku dan Harun bersamaan, dengan menggeleng-gelengkan kepala, penuh keheranan, kok ada seorang ayah sejahat itu pada anak kandungnya sendiri.

“Akhirnya aku pinjami, dan dari sana aku mulai menyadari kesalahanku mas, aku terlalu berambisi untuk mendapatkan harta segera dan dalam jumlah besar, aku ingin menunjukkan bahwa aku ini bukan orang biasa yang dengan begitu mudah diremehkan. Tetapi akhirnya menghalalkan semua cara dan ternyata cara itu memakan banyak korban dan korbannya adalah orang yang tidak mampu. Akhirnya menambah kejahatan baru yang lebih dahsyat lagi. Aku berniat untuk berhenti dari usahaku, dan memulai usaha baru lagi mas” kata Iqbal yang mulai meneteskan air matanya.

“Aku tidak hanya berniat ingin berhenti, tetapi juga ingin menghentikan bisnis dokter KindoNo, Yo yo dan terutama Kolonel Prawoto. Ternyata mereka terlalu besar dan terlalu kuat untuk dilawan. Kolonel Prawoto yang sebenarnya kapten yang disersi itu ternyata begitu lihai, begitu licin itu, polisi saja susah menemukan barang bukti yang membuatnya bisa terlibat. Belum lagi Yo yo, ternyata para centengnya begitu banyak dan kuat. Dan dokter KindoNo, otaknya terlalu encer, pinter melakukan spionase dan psikopat. Akhirnya menyadari, kalau aku ini seorang diri, tetapi menantang gerbong kereta yang berisi orang-orang profesional.” lanjut Iqbal dengan terbata-bata..

………….. beberapa saat mengusapkan air mata, menata suara kembali……..

“Terbesit dalam pikiranku, aku harus membuat bukti, makanya dalam pertemuan selanjutnya, tanpa sepengetahuan mereka semuanya aku merekam semua aktivitas penyerahan upeti kepada Kolonel Prawoto, entah siapa yang mengetahui aktivitasku, ternyata sampai juga ke telinga Kolonel Prawoto, hingga suatu ketika ada salah seorang karyawan yang bekerja di pengeringan daun teh sekaligus tempat penyulingan sabu-sabu, meng-sms aku, aku harus bersembunyi, termasuk dari pantauan si Jo, akhirnya aku lari dari Banyudono, ke rumah mas Tri Da Ko Can.. kadang ke tempat sahabat baruku yang pemulung yang bernama Herman “

“Karena aku tahu, mas Karim juga aktif di kegiatan KAPAS dan SEROJA yang ngurusin gelandangan, pengamen, orang-orang pinggiran serta anak-anak jalanan, makanya ketika bermain ke tempat Amar, aku hanya memakai kode menunjuk ke arah barat ketika menyebut Herman. Sebagai kode, karena si Jo selalu berusaha menguntitku dimana pun aku berada.”

“Akhirnya mas Karim segera mengontak Widodo dan Imam koordinator KAPAS dan SEROJA, kemudian mereka mengantarkan kepada mas Tri Da Ko Can..” jelas Iqbal.

“Lalu kemarin kolonel Prawoto menanyaimu tentang CD itu?” tanya Harun, sambil melepaskan jaketnya, ternyata dia masih membawa sabun mandi Nuvo dan terjatuh keluar dari saku jaketnya. Memang Harun termasuk cowok yang peduli sama penampilan, jadi dimana-mana selalu menjaga agar wajahnya tidak berminyak, bahasa Jawanya biar ga kilĂȘng-kilĂȘng. Itupun masih pake bedak tabur!

“Iya CD itu berisi rekaman transaksi Kolonel Prawoto dengan pemilik bisnis-bisnis illegal di Solo, ya berkumpulnya di tempat pengeringan daun teh itu.” Jawab Iqbal, pada saat bersamaan, dia sudah selesai mengompres memar-memar kebiruan di pelipis matanya, sekarang gantian aku yang mengompres. Aku suruh Iqbal berbaring.

“Sekarang CD itu berada di mana?” tanyaku

“Dia berada di tempat yang aman, di suatu tempat” jawab Iqbal dengan wajah meringis tanda kesakitan ketika aku mengompresnya dengan memberikan tekanan-tekanan ringan.

“Jangan-jangan di dalam saku jaket kita ada penyadap suara?” tanyaku dengan berbisik agar kalau suara yang aku keluarkan tidak terdeteksi oleh alat penyadap suara jika alat itu ada di sela-sela baju atau jaket. Ide ini terinspirasi dari kata-kata Iqbal yang belum mau mengatakan di mana tempat CD itu di simpan, dan pengalaman sebelumnya, ada penyadap di mobil bapak, yang aku melihat pantauannya di monitor dokter KindoNo.

Semua dari kami bertiga melepas jaket masing-masing, meraba-raba baju, lipatan kerah, menguras isi kantong….

“Ini ?” bisik Harun yang memegang sebuah benda berbentuk tabung seperti roda mobil balap mainan anak-anak.

Iqbal merenggut benda itu, membenamkan benda itu ke dalam sabun Nuvo-nya Harun, kemudian berjalan pelan, menyusuri jalan setapak, kemudian menuju jurang dan dilemparkannya jauh-jauh.

Habis peristiwa itu kami jadi lebih hati-hati dalam ngomong, terutama mengenai arah tujuan pergi serta rahasia tempat CD tidak pernah diungkit.

Kemudian meneruskan perjalanan…

Menyusuri jalan setapak hutan, kebun teh dan disela-sela itu aku perhatikan ada tanaman ganja…ah sementara dicuekin … biar hanya di pikiran dulu, tapi ini lokasinya lumayan jauh dari pabrik pengeringan teh, delapan jam jalan kaki jauhnya. Mungkin buat petani di sini, jarak sedemikian itu ga masalah. Para petani kayaknya belum tahu kalau tanaman itu adalah bahan baku untuk obat-obatan terlarang, kulihat mereka santai saja merawat tanaman-tanaman itu.

The show must go on…

Menembus sinar matahari yang makin lama makin menyengat, tetapi namanya di gunung, sering mendung, kadang-kadang kabut datang, selama kabut masih tipis tetap berani berjalan..

Berjalan dan terus berjalan, hingga tanpa terasa lagi dinginnya udara pegunungan, kalah oleh hasil metabolisme otot-otot yang berkontraksi, menghasilkan kehangatan, bahkan lebih panas, sehingga butuh pendingin.. dan melelehlah keringat-keringat itu dalam butiran-butiran bening mendinginkan kulit yang mulai panas.. keringat-keringat itu menembus, meresap baju yang kami pakai..

Kami terus berjalan. Kadang harus naik beberapa puluh meter. Kemudian lebih banyak turunnya.. satu dua turun sangat terjal, sehingga aku harus ngesot biar tidak jatuh, celana kotor tidak terpikirkan lagi..

Di tengah keheningan alam, suara-suara burung berkicau seperti bercak-bercak cat yang berwarna indah yang dituangkan di kanvas kosong media pendengaran, kemudian kanvas kosong itu mulai dinamis oleh suara-suara riak air sungai, sekali dua kali oleh gesekan daun-daun dalam jumlah besar akibat terpaan angin yang menggerak-gerakkan mereka, beresonasi membentuk orkestra alam yang luar biasa indah… subhanallah!

“Dekat sungai mas” kata Harun

“Sungai dan waduk” kata Iqbal

Kami tiba di daerah pinggiran sungai besar, jalan setapak sudah mulai diplester semen dan dipagari batu-batuan yang tertata rapi.

“Mulai banyak orang mas” kata Harun

“Ya kita tetap hati-hati” kataku

“Kayaknya kita harus menempuh jalan lain mas” kata Iqbal sambil tangannya merenggut tanganku dan mengajak Harun. Kami bertiga turun dari jalan utama, dalamnya ada sepuluhan meter, kemiringan empat puluh lima derajat.

“Menunduk” kata Iqbal memberi aba-aba. Kami semua menunduk. Tepat di atas kami ada jembatan penyeberangan. Di bawahnya ada terowongan air.

“Kenapa kita harus lewat sini?” tanya Harun memrotes.

“Aku hafal ada orang-orangnya Yo yo di hadapan kita tadi. Siap-siap ya kita mau main selancar air. Ikuti aku ya” kata Iqbal. Beberapa saat kemudian, dia dalam posisi tengkurap masuk menjorok dalam terowongan air, lebih tepatnya jembatan untuk air, tetapi karena atasnya juga tertutup maka seperti terowongan air. Terowongan air ini terbuat dari besi baja, direkatkan oleh skrup-skrup dalam ukuran besar, menonjol di permukaan dalam terowongan air. Berarti siap-siap berbenturan dengan skrup-skrup besi baja yang menonjol bila bermain selancar air.

Arus air sungai akhirnya mengangkut tubuh dik Iqbal … dia memberi aba-aba

“Ayo…ayo…” kepalanya menengok ke belakang, sementara ia mengayun-ayunkan tangannya agar aku dan Harun mengikuti.

“Kamu duluan dik Harun” aku menyuruhnya duluan.

Beberapa saat kemudian gantian aku.

Awalnya tubuh ini tidak bergeser sedikit pun. Kemudian dengan dibantu tangan mengayun-ayun seperti orang renang seimbang kanan dan kiri, akhirnya tubuh ini terbawa arus dan … makin lama makin kencang menyusuri terowongan air itu, sejauh lima puluh meter.

“Auu “ paha kananku terbentur skrup yang menonjol.

Mulai tidak seimbang…

“Auu” kali ini giliran paha kiri yang terbentur..

Beberapa detik kemudian, lumayan bisa mengendalikan..

“Auu” siku kiriku kena.

Kemudian sudah keluar terowongan air, arus makin deras nih, gimana cara menghentikannya..

“Pegangan ini mas” dik Iqbal menjulurkan tangannya, kemudian aku rengkuh tangan itu, dan aku tertahan, arus masih deras, kakiku berganti posisi di depan.. akhirnya bisa menyentuh dasar…ada pijakan.

“Alhamdulillah” kataku lega..

“Kamu tadi kok bisa keluar gimana dik? Tanyaku pada dik Iqbal, sambil aku lipat celanaku hingga paha dekat lutut terlihat, tergores merah, untungnya kain celana masih utuh, jadi kalau sholat tidak terganggu karena kelihatan auratnya. Sementara sikuku berdarah, tapi segera berhenti perdarahannya. Hanya luka ringan.

Istirahat sejenak….

Kami bertiga ini berada jauh di bawah jalanan yang dipakai orang. Sudah tidak terlihat lagi jalan setapak utama tadi.

“Mas… coba lihat itu! Ada pisang liar yang sudah mulai matang.” Kata Iqbal.

Ternyata di bawah kami masih ada jurang lagi. Dan tepat di bawah kami tumbuh pohon pisang, dan buahnya tepat di hadapan kami. Jadi tinggal memetik saja.

“Alhamdulillah…dalam keadaan seperti ini Allah masih memberi kita rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka” kataku.

Perut lapar, pisang setundun habis. Seperti biasa untuk urusan minum dengan tangan ditangkup, meminum langsung dari air sungai. Jernih dan menyehatkan, tidak ada kotoran.

Istirahat, makan dan minum, terus sholat… kami jama’ sholat dhuhur dan ashar sekaligus. Selesai sholat, duduk-duduk sambil melepas kepenatan.

“Orang sering salah menafsirkan bisnis itu sama dengan mencari profit” tiba-tiba saja dik Iqbal meluncurkan kata-kata yang belum sepenuhnya aku pahami.

“Maksudnya?” aku dan dik Harun serempak bertanya

“Iya. Kalau berprinsip seperti itu akan berantakan jadinya. Seperti yang aku alami saat ini.” Jelas dik Iqbal

“Maksudnya?” lagi-lagi aku dan dik Harun serempak kebingungan

“Bahkan tidak saja berantakan, dampaknya kalau bisnis itu dipersepsi identik dengan mencari profit, maka jadilah seperti yang menimpa bangsa kita. Demi mengejar profit, banyak pengusaha yang rela menyogok pejabat agar memenangkan tender. Harus pakai aksi tipu-tipu. Harus bersaing mati-matian. Padahal bisnis itu tidak demikian.” Kata dik Iqbal menjelaskan lebih lanjut.

“Terus?” sama. Lagi-lagi aku terpaksa serempak penasaran mengenai kelanjutan penjelasan dik Iqbal.

“Bisnis itu masalah membentuk jiwa, reflek berpikir dan bertindak, kemauan bekerja sama, keterampilan membentuk jaringan kerja, jaringan pasar dan jaringan uang. Dan yang lebih penting adalah terbentuknya jiwa tahan banting dan penuh kesabaran, ketika menghadapi tekanan dan permasalahan serta menemukan solusi yang tepat dan tetap bekerja on the right track” jelas Iqbal

On the right track?” lagi-lagi sampai bosan harus selalu serempak dengan dik Harun dalam kondisi ketidak tahuan sekaligus ingin tahu. Dan diam-diam aku makin mengagumi kematangan pribadi dik Iqbal, walaupun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, termasuk harus menginap di alam raya hutan dan gunung yang tidak tahu kapan episode “film” ini berakhir.

“Seringkali orang-orang itu melihat hasil akhir dari seorang pengusaha yang sukses. Padahal, untuk menuju ke sana ada sunatullah-sunatullah yang berlaku ketat dan harus dilalui dan dicapai oleh siapa saja yang memilih pengusaha sebagai jalur kariernya. Dipastikan mereka semua pernah gagal. Thomas Alfa Edison sampai percobaan ke ribuan berapa baru bisa menemukan bola lampu yang benar, dan setelah itu butuh beberapa dekade membesarkan perusahaan General Electric yang melegenda di Amerika itu. Termasuk pendiri jaringan Mc Donald, ternyata setelah gagal seribu sekian, baru menemukan resep dan menemukan pengelolaan sistem jaringan yang tepat untuk mengelola bisnisnya. Inilah yang aku maksudkan on the right track. Mereka tidak mencari jalan pintas. Jiwa membangun sistem yang kokoh itulah baru yang namanya bisnis. Tidak seperti perjalanan bisnis yang aku tempuh ini… aku telah membuat kesalahan. Mudah-mudahan masih ada waktu, dan semoga Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk menebus semua kesalahan ini. Aku mengaku bersalah mas Karim dan dik Harun. ” jelas dik Iqbal panjang lebar, dan ketika mulai menyebut kesalahan dirinya itu, dik Iqbal mulai terbata-bata bicaranya dan air mata itu bergulir dengan deras di pipinya.

“Yah sudah lah dik Iqbal, yang sudah lalu tidak bisa kita kembalikan. Kita hanya bisa berdoa, semoga Allah mengampuni semua kesalahan kita dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki.” Kami bertiga berpelukan, menangis bersama.

“Tampaknya kita sudah lama istirahatnya mas” kata Harun menghenyakkan kesenduan perasaan kami.

“Ayuh kita berjalan lagi dik” kataku kepada kedua adikku.

Perjalanan terus berlanjut…

Ketika malam, kami bertiga tidur di semak-semak menatap langit di pegunungan yang sangat bersih, tidak ada polusi. Aku berada di tengah-tengah antara Iqbal dan Harun. Aku genggamkan jari-jariku pada jari-jari kedua adikku. Merasa damai sekali, merasakan kebersamaan dan kehangatan. Mengamati langit yang ditaburi jutaan bintang, yang selama ini jarang aku perhatikan ketika di bawah sana. Sekali waktu, kabut menghalangi pemandangan indahnya langit dengan kelap-kelip bintang-bintang bertaburan bak permadani yang sangat luas yang tersebar di atasnya jutaan mutiara berkualitas, memancarkan cahaya keasliannya.

“dik Iqbal, dik Harun.. kamu lihat itu, bintang bergeser tadi” kataku pada kedua adikku

“Iya mas” jawab mereka berdua kompak

“Mas percaya, kalau melihat itu akan mendatangkan sesuatu?” Iqbal bertanya kepadaku

“Maksudnya akan membawa nasib baik atau nasib buruk begitu, mas Iqbal” tanya Harun

“Dulu aku pernah ikut kajian. Dalam surat Jin, diceritakan bahwa Lauh Mahfud, tempat catatan peristiwa mulai terciptanya alam semesta hingga nanti hari kiamat sudah tiba, sudah ada di buku itu. Kalau orang bisa melihat dalamnya buku itu, maka dapat membaca apa yang bakal terjadi di masa datang. Tetapi oleh Allah di sekitar lauh mahfud itu, dijaga oleh malaikat yang siap melontarkan panah-panah api bila Jin atau Syaithon berusaha mencuri informasi dari sana. Mereka sudah dipastikan oleh Allah tidak akan bisa. Bintang jatuh itu adalah usaha setan untuk mencuri-curi berita dari langit, untuk bisa disampaikan kepada kekasih-kekasihnya seperti para dukun dan sebagainya. Oleh malaikat, setan-setan itu dilempar dengan panah-panah api. Bintang jatuh itu bisa jadi benda langit yang mau jatuh bergesekan dengan atmosfer bumi atau bisa jadi panah-panah api seperti yang dikisahkan dalam Surat Jin tersebut Wallahua’lam. Tetapi adanya bintang jatuh, gerhana bulan atau gerhana matahari itu tidak ada kaitannya dengan nasib seseorang, kelahiran, kematian, atau pun bakal terpilihnya seseorang jadi lurah, bupati, gubernur bahkan presiden sekali pun. Benar-benar tidak ada kaitannya. Bahkan pernah nabi menegur keras para sahabat, ketika terjadi gerhana bulan yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau dan para sahabat mengaitkan peristiwa gerhana bulan dengan wafatnya putra beliau. Jadi benar-benar tidak ada kaitannya.” Jelasku kepada kedua adikku.

“Kasihan orang-orang itu, yang memercayai banyak hal takhayul, apalagi berkaitan dengan benda-benda di langit. Hidupnya serba tidak bebas ya mas” tanyak Harun

“Iya benar dik Harun. Manusia benar-benar terbelenggu dengan keyakinannya sendiri yang keliru. Tidak bebas.” Kataku menegaskan

“Kecuali, kalau benda-benda di langit itu sebagai penanda arah mata angin. Atau permulaan musim tertentu, ya mas” imbuh Iqbal

“Ya dik Iqbal, memang benar demikian halnya” kataku lagi

“Hayo tidur yuk, sekarang sudah larut malam kayaknya. Besok kita teruskan perjalanan. Kita tidak tahu kapan kita akan terus berjalan. Berapa hari akan kita habiskan di hutan ini, kita benar-benar tidak tahu” kata Iqbal

“Iya yang penting kita bisa saling dekat, bersama, kesempatan yang jarang kita dapat kan. Walaupun kita saat ini dalam keadaan yang tidak mengenakkan” kata Harun

“Dah ya, kita tidur, bismika Allahumma ahya wa bismika amuut” kataku mengakhiri percakapan malam itu

------------------

Menyusuri hutan, menyusuri waktu yang terus berjalan, menyusuri perputaran sunatullah yang berlaku pada makhluk-makhluknya, menyusuri detil-detil keikhsanan matahari, perputaran bumi, bintang-bintang, bulan untuk taat pada hukum-hukum Allah yang berlaku bagi mereka.

Innallaaha katabal ikhsaana ‘ala kulli syai’ sesungguhnya Allah SWT mewajibkan seluruh makhluknya untuk berbuat ikhsan (profesional), berbuat yang terbaik sesuai kadar yang telah ditentukan baginya. Berbuat profesional sesuai amanah-amanah yang dibebankan kepadanya. Sudah jutaan tahun matahari, bulan, bumi dan bintang-bintang berbuat ikhsan. Hutan-hutan itu sudah ribuan tahun berbuat ikhsan, melakukan fotosintesis yang sempurna, menyeimbangkan kebaradaan oksigen, menguatkan struktur tanah agar tidak longsor didera oleh hempasan air hujan yang bergelombang demikian intens dan tiada henti. Demikian juga harusnya kita manusia harus berbuat ikhsan. Makhluk yang tidak berotak dan berhati saja bisa berbuat ikhsan, harusnya kita lebih lagi.

Perjalanan ini membuatku banyak merenung akan banyak hal. Dan tanpa terasa sudah tiga hari ini aku berjalan...entah kapan aku bisa kembali aku tidak tahu.

Makan minum sekadarnya. Makan apa saja yang bisa dimakan yang ditemui di jalan. Minum dari air sungai pegunungan yang jernih dan kaya akan mineral, sangat menyegarkan. Dan yang paling parah aku bertiga tidak mandi selama itu. Kalaupun dianggap mandi hanya menceburkan diri disungai, ketika terik matahari sedang dipuncak-puncaknya.

BERSAMBUNG.....

[1] Auksin = hormon pertumbuhan tanaman. Di daerah pegunungan auksin didapati berada dalam konsentrasi tinggi, karena berebut mendapatkan sinar matahari.

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments