Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Sunday, June 22, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 18

bangkrut


Setelah aku menikah, aku semakin jarang ketemu dengan dik Iqbal. Walaupun masih sering ke kos dik Iqbal, untuk mengambil kerjaan terjemahan atau menyerahkan pekerjaan yang sudah selesai. Aku menyelesaikan pekerjaan terjemahan di rumah kontrak. Karena de Aisyah mempunyai komputer, aku pikir sekalian saja memanfaatkan komputer itu, karena de Aisyah lumayan jarang memanfaatkan komputer itu. Seminggu sekali aku luangkan waktu berusaha untuk bertemu dengan dik Iqbal. Minimal untuk say hello nanya-nanya bagaimana kabarnya sekarang, atau mencoba berdiskusi mengenai perkembangan bisnisnya. Aku berusaha untuk tutup mata dengan sampingan negative bisnis-bisnis dik Iqbal. CD bajakan dan CD porno, takut menyinggung perasaan dan saat ini masih belum tepat untuk mengutarakannya. Walaupun terakhir dik Iqbal sangat focus pada bisnis persewaan VCD playernya, tetapi bisnis rental komputernya tidak dilepas, dan sebenarnya menurutku untuk ukuran asal bisa makan dan membayar SPP saja sudah dapat diandalkan.

Aku mengajak dik Iqbal makan malam seperti biasa di tempat favorit, warung hik pak Kamin depan TBS. Makanan besar favorit di warung hik adalah nasi kucing bandeng dan oseng. Sedangkan makanan selain nasi adalah mie rebus atau mie goreng pakai telur. Ada lagi makanan favorit lain yaitu pisang owol; yaitu pisang goreng, dibakar di tempat pemanggangan arang, kemudian diiris-iris dan dioles-olesi susu kental manis. Karena malam ini aku sudah makan dan dik Iqbal belum, sehingga aku memilih menu pisang owol, sedangkan dik Iqbal memilih makan nasi kucing, nasi bandeng satu bungkus dan nasi oseng satu bungkus, dengan lauk favorit mendoan, tempe yang dibungkus tepung digoreng. Menemani habisnya nasi dua bungkus, dik Iqbal menghabiskan lima mendoan. Di akhir sesi biasanya dik Iqbal selalu memilih untuk yang mentraktir, dan biasanya dik Iqbal tidak mau mengambil kembaliannya. Padahal kembalian itu masih sepuluh ribuan rupiah atau bahkan lebih, suatu ukuran yang sangat berarti bagi anak kos, bahkan termasuk untuk diriku.

“Aku punya mimpi ingin punya home theater yang bisa disewakan“ kata dik Iqbal sambil memakan nasi bandengnya dan tentu saja ditemani dengan melahap mendoannya.

“Berarti masih butuh modal baru, maksudnya” tanyaku pada dik Iqbal sambil aku sendiri melahap pisang owol kegemaranku.

“Iya mas”

“Kamu masih menawarkan modal dengan return 10 % perbulan”

Dik Iqbal menyeruput es tehnya dan menyelesaikan kunyahan makanan yang ada di mulutnya

“Masih”

Aku dan dik Iqbal menyelesaikan makan besar yang kami pesan dan sekarang tinggal minumnya..

“Sudah berapa yang lunas dik”

“Aku sudah melunasi 30 juta rupiah” kata dik Iqbal sambil memakan keripik jagung bersalut gula jawa pedasnya dengan lahap. Sedangkan aku yang menyeruput sedikit-sedikit es teh yang masih separoh gelas.

“Terus yang belum lunas berapa rupiah”

“Sekitar 50 juta rupiah”

Tiba-tiba saja aku tersedak mendengar angka yang demikian besar itu, karena pada saat yang sama aku masih sadar dan ingat betul di awal tadi dik Iqbal mau mencari pinjaman baru. Sehingga aku membayangkan hutang bertumpuk dengan hutang…

“50 juta rupiah?”

“Trus untuk mewujudkan mimpimu mempunyai Home Theatre kamu mau menambah modal berapa dik?”

“Sekitar 50 juta lagi”

Aku sudah tidak bernafsu meneruskan minuman es tehku.

“Wow begitu, udah yo dik udah malam kasihan mbak Aisyah, sendirian di rumah kontrakan.”

Dik Iqbal segera mengeluarkan dompetnya yang tebal berisi uang lima puluhan ribu dan seratusan ribu rupiah dan sekali lagi tidak mengambil kembalian dua puluh tujuh ribu rupaiah itu

”Terma kasih ya mas” kata pak Kamin, sang penjual HIK.

……………………………………..

Itulah pertemuanku terakhir kali sebelum dik Iqbal menghilang entah kemana. Menghilangnya dik Iqbal membuatku makin intensif berkunjung ke kost dik Iqbal. Sehari bahkan bisa sampai tiga kali dalam jam berbeda, siapa tahu bisa bertemu dengan dik Iqbal. Hingga suatu malam aku secara khusus menemui mas Praba, karyawan dik Iqbal yang paling aku anggap dewasa dan bisa berpikir bijak.

“Akhir-akhir ini banyak sekali orang yang mencari Iqbal” mas Praba memulai pembicaraan, sambil menghirup dalam-dalam rokok Jarum 76 nya.

“Dari sekian banyak orang yang mencari itu, siapa saja sih mas mereka itu? Mengapa mereka sangat berkepentingan dik Iqbal?” Tanyaku secara serius menanggapi pernyataan mas Praba.

“Semuanya para investor”

“Maksudnya?”

“……orang yang selama ini menanamkan uangnya di sini”

“Yang dijanjikan return 10 % per bulan itu?”

“Ya semuanya”

“Ada berapa semuanya mas?”

Mas Praba berhenti sejenak sambil mengetuk-ngetuk jarinya pada batang rokok agar abu rokok jatuh di asbak. Kemudian kembali menghirup rokok Djarum 76 itu dalam-dalam dan mengeluarkan… asapnya dengan bentuk lingkaran-lingkaran kecil, kemudian menjawab pertanyaanku..

“Yang tahu pasti Iqbal, tetapi yang intensif menagih plus return yang dijanjikan sepuluh orang”

“Sebentar mas Praba, sebenarnya usaha dik Iqbal sendiri gimana tho? Apakah keuangannya sekarang sedang dalam masalah besar?”

“Iya. Iqbal terlalu berani menjanjikan return terlalu besar, melebihi bunga pinjaman para rentenir bahkan jauh lebih besar ketimbang rata-rata yang dibebankan bank kepada para nasabahnya” kata Praba

“Itulah mas Praba yang sejak pertama dulu usaha aku khawatirkan, terus terang, bapak ibu saya untuk menambal sulam kebutuhan keuangan untuk kuliah kami bapak pinjam ke rentenir, itu sudah aku anggap sangat mencekik 3 % per bulan, dik Iqbal malah berani pasang 10 % per bulan, too much risk!”

Aku katakan itu sambil berdiri, melihat-lihat kondisi ruangan persewaan VCD player dik Iqbal, bau asap rokok dan sisa-sisa tembakau menyengat dimana-mana. Di dinding-dinding ruangan itu terpasang brosur-brosur film-film terkini, ada yang resolusi gambarnya lumayan bagus ada yang kelihatan sekali berkali-kali discan dan cetak sehingga terlihat sekali kabur dan jelas sekali kalau itu adalah produk bajakan. Dan kemudian aku perhatikan kembali mas Praba yang bicara serius dan sambil menghirup dan menghembuskan asap rokoknya. Terlihat sekali bercak-bercak nikotin yang coklat kehitaman di gigi dan bibirnya, dan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa sudah tak terhitung tumpukan nikotin maupun jelaga asap rokok itu telah meninggalkan jejak di sana, sehingga setiap orang yang melihatnya bisa berkesimpulan bahwa mas Praba adalah seorang perokok berat.

“Belum lagi kondisi sekarang Rim, persaingan persewaan VCD player dan CDnya makin keras, hampir setiap gang ada persewaan VCD player”

Aku dengarkan apa yang dikatakan mas Praba sambil menatap contoh sampul CD musik-musik. Ada Kenny G, ada Bruri Pesolima, ada Java Jive, ada Michael Bolton ada Shania Twain, ada Michael Learn to Rock ada pula Britney Spears…

“Lalu para investor itu, apa tidak mau lihat kenyataan yang ada”

Dalam hati kukatakan, sebenarnya mereka bukan investor tapi kapitalis murahan!

“Wah, ternyata mereka sendiri, terutama yang kenceng nagih kesini sebenarnya semuanya bermasalah dengan uang yang mereka tanamkan di usahanya Iqbal”

Dari leaflet film-film India Kuch kuch Ho ta hai yang aku tonton di dinding dekat mas Praba, perhatianku segera teralihkan pada apa yang dikatakan mas Praba barusan..

“Maksudnya bermasalah?”

“Ada yang menjual sepeda motor satu-satunya, ada yang membenamkan uang kantor, maksudnya uang nasabah. Seperti yang dilakukan oleh Iwan, dia itu menanam investasi di tempat Iqbal, semuanya uang nasabah koperasi yang dia kelola”

Sekarang aku sudah tidak tertarik lagi dengan gambar-gambar cuplikan adegan film yang terpampang di dinding, aku arahkan penuh perhatianku pada wajah mas Praba..

“Wah wah wah ck ck ck, benar-benar bikin pusing tujuh keliling mas!” “Dik Iqbal saat ini benar-benar dalam masalah besar” kataku dengan menggeleng-gelengkan kepala tanda benar-benar tidak percaya serta kasihan dengan beban berat yang ditanggung dik Iqbal, dan tentu saja bapak ibu dan kami sekeluarga.

………………………………

“Jadi aku baru tahu betapa berat masalah dik Iqbal ya mas. Keterlaluan sekali diriku mas.”

“Itulah sebabnya mengapa Iqbal benar-benar jarang ada di sini, dia melarikan diri di suatu tempat. Kamu belum terlambat banget Rim! Iqbal termasuk sering ke sini....”

Tiba-tiba saja di benakku terbayang preman yang bernama si Jo dan beberapa hari yang lalu aku lihat dia dalam posisi sebagai tambang cap ji kie. Dik Iqbal juga mengakui kalau si Jo, menanamkan investasi di bisnis dik Iqbal. Seketika hatiku mulai berdebar-debar kencang. Mengkhawatirkan keselamatan dik Iqbal.

“Sebentar mas Praba… ” aku memotong pertanyaan mas Praba yang belum selesai terucapkan, dengan nafas yang mulai tersengal-sengal.

“Ada apa Rim? Kamu kok kelihatan mulai pucat dan panik?”

“Jelas panik mas, dik Iqbal pernah cerita pada saya kalau si Jo preman Pucang Sawit ini pernah menanamkan uangnya pada bisnis dik Iqbal, mas Praba tahu itu…”

Aku mendekati mas Praba dalam jarak yang sangat dekat, sehingga dapat dipastikan pembicaraanku dengan mas Praba tidak didengar oleh siapapun.

“Si Jo sering ke sini mas?”

Mas Praba mematikan rokoknya yang masih lumayan panjang, dengan memutar-mutar dan menekan ujung api rokoknya di asbak selanjutnya mas Praba memusatkan perhatian matanya padaku. Aroma tembakau berhamburan keluar dari mulutnya, menerpa wajahku, ujung-ujung saraf olfaktorius yang bersemayam di atap hidungku mendeteksi kehadirannya.

“Dia setiap saat datang ke sini, sehari bahkan bisa enam kali, sebentar lagi dia datang, sebaiknya kamu segera cabut dari sini, kita besok ketemu di jam yang sama dengan kamu tadi datang ke sini Rim”

“OK mas. Sekarang aku mau tanya, dik Iqbal sekarang berada dimana?”

“Sekarang bukan waktu yang tepat, nanti aku beritahu. Aku sms saja waktu yang aman untuk kamu bisa datang ke sini Rim. Sekarang kamu harus pulang. CEPAT!”

“Ya, iyaa” aku segera menghambur keluar…

…………………………………………………..

Tit tit tiit tit tit tiiiit bunyi SMS handphoneku berbunyi…

From 0812235xxxx

To 0812259xxxx

Kita tadi beruntung, 10 menit stlh kamu pergi siJo datang

………………………………………………………………..

from 0812259xxxx

to 0812235xxxx

alhmdllh, aq tnggu kbr slnjtnya, sdh blh tahu sekarang Iqbal dimana?

………………………………………………………..

From 0812235xxxx

To 08122259xxxx

Sebaiknya kamu bicarakan dg keluarga mengnai pengmbilalihan hutang utk kurngi tekanan tagihan investor scpatnya! Stlh ada kbr baru bs cari Iqbal

………………………………………………………….

From 0812259xxxx

To 0812235xxxx

OK mas solusi bagus. Scptnya akn sy laksanakan. Saya harus pulang dulu ke Nganjuk! 3 hari lagi insy baru ada jawaban.

……………………………………………..

Malam ini adalah malam terpanjang bagiku. Aku tidak dapat membayangkan betapa berat malam-malam yang dilalui dik Iqbal saat ini. Malam yang tidak menenangkan. Malam mencekam. Dan malam yang tidak dapat ditentukan kapan berakhirnya. Berbagai pikiran melintas dalam benakku, aku ingin sekali mengistirahatkan mata ini yang sudah demikian suntuk. Tapi aku tidak kuasa dengan apa yang aku alami saat ini. Bagaimanapun juga aku harus segera mengambil langkah. Di luar sana entah di mana, dik Iqbal mungkin bisa jadi tidur di jalan atau entah dimana. Berlindung dari kejaran para kapitalis amatir dan si Jo yang aku pasti yakin tidak memberikan ampun sedikit pun membalas kejengkelan yang dialaminya. Aku yakin pasti ada pikiran bahwa para kapitalis amatiran itu menganggap dik Iqbal adalah penipu yang melarikan uang yang sebenarnya tidak layak mereka investasikan. Dan mereka sebenarnya belum pantas disebut sebagai investor, aku lebih senang menganggap mereka kapitalis amatiran, mengharap return besar dengan pengorbanan sangat kecil dan tanpa perhitungan..

Yang sangat aku khawatirkan adalah keselamatan jiwa dik Iqbal. Kepulanganku dari kos dik Iqbal, tak henti-hentinya mulutku membaca alfatihah, sholawat nabi, istighfar…dan selalu berharap semoga Allah senantiasa memberikan perlindunganNya, memberikan hidayahNya dan memberikan kejernihan berpikir bagi dik Iqbal dan kami semua keluarganya agar dapat diberikan jalan keluar yang terbaik bagi kami semua.

Malam yang tidak memberikan ketenteraman sedikit pun pada diriku, ternyata mulai ditangkap juga gejalanya oleh de Aisyah dari bahuku, aku merasakan sentuhan tangan lembutnya membelai pundakku.

“Mas Karim, kita sudah menjadi suami istri kan?”

“Ya de, ada apa de?”

“Apa pun yang menyebabkan mas sedih, Aisyah juga merasa sedih, apa pun yang membuat mas Karim bahagia, aku juga ikut berbahagia, demikian juga dengan kecemasan yang dialami mas, aku juga merasakan kecemasan itu.”

Aku menarik nafas panjang. Ingin aku longgarkan rasa sesak yang mencengkeram di dadaku dengan tarikan nafas panjang, hanya sesaat longgarnya.

“De Aisyah, sebenarnya mas tidak mau melibatkan de Aisyah dalam masalah keluarga mas”

………………………………………………..

Akhirnya aku tidak tahan juga menceritakan apa yang dialami dik Iqbal serta berbagai macam ketakutan dan kecemasan yang melanda pikiranku hingga aku tidak bisa tenang dan tidak bisa tidur.

…………………………………………………

“De Aisyah, besok aku sudah tidak ada siklus lagi. Aku sudah selesai siklus Obgyn dan sudah ujian, tinggal menunggu pengumuman lulus tidaknya aku di bagian Obgyn, jadi aku menganggap bisa menunda urusanku untuk mengurus rekapan nilai-nilaiku selama aku mengikuti siklus Co-Ass plus nilai Obgyn yang belum keluar.”

De Aisyah menatapku dengan mata yang berbinar…menandakan tidak ada rasa kantuk sama sekali. Dalam keadaan seperti itu aku bisa melihat sekali, garis-garis kecantikan wajahnya.

“Mas Karim mau pulang ke Nganjuk?”

“Iya de, seperti saran mas Praba, aku harus segera memberikan jawaban kejelasan utang yang dapat ditagih, yaitu utang dik Iqbal akan diambil alih oleh keluarga, agar para investor itu segera mendapatkan kejelasan mengenai nasib uang mereka”

“Jadi pulang ke Nganjuknya kapan mas?”

aku bangkit dari posisi baring ke duduk, dan Aisyah pun membenarkan posisi duduknya di tempat tidur, hingga kami duduk dalam posisi sejajar.

“Kalau bisa malam ini, jadi bisa sampai di Nganjuk pas jam sholat Subuh”

Aisyah membelai-belai punggungku dan menempelkan wajahnya di pundakku, sementara aku duduk termangu menatap ke dinding kamar.

“Sabar ya mas Karim, tetap tenang, dan selalu berdoa agar Allah memberikan jalan yang terbaik buat semuanya”

Aku rengkuh Aisyah, kubelai-belai rambutnya, aku rasakan harum rambutnya. kuciumi berkali-kali.

“Maafkan keluargaku de, de Aisyah jadi masuk dalam kemelut keluargaku”

Aisyah menciumku balik dengan manja.

“Jangan berkata begitu mas, keluarga mas adalah keluargaku juga”

…………………………………

Malam itu aku segera berkemas-kemas, menyiapkan kemeja, kaus, celana, pakaian dalam serta perlengkapan mandi, memasukkannya ke dalam tas ransel kumal kesayanganku sejak aku pertama kuliah di Solo.

“Doakan semua berjalan dengan baik ya de, firasatku, bapak dan ibu akan membuat keputusan yang sama dengan ketika mbak Fatimah dan mbak Malika ketika pertama kali kuliah di kedokteran…menjual rumah!”

Aisyah menghentikan pekerjaanya menyiapkan sepatuku.

“Menjual rumah? Lalu kemana bapak ibu setelah itu?”

Aku pun mulai menaruh tas ransel itu dalam posisi yang nyaman di punggung.

“Apa lagi barang berharga yang bisa digunakan untuk melunasi utang dik Iqbal yang menggunung itu? Mbak Fatimah dan mbak Malika memang sudah lulus dokter, sudah bersuami dan suami mereka berdua juga dokter, tapi kan dokter sekarang berbeda dengan dokter jaman dulu, keduanya masih kontrak rumah, masih banyak kredit sana kredit sini, jadi rasanya tidak mungkin mengandalkan dari keduanya”

Aisyah membukakan pintu, aku berpamitan padanya, dan kupeluk Aisyah dengan pelukan yang panjang, kuciumi bibirnya, pipinya, dan dahinya.

“Udah ya de, aku berangkat dulu. Kunci pintu rumah, pagarnya biar aku kunci saja sendiri, jaga baik-baik ya”

“Iya mas doakan Aisyah bisa menjaga diri dengan baik ya mas”

Nganjuk 4

……………………………………………

Udara pagi mulai menunjukkan kesegarannya, namun matahari masih enggan menunjukkan keperkasaannya. Gelap masih enggan melepaskan malam yang telah dicengkeramnya. Di ufuk timur sana, telah terjadi serah terima kegelapan malam kepada matahari yang bakal memimpin hari, masih ada adaptasi antara gelap yang mulai pergi dan terang matahari yang perlahan datang, pertanda waktu subuh tlah tiba.

Turun dari bis Eka, tepat di depan rumah, pada saat yang bersamaan adzan subuh berkumandang. Aktivitas rumah sudah mulai sejak tadi jam 03.00, sejak aku kecil yang aku salut pada bapakku adalah ke-istiqomahannya untuk sholat malam. Bahkan ketika aku mulai SMA, aku diwajibkan bangun untuk melakukan sholat malam juga oleh bapakku. Ngaji qur’an pun juga setali tiga uang, bahkan sejak aku TK mulai dikenalkan dan diajari membaca al-qur’an. Kelima anaknya bisa membaca Alqur’an dan bisa sholat karena tangan bapakku, bukan sekolah atau semacam sekarang TPA, bukan! Semuanya adalah karya bapakku sendiri. Ketika aku kuliah demikian juga dengan yang lain, bapak masih melakukan muroja’ah mengenai bacaan al-qur’an kami. Kalau kami membacanya gratul-gratul (tidak lancar dalam bahasa jawa) langsung kami mendapatkan umpan balik.. “kamu pasti tidak pernah ngaji ya Rim?”

…………………………………………………….

Memasuki pekarangan rumah, kulihat lampu dalam rumah sudah terang, menandakan sudah ada “kehidupan” dalam rumah.

Assalamu’alaikum!”

Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh” ibu menjawab salamku dan membukakan pintu rumah, dengan wajah yang penuh keheranan. Kepulanganku yang sendirian di waktu dini hari adalah waktu yang aneh, bagi pengantin baru. Tidak lazim. Dan mengundang seribu macam pertanyaan.

“Pak é! Pengantin baru pulang!” ibu tidak sabar ingin memberitakan kedatanganku kepada bapak.

“Karim mau bersih-bersih dulu ibu, belum sholat subuh”

Ibuku masih mengenakan mukena, ketika membukakan pintu.

“Kebetulan Rim, bapak, ibu dan Harun mau sholat subuh berjamaah, sana kamu bersih-bersih dulu dan ambil wudhu, mandinya nanti saja”

………………………………….

Bapak memang sangat perhatian dengan putra putrinya, mulai dari masalah sholat, ngaji, dan terutama perkembangan pendidikan anak-anaknya. Tidak akan pernah dilepas sama sekali. Selalu dalam pantauannya. Termasuk perkembangan pendidikan dik Iqbal. Bapak sudah tahu kalau akhir-akhir ini dik Iqbal sudah mulai jarang masuk kuliah, tentu saja bapak sudah nanya-nanya ke mas Praba, teman-temannya di kampus dan itu semua dilakukan tanpa sepengetahuan dik Iqbal.

Habis sarapan pagi, seperti biasa bapak sibuk memberi makan burung, siram-siram tanaman dan habis itu duduk-duduk santai memandangi hasil karyanya, sambil meminum teh hangat. Sementara ibu dan Harun sibuk menyiapkan makanan di dapur.

“Bapak sebenarnya sudah lama khawatir mengenai Iqbal” kata bapak sambil menyeduh teh hangatnya.

“Yang bapak ketahui mengenai dik Iqbal seperti apa bapak?” tanyaku sambil memakan pisang goreng hangat kesukaanku, masakan ibu.

“Kayaknya Iqbal mulai tidak runtut sholatnya, jarang masuk kuliah dan jarang pulang ke Nganjuk, sebenarnya bisnis Iqbal sendiri gimana tho Rim? Bapak punya firasat kalau Iqbal dalam masalah besar Rim.”

“Itulah bapak, yang ingin Karim katakan pada bapak mengenai perkembangan bisnis dik Iqbal”

Sebenarnya dalam hati gundah juga mau mengutarakan permasalahan sesungguhnya mengenai masalah hutang-hutang dik Iqbal yang mulai menggunung dan perlu penanganan segera. Bingung, memulai atau tidak, terbuka mengenai masalah dik Iqbal atau merahasiakannya atau dibiarkan saja. Kalau dibiarkan saja, aku datang jauh-jauh dari Solo ke Nganjuk, berpamitan pada de Aisyah, untuk membicarakan ini, malah aku cancel. Wuuuh… pelik juga! Gejolak dalam hati ini, tidak juga menemukan titik terang. Pikiran negatif muncul bagaimana reaksi emosi bapak kalau tahu keadaan dik Iqbal sesungguhnya, aku tidak dapat membayangkan, tetapi permasalahan ini harus segera disampaikan kepada bapak. Aku sendiri tidak ingin bapak tahu permasalahan dik Iqbal justru berasal dari orang lain, tambah memalukan sekali.

Akhirnya keberanian itu datang, dengan terpaksa sekali, suara serak dan terbata-bata awalnya, kemudian aku utarakan..

“Be..gini bapak, sebenarnya dik Iqbal sekarang dalam masalah besar”

Tiba-tiba saja suaraku menjadi serak dan serat seperti seorang kuli yang harus menyeret beban ratusan kilogram, ketika mau meneruskan kalimat selanjutnya. Samar-samar aku perhatikan garis-garis wajah bapak, yang mulai gundah dan risau menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulutku. Keberanianku sekarang diuji lagi.

“Ada kesalahan pengelolaan keuangan bapak, dik Iqbal ternyata menjanjikan keuntungan besar pada orang-orang yang menanamkan uangnya di bisnisnya, sampai 10% per bulan bapak” kataku lagi

“Terus… riilnya, Iqbal terlilit utang? Berapa utang Iqbal yang tak terbayar?” bapak sudah tidak tertarik meminum tehnya sampai habis.

“Sebenarnya utang riilnya lima puluh juta rupiah, tetapi dengan tambahan janji komisi 10 % per bulan, semuanya menjadi 150an juta” kataku dengan suara yang makin melemah dan sedikit serak..

“Apa? 150 juta?” bapak berkata dengan nada suara yang meninggi, dan keadaan inilah yang paling aku takutkan, aku berharap semoga kabar ini tidak menaikkan tekanan darahnya atau hal-hal buruk lainnya terjadi naudzubillah.

Tetapi beberapa saat kemudian bapak mulai lebih rileks dan menunjukkan raut muka yang serius memikirkan sesuatu.

“Se ra tus li ma pu luh jut a ru pi ah…. se ra tus li ma pu luh ju ta ru pi ah… se ra tus li ma pu luh ju ta ru pi ah” kata bapak dengan nada yang mulai datar, tetapi sarat akan pemikiran untuk menyelesaikan masalah.

“Itulah bapak, yang ingin Karim katakan”

“Ya Rim, tidak ada yang salah, semua berangkat dari niat yang benar… walaupun ada yang salah di tengah perjalanannya” kata bapak

“Permasalahan sekarang yang terbesar adalah penyelesaian masalah hutang ini bapak. Hampir setiap hari para pengutang yang haus keuntungan itu datang ke kos dik Iqbal dan mencari dik Iqbal sampai ketemu. Dan yang mereka jumpai adalah kekecewaan karena dik Iqbal selama ini tidak ada di tempat..” aku sekarang lebih bisa leluasa mengatakan hal ini kepada bapak, melihat emosi bapak yang sudah stabil.

“Lalu… Iqbal selama ini dimana? Kamu tahu Rim?” kata bapak dengan raut muka yang mulai gelisah.

“Karim sudah berusaha mencari-cari dimana keberadaan dik Iqbal, tampaknya mas Praba tahu, tapi sengaja dirahasiakan, termasuk dengan Karim, bapak…..”

Kata-kataku belum selesai, bapak memotong pembicaraanku..

“Sudah beritahu Praba, kalau hutang Iqbal diambil alih oleh keluarga, bapak bertanggung jawab penuh atas hutang-hutang Iqbal. Kamu sampaikan kepada Praba, bagi yang berpiutang dengan Iqbal agar dapat menghubungi bapaknya Iqbal di Nganjuk atau bertemu kamu di Solo untuk disampaikan kepada bapak Iqbal di Nganjuk”

“Nggih bapak. Terus bapak sendiri mencari uang untuk itu dari mana nggih?” Kataku menyelidiki, karena aku tahu selama ini bapak tidak mempunyai tabungan sedikit pun apalagi untuk uang sebesar 150 juta rupiah..

Tanpa aku sadari ternyata ibu sudah ada di belakangku dan mendengar semua pembicaraan kami dan aku lihat raut muka ibuku yang menunjukkan wajah sedih, bingung, memikirkan sesuatu yang berat..

“Eh ibu… Ha..run”

Ibu mengambil posisi duduk dekat dengan bapak, sementara bapak menggeser duduknya agar ibu bisa duduk dengan nyaman. Sedangkan dik Harun mengambil posisi duduk dekat dengan aku.

“Ibu sudah mendengarkan semuanya, ya sudah semua sudah terjadi, mau diapakan lagi, sekarang kita memikirkan jalan keluarnya. Kita marah. Kita sedih, bahkan kalau perlu kita membenci sekalipun tidak akan menyelesaikan masalah. Yang penting kita sekarang harus berpikir jernih, mencari penyelesaian. Ibu sudah menderita penyakit kencing manis sudah lama, kalau ibu marah atau sedih, justru akan lebih memperberat penyakit ibu. Bukan begitu tho le?”

Dengan menyegerakan minum, agar dapat menjawab pertanyaan ibu..

Ng..gih ibu”

”Bapak ibumu masih punya satu ’udun yang belum nyeprot” yaitu Iqbal. Di tengah masalah yang rumit ini, Allah masih memberikan karunia yang luar biasa. Harun sudah selesai skripsinya, tinggal nunggu wisuda. Mbak Fat dan mbak Malika juga sudah selesai dan berkeluarga, kamu juga tinggal sedikit lagi menjadi dokter kan?” lanjut Ibu

”Nggih bu, tinggal nunggu nilai ujian obgyn keluar, minta doanya agar lulus obgyn ibu, bapak, kalau lulus, Karim tinggal nunggu pelantikan menjadi dokter” kataku

”Dik Harun, tinggal nunggu wisuda? Benar dik?” tanyaku

”Iya mas Karim” jawab Harun

”Berarti kamu lulus sarjana teknik mesin, tiga setengah tahun dik? Berapa IPKmu?” tanyaku lagi

”Iya mas, tiga setengah tahun, IPKku alhamdulillah 3,87” jawab Harun

”Subhanallah” kataku, seraya bangga mempunyai adik yang menonjol prestasi akademisnya.

”Kalau begitu, Karim dan dik Harun mempunyai waktu yang lebih longgar, sehingga banyak meluangkan waktu untuk mencari dik Iqbal di Solo atau entah di suatu tempat yang Karim tidak tahu ”

Sambil membetulkan letak cangkir tehnya, bapak angkat bicara.

“Bu é hari ini aku akan mencari mas Bagus, untuk membantu menjualkan rumah yang kita tempati”

Lha. bapak sudah memikirkan dimana kita akan tinggal nanti?” Tanya ibu.

“Bumi Allah sangat luas, itu kita pikir nanti. Yang penting Iqbal bisa pulang dengan selamat, tidak terganggu kesehatan dan pikirannya” jawab bapak.

Kemudian ibu melanjutkan..

“Iya pak é.. lha wong kita sudah terbiasa pindah-pindah rumah. Sudah biasa menjual rumah yang kita tempati. Walaupun yang terakhir ini kita diberikan ujian oleh Allah yang lebih berat dari pada yang sebelumnya kita lalui. Dulu di awal menikah kita pindah dari Kediri ke Nganjuk, rumah dijual lagi ketika Karim dirawat lama di rumah sakit, kemudian Fatimah kuliah di kedokteran Unissula kita jual rumah, kemudian jual sawah-sawah kita hingga habis.. dan sekarang rumah kita satu-satunya, kita jual, semuanya bukan milik kita, semuanya titipan dari Allah pak” kata ibu dengan mata yang mulai berkaca-kaca..

“Sudah lah bu, yang penting buat kita sekarang Iqbal bisa kembali, tenang seperti sediakala saja kita sudah sangat bersyukur..” kata bapak yang berusaha menenangkan hati ibu.

“Kamu kembali ke Solo kapan Rim?” Bapak mengalihkan pembicaraan dan menatapku.

“Insya Allah nanti ba’da ashar bapak” jawabku

“…biar nanti kalau keliling-keliling solo mencari orang yang berpiutang dengan Iqbal, kamu ditemani Harun. Harun nanti gantian ya nyetir mobilnya sama mas Karim. Pagi ini bapak tak pergi ke pak Bas dan ke Kota, nyari pinjaman 5 juta, untuk memberi uang muka pelunasan sekaligus menunjukkan komitmen kalau kita serius melunasi utang-utang Iqbal pada mereka” kata bapak.

“Terus, bilang saja pada mereka, kalau utang Iqbal diambil alih keluarga, masalah pelunasan minta tolong kepada mereka menunggu rumah kita laku dulu, mudah-mudahan dalam 3 bulan ke depan, semua utang Iqbal sudah lunas..” lanjut bapak

“Amin” aku, Harun dan ibu serentak mengamini.

“Sementara kamu dan Harun ke Solo, biar bapak dan ibu, menghubungi budhemu yang di Kediri, setelah Iqbal pulang serta semua urusan sudah terselesaikan, bapak, ibu mau mengontrak rumah di dekat budhemu. Kasihan budhemu, sudah sepuh, tidak punya anak dan pakdhe sudah meninggal dunia. Jadi bapak dan ibu sekaligus bisa menemani budhe. Budhe punya yayasan dan mesjid di lingkungan rumahnya. Mudah-mudahan nanti Iqbal juga mau mengurusi yayasan serta mesjid Al-Falah-nya budhe. Syukur-syukur, setelah meluluskan sarjananya Iqbal mau ikut bapak ibu di Kediri” kata bapak mengimbuhi.

“Sekali-kali jangan menyalahkan Iqbal ya Rim, Run. Katakan pada Iqbal kalau bapak dan Ibu tidak pernah menyalahkannya. Bapak dan Ibu ikhlas, tidak ada yang salah, semua sudah dikehendaki oleh Allah Swt. Jangan sekali-kali menyinggung perasaannya, hingga ia, menjadi enggan untuk kembali ke rumah. Bapak dan ibu tidak mau itu. Bagi bapak dan Ibu, Iqbal sangat berharga sama seperti putra-putri yang lain. Sama istimewanya. Ibu yakin, Iqbal akan mampu membuat prestasi yang sangat dibanggakan. Keberaniannya untuk mandiri, sudah merupakan bukti bahwa Iqbal adalah anak yang bisa dibanggakan. Katakan itu padanya ya le” kata ibu

“Nggih bu” kataku dan dik Harun

Setelah selesai sarapan, aku dan dik Harun berkemas-kemas, menyiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke Solo untuk mencari dik Iqbal.

........................................................

Ya Allah, alhamdulillah, telah Engkau karunia kami orang tua yang kasih sayangnya laksana seribu matahari yang tidak pernah padam. Terus menerus memancarkan hangatnya cahaya kasih sayang yang luar biasa. Menerangi di tengah gelapnya kegalauan hati. Menerangi dan membimbingnya menuju jalan yang lurus yang diridhoiNya. Memberikan mata air yang menghapus seribu dahaga, membuat hati ini tenteram dan penuh kedamaian.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa kedua orang tua kami, kasihilah mereka, sebagaimana mereka telah memberikan curahan kasih sayang kepada kami.

Ya Allah, jadikanlah kami anak mereka yang sholeh, yang selalu mendoakan keduanya, hingga Engkau ridho kepada mereka berdua. Amin


Apalah Artinya……

Apalah artinya harta melimpah…

Kalau hanya untuk menyombongkan diri

Di kanan kiri depan belakang kita

Berlimpah orang yang tak berdaya

Apalah artinya rumah megah..

Kalau hanya untuk memanjakan diri…

Tak peduli banyak rumah kardus berserakan mengitari..

Apalah artinya umur bertambah…

Kalau hanya untuk menambah maksiat kepada-Nya

Apalah artinya serba melimpah

Kalau hati ini semakin gundah..

Lebih baik sedikit…

Lebih baik sederhana…

Lebih baik singkat…

Tapi…

Penuh makna…

Penuh barokah..

Penuh ketenangan.

Itulah kebahagiaan sejati.

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments