Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Sunday, June 29, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 21

Ketenangan dalam keterasingan

Udara senja yang dingin, diam-diam menyusup masuk di sela-sela serat baju dan jaket yang menutup rapat tubuh-tubuh kami. Diam-diam kegelapan mulai siap menggantikan kepemimpinan cahaya siang. Hingga akhirnya seratus persen gelap menguasai alam semesta. Kelelawar beterbangan menyambut berkuasanya sang kegelapan. Kekuasaan kegelapan memberinya mandat untuk sepenuhnya menggunakan karunia indera yang Allah berikan... melihat terang-benderang dalam kegelapan. Melihat dengan jelas apa-apa yang telah Allah gariskan padanya untuk ia konsumsi. Sementara makhluk yang jadi target konsumsinya tidak menyadari dan tidak melihat kehadirannya. Kelestariannya tetap terjaga, menemani kehidupan manusia... yang sering lupa untuk berdzikir pada-Nya.

Adzan maghrib sayup-sayup kecil mulai terdengar.

”Mas ... kita dekat dengan pemukiman penduduk!” kata Harun

”Iya…. Antara senang dan was-was” kata Iqbal

“Senang dan was-was?” tanyaku

”Senang karena kita mempunyai harapan bertemu dengan orang yang mau menolong kita kembali ke Solo, was-wasnya... orang-orang Kolonel Prawoto dan Yo Yo sudah melakukan ’warning’ kepada penduduk desa itu kalau menjumpai tiga laki-laki asing salah satunya ada memar-memar wajah, harus segera melapor” jelas Iqbal

”Benar juga... kita memang masih belum aman. Penampilan kita, tiga hari ini kita belum mandi, jelas bau badan akan mudah tercium dari kejauhan. Rambut acak-acakan. Baju kotor oleh tanah, berdebu. Wajah-wajah kita, kusut dan kusam. Akan mudah terdeteksi kalau kita ini orang yang dimaksud.” kataku menambah data

”Lalu kita harus bagaimana mas?” tanya Harun yang mulai cemas.

”Kita sholat jama’ takdim maghrib dan isya’ dulu di dekat sini. Itu ada tempat yang datar, dan tersembunyi......kita wudhu di sana ada pancuran air pengairan, air di sini masih alami” kataku mencoba menenangkan.

Aku yakin kalau sholat, hati ini jadi tenang, pikiran bisa jernih, tidak emosional, walaupun pada saat itu penuh tekanan, dikejar-kejar musuh, mendekatkan diri pada Sang Maha Pemberi Keamanan, meningkatkan ruhiyah... berharap pertolongan-Nya.

Kami bertiga sholat sendiri-sendiri dengan punggung saling merapat dan saling membelakangi, tidak memperhatikan lagi arah kiblat memadukan konsentrasi makna bacaan-bacaan sholat, tetapi juga waspada mata dan telinga...mengatur siapa yang sujud duluan, siapa yang berdiri dan siapa yang bisa duduk diantara dua sujud.... agar kami bertiga tidak lengah.

---------------

Kegelapan sudah benar-benar meresap hingga pori-pori kulit. Kelip-kelip cahaya lampu di kejauhan menghilangkan monoton kegelapan. Cahaya-cahaya yang keluar dari lampu rumah-rumah penduduk. Desa atau mungkin kecamatan sudah semakin mendekat. Diantara kelip-kelip lampu yang jarang, ada satu wilayah yang kelip-kelip lampunya makin padat populasinya. Diselingi kelip-kelip lampu yang berjalan dalam dua arah. Jelas itu adalah cahaya yang keluar dari kendaraan bermotor dan mobil. Yang kelip-kelip cahaya jarang itu jelas desa, sedang yang populasi kelip-kelip padat itu menandakan daerah kecamatan. Banyak penduduk dan lebih sibuk aktivitas warganya.

Sementara jalanan semakin menurun dan semakin mendatar. Remang-remang cahaya rembulan membantu mata kami melihat jalan-jalan setapak yang harus dilewati.

Aktivitas kami....

Terus berjalan....terus berjalan dan terus berjalan.

Seperti pemukul batu, yang terus memukul, terus memukul dan terus memukul... tidak dipikirkan lagi ia melakukan pukulan ke berapa... yang penting ia terus terus dan terus menerus memukul batu besar yang ukurannya melebihi ukuran tubuhnya.

Ia hanya yakin suatu saat nanti batu itu akan pecah...

Kami pun juga seperti itu, dan yakin suatu saat nanti akan sampai juga di tempat tujuan yang aman, yang menyelesaikan segala permasalahan.... mengurai kerumitan hidup kami. Insya Allah.

Text Box: dr. Budi PK--------------------

“Mas Karim... itu lihat.... dokter Budi PK!” Kata Iqbal sambil menepuk punggungku

“Mana?” tanyaku

“Itu plakat dokter Budi PK. Mungkin dokter Budi Prastyo Kurniawan. Teman satu kos mas Karim dulu. Masih ingat mas?” tanya Iqbal

”Jelas ingat... kami bertujuh punya rahasia ’failure climber’ dulu masih belum co-ass. Mudah-mudahan dokter Budi yang di depan sana, adalah teman lama dan bisa kita mintai pertolongannya.” kataku

”Tapi bagaimana caranya, kita pura-pura jadi pasien. Tuh mas bisa lihat sendiri kan pasiennya berjubel begitu banyak..” kata Harun yang mulai menyangsikan keberhasilan rencana.

“Kita lihat-lihat dulu, kalau tidak ada pasien emergency, kita bisa minta tolong petugas administrasi yang didepan itu untuk menyampaikan pesan kalau kita teman lama sedang tersesat dan minta pertolongan beliau. Itu pun kalau kita sudah yakin dokter Budi PK adalah teman mas Karim waktu kuliah dulu. Dia lulus satu semester lebih dulu ketimbang aku. Aku sendiri sebenarnya secara de facto sudah lulus, tetapi secara de jure belum, karena aku belum punya ijazah dokter. Kalau seandainya benar dia dokter Budi PK, berarti luar biasa dia, baru enam bulan lulus sudah punya pasien yang demikian banyak.” Kataku

“Udah mas Karim, kita tahu kita berhasil atau tidak, kita harus mencoba dulu dengan segala resiko yang sudah kita antisipasi sebelumnya” kata Iqbal mantap.

“Gini mas Karim, biar mas Iqbal yang jadi pasiennya. Wajahnya kan masih biru-biru dan masih bengkak. Jadi kita ada alasan untuk berobat” Harun menimpali dengan tidak kalah mantap pula.

“OK bismillaahirrohmaanirrohiim. Bismillaahi tawakaltu ‘alallaah walaa haulaa walaa quwwata illa billaah” kataku

----------------------------------

Rumah itu termasuk rumah mungil tapi eye catching. Seperti kebiasaan rumah dokter, selalu ada ruang tunggu biasanya merangkap sebagai garasi yang berhubungan langsung dengan ruang praktik. Kurang lebih ada sepuluhan pasien yang masih menunggu antrean.

“Bu Marto!” teriak dokter Budi memanggil antrean pasien. Posisi beliau saat itu menyembulkan diri keluar pintu. Sehingga terlihat jelas wajah dan postur tubuh beliau.

“Yaa jelaas Budi! Allahu akbar!” kataku dalam hati, seperti air bah yang hampir menjebol bendungan. Rasa girangku. Ada harapan.

Tetapi….

Mata-mata liar itu. Mata-mata para pasien dan pengantar itu tidak dapat menutupi rasa curiga yang menyeruak dari dalam batin mereka. Aku tahu mereka memprihatinkan kondisi sakit mereka. Tetapi bagaimana kehadiranku dan kedua adikku merubah suasana yang ada dalam ruang tunggu dokter Budi.

Ketika melintasi cermin yang terpampang di dinding menuju tempat pendaftaran, sepintas aku lihat penampilan kami bertiga sungguh sangat tidak normal bagi kebanyakan yang hadir. Seperti kelainan dalam mayoritas yang seragam. Kalau kelainan itu berwujud penampilan yang terbaik, tentu mereka bisa memaklumi. Tetapi penampilan kami bertiga. Tidak mandi sudah mau hari ke empat. Bau keringat mengumpul. Kalau di alam bebas akan sangat membantu kami, karena aroma tubuh menyatu dengan alam, tetapi di sini di tempat praktik dokter Budi, walaupun mereka dalam keadaan sakit, setidaknya mereka memakai parfum sehingga masih tercium aroma harum. Walaupun beberapa diantaranya mengandalkan aroma pada minyak kayu putih atau minyak cap kampak. Tidak gosok gigi tiga hari. Bau mulut tentu sangat mengganggu ketika bercakap-cakap. Rambut kumal, beberapa helai bercampur tanah, ketika harus melewati tanah curam, terpaksa ngesot dan debu berserakan mengisi ruang-ruang antar rambut. Wajah ini demikian legam dan mengkilap. Betapa tidak seharian penuh dalam perjalanan terpapar sinar matahari musim kemarau. Kumis dan jenggot tumbuh begitu liar, tidak dicukur. Benar-benar lain penampilan ini.

Penampilan Iqbal lebih heboh lagi. Tampak jelas memar-memar kebiruan dan sudut pipi bengkak demikian juga pelipis dan kelopak mata. Walaupun bengkaknya tidak sehebat dua hari sebelumnya. Tetap saja menakutkan. Seperti orang yang habis duel. Dan memang kenyataannya seperti itu.

--------------------------

“Mbak, ini mau mendaftar. Nama pasiennya Iqbal, umur 22 tahun” kataku

“Alamat?” tanya mbak resepsionis sambil menulis identitas Iqbal di kartu catatan medis

”Terus terang kami dari Solo, kami tersesat mbak, sudah 3 hari ini kami di gunung sana. Ini adik saya terjatuh.” jawabku

”Mbak mau nanya, dokter Budi dulu alumnus dari mana nggih? Tanyaku

”Ga tahu ya.. katanya dulu dari Solo kuliahnya, memang ada apa kok nanya alumnus dari mana?” jawab mbak resepsionis

„Cuman mau nanya saja. Soalnya saya merasa wajahnya sudah ga asing dan merasa sudah kenal“ jawabku

Trus?“ tanya mbak resepsionis

„Dah ga pa pa kok“ jawabku berusaha mengakhiri pembicaraan

„Silakan duduk dulu menunggu antrean“ kata mbak resepsionis

-------------------------

Tiba-tiba saja....

Mas Karim, tampaknya orangnya si Yo yo ada di ujung sana... kita harus bagaimana?“ bisik Iqbal dengan merapatkan diri mendekatkan mulutnya ke telingaku.

”Di sebelah mana?“ kataku dengan berbisik juga

”Jam 10 baris ke 3 dari ujung paling luar” bisik Iqbal

”Kita cuek saja... ga usah cemas atau risau” jawabku mencoba menenangkan. Mataku juga melakukan usaha scaning pada koordinat yang ditunjukkan Iqbal. Seorang pria umur tiga puluh limaan tahun. Badan tegap. Wajah kualitas kebanyakan orang. Rambut tidak menunjukkan kalau dia ini sosok militer alias panjang rapi normal kebanyakan orang, lurus dan tersibak di sebelah kanan.

----------------------------


Tetap saja penampilan eksotik kami bertiga mengundang perhatian mata-mata liar yang memelototin.

Meski begitu aku bisa melihat penampakan kulit pasien-pasien yang ada di depanku. Aku jadi ingat kalau aku ini adalah dokter. Bapak-bapak yang berada di depanku ini dari wujud kelainan kulitnya ada kulit ada bercak-bercak kecil kemerahan, kulitnya melepuh menjadi gelembung-gelembung kecil yang berisi cairan. Tersebar merata di seluruh tubuhnya, aku tahu itu adalah cacar air atau biasa disebut varicella.

Aku tahu pemuda di samping kanan bapak tadi pergelangan tangannya ada ruam-ruam merah dan kasar. Itu tanda penyakit dermatitis. Seorang bapak tua di sampingnya lagi, kaki bengkak, wajah pucat, nafasnya tersengal-sengal, aku tahu itu adalah tanda-tanda gagal jantung. Kalau diperiksa memakai stetoskop akan terdengar suara seperti rambut yang digesek-gesek, biasa disebut ronchi basah. Obatnya diberi digitalis, diuretik kalau tensinya tinggi dikasih obat penurun tekanan darah. Di ujung sebelah sana seorang anak remaja umur sepuluhan tahun memakai jaket tebal ingusnya meler petanda sedang menderita common cold atau influenza.

Ingin ku katakan pada semua orang yang ada di sini ’aku ini seorang dokter!!! Jangan pandangi aku seperti ini’... tapi apalah artinya kalau penampilan fisikku saat ini. Lebih tepatnya seperti seorang gelandangan yang pakaiannya lumayan baik untuk ukuran seorang gelandangan. Aku benar-benar menjadi orang asing. Sekarang terasa betul betapa pentingnya penampilan itu. Karena aku berpakaian jas dokter maka orang segera memanggilku dokter. Karena penampilanku bersih orang lebih bisa hormat. Tapi saat ini... aku benar-benar menjadi orang yang tidak berharga. Diremehkan dihadapan manusia. Padahal kalau ingat saat mengasih pengertian pada anak-anak TPA dulu, ikhlas itu tidak lagi memperhatikan bagaimana pandangan manusia. Tetapi yang diutamakan adalah dalam pandangan Allah. Persetan dengan pandangan orang, kalau Allah tidak me-ridhoi, ya... kita tinggalkan.

Dan.....

Saat ini adalah ujian nyata menghadapi diremehkan di hadapan manusia. Kehilangan harga diri di hadapan manusia. Bahkan menjelang mau masuk sini tadi beberapa pengantar sempat merogoh sakunya, mencari uang receh. Tetapi begitu kami menolak, mereka baru sadar kalau kami ini bukan pengemis. Ternyata begini nih rasanya dianggap sebagai pengemis. Begitu terhina. Dilecehkan.

”Tahu tidak...Aku ini seorang dokter!” ingin hatiku meneriakkan. Tapi aku sadar kalau aku berteriak seperti itu, keadaan akan makin bertambah parah. Bisa-bisa aku dianggap orang gila. Dan mereka semua akan ramai-ramai mengusirku.

Aku teringat tokoh penting di Muhammadiyah bahkan sebagai ketua umum pimpinan pusat, almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah, begitu tawadhuknya beliau, ketika ada delegasi utusan dari daerah, yang notabene adalah bawahan beliau, tidak mengetahui dihadapannya adalah pimpinannya, bahkan pimpinan tertinggi, ditanya-tanya dengan tidak sopannya bahkan disuruh membawakan barang bawaannya serta disuruh pula mengantarkan ke penginapannya. Walaupun akhirnya setelah mengetahui bahwa orang yang ditanya-tanya secara kasar, disuruh membawakan barang dan mengantarkannya ke tempat penginapan adalah pimpinannya yang tertinggi, orang tersebut langsung pingsan. Almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah, tidak emosi, ataupun menunjukkan diri kalau beliau itu atasan dan tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu. Ternyata aku saat ini, mengalami sebenarnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pengalaman almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah.

Ya Allah berikanlah aku kesabaran sebagaimana yang telah Engkau berikan kepada almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah...

-----------------------------

Di antara tatapan mata aneh pasien dan pengantarnya, di ujung sebelah kanan sana ku lihat seorang wanita muda cantik....

Sepertinya aku kenal sosok wajah itu.

Endar? Endar yang sudah lama menghilang... maksudnya tidak pernah lagi menjadi customer dik Iqbal. Aku tidak tahu kemana dia pergi. Mengapa dia berada di sini. Mungkin dia bekerja di daerah sini. Kalau seandainya dia Endar aku berkhusnudzan berarti dia sudah lulus, mendapatkan pekerjaan di sini.

Aku yakin dia pasti tidak mengenali penampilanku dan Iqbal saat ini. Sangat dramatis perubahannya.

Ya sudah.. aku layangkan pandanganku ke arah ujung kiri... seorang bapak muda kira-kira berusia tiga puluh limaan tahun. Badannya tegap tinggi tampaknya dia tidak sakit. Mungkin dia mencari surat keterangan sehat. Atau seperti yang dikatakan Iqbal, orangnya si Yo Yo.

Persetan semuanya... aku harus ketemu dengan dokter Budi, aku harus bisa meyakinkan kalau aku ini benar-benar temannya. Aku harus bisa meyakinkan dirinya agar bisa memberikan bantuan kepadaku untuk keluar dari daerah ini dengan selamat.

Satu per satu pasien dipanggil dan keluar dengan membawa obat. Giliran Iqbal makin lama makin dekat.

Robisrohli wayassirli amri wahlul ’uqdatammillisaani yafqohu qouli... amin amin amin ya Allah dengarkan doa kami...kabulkanlah permohonan kami...” aku hanya bisa pasrah. Ku serahkan semua urusanku kepada Yang Memiliki Segala Kekuatan dan Kekuasaan. Yang Maha Kuasa atas segala urusan. Kami berbuat kebenaran, menentang kemungkaran. Allah SWT telah berjanji barangsiapa yang berjihad di jalan-Nya, sungguh Dia akan menunjukkan jalan-jalan keluar itu. Aku yakin pada janji-Nya. Aku yakin pertolongan-Nya sudah sangat dekat.

Aku benar-benar menyadari perjalanan ini sangat beresiko. Apalagi yang dihadapi adalah sebuah organisasi kejahatan yang profesional.

Kalau kami mati dalam perjalanan yang tidak menentu ini, setidaknya aku sadar betul bahwa aku dipanggil oleh-Nya tidak dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya. Aku selalu berusaha memenuhi panggilannya ketika waktu-waktu sholat lima waktu. Saat ini benar-benar menghayati ucapan-ucapan saat haji. ’Labaikallaahumma labaik’ aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Rindu bertemu kepada Zat Yang Maha Mencipta. Rindu bertemu ketika sedang berusaha menyucikan diri dan jiwa kita. Rindu ingin kembali kepada perintah-perintah-Nya. Rindu kepada kesucian diri dan hati. Aku berharap semoga Allah menghitung perjalanan ini sebagai sebuah ’jihad’-ku. Bila aku mati dalam perjalanan ini, aku yakin ini adalah sebuah usaha untuk menyucikan diri dengan darah yang keluar karena mempertahankan iman. Darah yang menyucikan seluruh dosa-dosa sepanjang hayat. Sebuah kematian yang mulia. Sebuah kematian yang dirindukan. Dan aku rindu itu.

..............................

”Saudara Iqbal!” panggilan dokter Budi tiba-tiba memudarkan perenunganku. Kemudian kami bertiga masuk dalam ruangan praktiknya.

”Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” dokter Budi mengucapkan salam kepada kami, sembari menjabat tangan kami satu persatu.

”Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh” jawab kami bertiga serentak.

”Mas Iqbal kena apa nih? Luka-lukanya sudah mulai mengering. Lho ini kok kusut semua?” tanya dokter Budi.

”Ceritanya panjang dokter Budi. Dokter Budi ingat punya teman bernama Karim? Abdul Karim Abdullah?” tanyaku

”Iya dia itu teman saya, dari Nganjuk. Mengapa Anda menanyakan dia? Apa hubungannya dengan Anda?” dokter Budi balas menanyakan.

Masya Allah sebegitu parahkah penampilanku hingga temanku yang dulu pernah satu kos bersamaku lupa dengan wajahku.

”Sekarang yang dokter hadapi saya, Abdul Karim Abdullah itu adalah saya.” jelasku

”Tidak... Tidak... sekarang maksud kedatangan saudara bertiga ini apa! Di luar banyak pasien mengantre. Waktu saya habis untuk ini. Terus terang saja kalau mau minta uang karena kehabisan uang perjalanan jauh. Ga usah bertele-tele menyebut Abdul Karim Abdullah segala. Beberapa waktu lalu ada orang pura-pura kenal saya, ngakunya jualan nasi di dekat rumah sakit...ujung-ujungnya mau pinjam uang untuk sewa ambulan untuk mengangkut ibunya yang sedang sekarat ke rumah sakit.” kata dokter Budi yang makin meninggi nada bicaranya.

”Bismillah... dokter Budi, memang kami bertiga kehilangan kartu identitas kami... ta..” belum selesai menuntaskan kalimat sudah dipotong oleh dokter Budi

”Sudahlah jangan bertele-tele!” bentak dokter Budi

”Mohon dengarkan satu kalimat saja dokter budi” kataku memelas memohon.

”Ya” jawab dokter Budi dingin

”Kita dulu berlima pernah satu kos di wisma JANAKA. Saya, dokter Budi, Darmanto, Santoso dan Barkah. Kita dulu bertujuh pernah mendaki di gunung Lawu dan tidak sampai puncak dan kita sepakat merahasiakannya hingga sampai sekarang. Tak ada yang tahu kalau kita bertujuh pun tidak sampai puncak, walaupun kita sudah mencapai pos 6. Kedua adikku ini bahkan baru tahu sekarang setelah aku ngomong tentang hal ini. Kita mengasih kode untuk peristiwa itu the failure climber. Masihkah tidak memercayai aku dokter Budi?” jelasku meyakinkan.

”Oh begitu Rim... Maaf ya... akhir-akhir ini memang banyak orang ngaku-ngaku kenal, dan ujung-ujungnya meminta duit. Tahu sendirilah kalau kita pasang plakat dokter, ada saja orang yang minta bantuan atau sumbangan. Terus terang aku sangat selektif dengan hal itu.” kata dokter Budi yang tidak dapat menutupi wajah malunya.

”Mengapa penampilanmu bisa berantakan begitu?” tanya dokter Budi keheranan.

”Ceritanya panjang, sekarang aku butuh bantuanmu. Di luar sana kami sedang dikejar orang-orang jahat yang mau membunuh kami bertiga. Aku mohon bantuanmu agar kami bisa lolos dari jebakan ini. Mereka menyamar jadi pasien seperti halnya kami.” kataku

”OK gini saja. kalian bertiga mandi dulu, kebetulan aku punya tiga kamar mandi di dalam. Habis itu ganti baju, ubah penampilan kalian. Lima belas menit lagi aku akan masuk ke dalam dan mengantar kalian ke Solo.” kata dokter Budi.

”Tapi mereka yang mengejar kami di luar bagaimana? Mereka pasti curiga. Kok setelah masuk tidak keluar lagi.” Iqbal angkat bicara.

”Tidak, di sini ada ruang perawatan inap. Di sebelah kanan ruang ini adalah ruang rawat inapnya. Kalian tadi tidak lihat sebelum masuk sini?” kata dokter Budi.

”Lha terus...?” tanya kami bertiga kompak.

”Kalian lewat pintu sebelah kiri. Itu akses masuk menuju rumah. Itu ruang pribadi. Di dalam sana ada tiga kamar mandi. Ayo aku antar.” kata dokter Budi, seraya berdiri dan mengarahkan kami.

Dokter Budi mengantar kami masuk ruang pribadinya. Sebelum masuk dia memberi isyarat kepada istrinya karena ada tiga lelaki bukan makhromnya memasuki ruang pribadi. Memberikan kesempatan untuk membenahi diri. Di dalam ada istri dan dua anaknya. Budi menikah memang sebelum Co-ass. Jadi wajar kalau anaknya sudah gedhe. Istrinya memakai jilbab putih. Dengan tatapan keheranan melihat kami bertiga.

”Siapa ini mas?” kata istrinya dengan tatapan tidak percaya

”Ini Karim, temanku kuliah dan satu kos dulu. Dia sedang tersesat dan dalam masalah. Butuh bantuan kita. Biarkan mereka mandi dulu. Tolong siapkan baju ganti milikku. Insya Allah bajuku dan Karim serta dua adiknya seukuran.” kata dokter Budi.

”Iya mas.” kata istrinya.

Beberapa saat kemudian istrinya mengeluarkan tiga stel baju plus celana beserta pakaian dalamnya untuk kami bertiga.

”Itu untuk kalian, ga usah dikembalikan” kata dokter Budi.

”Terima kasih ya Bud, mudah-mudahan Allah SWT memberi kalian balasan yang jauh lebih baik... amin” kataku

”Lima belas menit lagi aku masuk kedalam, aku antar kalian. Biar istriku siap-siap untuk melanjutkan praktik. Istriku juga dokter kok Rim. Lulusan dari FKUGM” kata dokter Budi sekali lagi.

”Tolong ya Bud, jangan membuat kecurigaan” pinta ku

”Iya Rim don’t worry” kata dokter Budi

Segera kami bertiga mandi. Membersihkan badan dari kotoran-kotoran yang melekat. Segar rasanya setelah empat hari tidak mandi. Kemudian makan nasi hangat dengan sayur sop ayam hangat. Nikmat rasanya. Sebuah jenis nikmat yang sudah beberapa hari ini tidak kami rasakan.

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments