Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Sunday, June 29, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 22

Pulang kembali

Ternyata Budi atau dokter Budi memunyai rumah yang unik. Rumah tempat tinggal yang terpisah dengan ruang praktik dan ruang rawat inap untuk pasien yang membutuhkan rawat inap, tetapi tetap terhubung. Walaupun memunyai dua muka, tetapi muka keduanya tidak berada dalam satu titik potong, misalnya di ujung perempatan, satu muka di satu jalan, sedang muka lain di jalan yang lain, tetapi masih bisa bertemu di titik potong perempatan. Bahkan muka untuk rumah pribadinya berada di jalan yang berbeda dengan muka untuk praktik dan rawat inapnya. Keadaan ini sangat menguntungkan proses pelarian kami dari kejaran anak buahnya Yo yo, yang telah lama.

”Aku ada teman perwira polisi di Kabupaten. Aku antar kalian ke sana, agar bisa melindungi perjalanan kita ke Solo.” kata dokter Budi.

Dokter Budi membimbing kami menuju ruang garasi mobilnya. Setelah tiga kali belokan dan ruangan akhirnya sampai juga.

”Dokter Budi yakin dengan keamanan kami, kalau didampingi perwira itu?” tanya Iqbal meyakinkan.

”Sekarang ini Tentara dan Polisi telah mereformasi diri mereka. Mereka sekarang benar-benar melindungi rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Aku benar-benar tahu bagaimana mereka itu. Mereka berjuang keras membangun citra baik dengan mereformasi diri mereka dari dalam. Semua proses dibuat sangat transparan. Aku tahu betul, karena aku kan asisten kepala Dinas Kesehatan. Jadi aku sering rapat dengan mereka. Termasuk perwira yang akan aku mintai tolong. Namanya Kolonel Jauhari.” Jelas dokter Budi.

Tampak mobil Toyota Kijang Inova hitam berdiri kokoh dan elegan. Dokter Budi menyilahkan kami masuk.

”Kalian duduk di jok paling belakang saja, biar tidak mencurigakan. Sehingga dari depan yang terlihat hanya aku saja yang ada di mobil.” kata dokter Budi, sambil memencet-mencet tuts yang ada di handfonnya.

”Siap komandan!” kataku sambil memasuki mobil bersama Iqbal dan Harun.

Untuk sementara aku bisa tenang, demikian juga Iqbal dan Harun. Cuman aku masih mengkhawatirkan nasib Imam dan Widodo. Mudah-mudahan mereka lolos dan selamat.

Tampak dokter Budi masih menelfon seseorang, sambil membukakan pintu, secara sepintas terdengar pembicaraan..

”Minta tolong anak buah pak Jauhari yang membawa Inovanya nanti sesampai di Polsek ya pak. Sepuluh menit lagi insya Allah sampai” kata dokter Budi mengakhiri pembicaraan lewat handfon dan menyalakan mesin mobil. Halus sekali suaranya. Tidak seperti mobil truntung bapak. Mobil bergerak keluar dan nyaris tanpa suara yang terdengar.

Keluar dari rumah dokter Budi, dik Iqbal sempat memberikan isyarat kepada ku dan Harun kalau ada orangnya Yo yo yang memelototi mobil dokter Budi setelah beberapa meter keluar di jalan. Beberapa saat kemudian tampak di belakang ada sepeda motor yang membuntuti.

”Tampaknya kita dibuntutin orang Bud” kataku

”Kayaknya ya” kata dokter Budi sambil memperhatikan spion mobil.

”Kalian bertiga semuanya pasang sabuk pengamannya” kata dokter Budi sekali lagi.

Dari belakang kulihat satu mobil tampaknya mitsubishi L 300 dan satu sepeda motor tril. Sementara dokter Budi makin mengencangkan laju Inova yang dikendarai. Dokter Budi sudah hafal betul tikungan-tikungan, tanjakan, dan jurang terjal di sepanjang jalan ini. Begitu lihai sekali dia. Tapi kami yang dibelakang dibuat was was dan berdesir ketika dokter Budi melakukan berbagai manuver-manuver.

Tampaknya dokter Budi sudah memprediksi keadaan ini. Sejak dari rumahnya tadi sudah mengaktifkan headset handfon-nya. Memencet berulang ke nomor seseorang. Mengomunikasikan keberadaannya kepada seseorang yang dia telfon.

”Baru sampai di tikungan kilometer kelima! Kita dibuntutin mobil L300 dan satu motor tril! Lima menit lagi insya Allah nyampe” kata dokter Budi, seperti orang yang bicara sendiri.

Aku dan kedua adikku terdiam dan hanya saling berpandangan, setelah itu mata memelototin jalan yang dilalui Inova yang kami tumpangi dan sesekali menengok ke belakang melihat pembuntut itu berjuang keras memacu kendaraan mereka. Tampaknya tertinggal agak jauh. Hanya motor tril saja yang agak mendekat. Aku tidak menyangka kalau saat ini benar-benar mengalami olah raga detak jantung dan memacu adrenalin. Was-was dan pasrah berdoa.

Di sela-sela tubuh-tubuh kami yang berayun-ayun. Kupejamkan mata, kembali kupasrahkan diri kepada Allah, Dzat yang maha mengatur segala sesuatu. Dzat Yang Maha Menghancurkan Makar para penentangnya. Dzat Yang Maha Menghendaki siapa saja yang Dia kehendaki mendapatkan kemenangan. Aku hanya pasrah. Demikian juga kedua adikku. Kami hanya bisa memperbanyak dzikir-dzikir yang dilantunkan oleh bibir-bibir kami.

Berkali-kali motor tril itu berhasil mendekat. Dan satu kali pengendaranya berhasil menendangkan kakinya pada bodi mobil inova. Tapi tidak keras, kayaknya tidak menimbulkan goresan atau cekungan.

Mobil Inova terus melaju kencang dan lincah menyusuri kejutan-kejutan jalanan pegunungan yang tidak dapat diprediksi dan dalam gelapnya malam. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun dokter Budi benar-benar menunjukkan kepiawaiannya dalam kendali pengemudian.

Sementara itu di belakangnya walaupun L300, teknologinya lebih lama ketimbang teknologi mesin Inova, pengemudinya pun juga lihai dan tak kalah gesitnya dengan dokter Budi. Apalagi pengendara motor tril.

”Allahu Akbar! Mobil yang sholeh! Mobil yang sholeh!” teriak dokter Budi.

Kami bertiga saling berpandangan tidak mengerti.

”Maksudnya?” tanyaku melongo

”Di depan itu kantor Polsek, sejak satu kilometer tadi para pengejar sudah menghentikan kendaraan mereka. Mereka tahu di depan kita kantor polsek. Tampaknya mereka bersiap berganti kendaraan pengintai. Ada yang memata-matai kita di sekitar sini” kata dokter Budi

”Terus langkah kita bagaimana?” tanya Harun.

Don’t worry, they have second plan, we have second plan too” tenang dokter Budi

Second plan?” tanya kami serempak

Yes, just follow the scenario.. OK!” jawab dokter Budi mantap

”Yah kita ngikut saja sama our leader” kataku

---------------------------------

Mobil Inova yang kami tumpangi memasuki halaman Polsek dan terus sampai halaman belakang. Dan yang membuat kami terkejut, ada dua mobil inova hitam yang sama persis dengan inovanya dokter Budi, sudah dalam posisi parkir di sana.

”Ya ya ya aku baru paham” kataku mantap kepada dokter Budi.

”Kalian turun dulu. Kita berganti mobil” kata dokter Budi sambil membuka pintu, dan mengangkat kursi di baris kedua, agar kami bisa keluar.

”Terima kasih ya Bud” kataku

Sesosok pria tegap, berpenampilan bersih dan rapi, berkumis tebal, datang menghampiri kami.

”Eh..kenalkan ini kolonel Jauhari” kata dokter Budi.

”Saya Karim”

”Saya Harun”

”Saya Iqbal”

Sambil menyalami kami bertiga, kolonel Jauhari memerkenalkan dirinya

”Saya Jauhari”

”Saya sudah faham kondisi kalian, teman Anda Widodo dan Imam beberapa hari yang lalu melapor kepada kami, mereka kehilangan kalian. Saya antar kalian ke Solo malam ini juga bersama empat anak buah saya.” kata kolonel Jauhari.

Aku perhatikan ternyata plat nomor kijang inova itu sama persis. Setelah berbasa-basi sebentar, kami dipersilakan masuk ke salah satu kijang inova itu. Satu kijang inova meluncur duluan menuju Solo, sepuluh menit kemudian rombonganku beserta kolonel Jauhari. Kemudian diikuti mobil patroli ditumpangi empat anak buahnya. Sementara itu kijang Inova dokter Budi dengan dikawal satu mobil patroli pulang kembali ke rumah dokter Budi beberapa menit kemudian.

---------------------------

Serasa mimpi buruk berakhir, untuk urusan pelarian dik Iqbal. Setidaknya aku sudah merasa aman dan merasa terjamin keselamatanku beserta dik Iqbal dan dik Harun untuk pulang ke Solo, dan ke Nganjuk.

Sekarang ini aku melihat persoalan yang demikian menggunung ada di depan mata. Mencari uang cair sebanyak setidaknya dua ratus juta. Pertama seratus lima puluh juta untuk melunasi utang-utang beserta komisi yang harus dibayar dik Iqbal. Kedua, mencarikan rumah kontrakan baru untuk bapak, ibu dan aku berharap dik Iqbal mau mendampingi bapak dan ibu di rumah kontrakan baru itu. Aku berharap agar ada yang mengawasi dan merawat kesehatan bapak ibu. Ketiga butuh modal awal bagi dik Iqbal untuk memulai usaha baru. Keempat, membangkitkan semangat bangkit dik Iqbal dari reruntuhan usahanya beserta harga dirinya yang benar-benar terpuruk dengan keadaan ini. Dik Iqbal sekarang kepercayaan dirinya serasa di dasar jurang yang paling dalam di dunia. Sangat terpuruk.

Kalau aku merunut ke belakang, ketika bapak dan ibu memutuskan untuk menjual tanah dan rumah yang kami tinggali ketika dulu mbak Fatimah dan mbak Malika kuliah di fakultas kedokteran. Rumah baru belum selesai, yang kami tempati adalah bakal dapur yang bisa dianggap satu kamar, pintu belum jadi, listrik belum ada. Angin malam seenaknya saja masuk menyapa tubuh-tubuh kami, ketika tidur. Ibu berjualan makanan dengan beratap terpal. Aku merasa berdosa kalau ingat waktu itu, mengapa harus malu dilihat teman-teman melihat kondisi rumah kami yang memprihatinkan. Termasuk pula malu bila ikut membantu ibu melayani orang yang makan di warung terpal ibu. Belajar di malam hari dengan lampu petromax. Aku ingat betul, celana aku tambal berkali-kali, aku jahit sendiri, termasuk sepatu yang jebol, dijahit seadanya. Untuk sekolah dokter bagi mbak Fatimah dan mbak Malika termasuk aku sendiri, bagi keluargaku bagaikan si pungguk yang merindukan bulan. Sangat tidak masuk akal. Aku ingat betul ketika pulang dari sepeda naik sepeda ontel reot, aku bermimpi suatu saat nanti aku akan berhasil, mencapai jauh yang aku miliki saat ini. Aku akan pindah dari takdirku sekarang yang miskin menjerat.

Walaupun akhirnya sedikit demi sedikit mendekati normal, datanglah musibah dik Iqbal. Ya Allah karuniakanlah kesabaran kepada keluarga kami.

Sedangkan aku sendiri, harus menyelesaikan urusan pelantikan dokter dan mencari uang untuk menutupi biaya pelantikan dokter. Meminta lebih pada bapak ibu di Nganjuk tidak tega rasanya menambah penderitaan di atas penderitaan.

Dan yang lebih besar lagi bagi diriku adalah hubunganku dengan de Ais. Itulah yang paling membuatku sangat gelisah. Tidak terima. Merasa terhina. Merasa terkhianati. Hati ini serasa dicacah-cacah habis. Kehormatan ini serasa diinjak-injak. Muka ini serasa dicabik-cabik oleh kuku-kuku kotor. Dihina. Sialan benar dokter KinDono.

Waktu tidak dapat dibuat dibuat berjalan terbalik. Kalau tahu seperti ini, pasti aku sudah memilih yang lain.

Ya Allah...

Aku yakin Engkau tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kapasitas yang dimiliki hamba-Mu ya Allah. Betapa beruntungnya orang yang benar-benar beriman. Hatinya selalu merasa aman atas segala cobaan hidup yang diberikan Allah kepada mereka. Di berikan nikmat bersyukur. Diberi cobaan mereka mengucapkan innalillaahi wainna lillaahi roji’un. Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’aha....

Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan beban melainkan sesuai dengan kapasitas hamba-Nya.

Ya Allah

Mengapa dunia ini serasa begitu sempit sekarang. Dada ini serasa sesak. Jantung serasa enggan berdenyut. Dunia terasa hampa tanpa makna.

Allaahumma anta robbi laa illaa ha illa anta..

Ya Allah, Engkaulah pelindungku tidak ada lagi yang mampu menolongku melainkan Engkau.

Aku memohon hanya kepada-Mu

Aku hanya bisa berdoa hanya kepada-Mu

Siapa lagi yang bisa aku keluh-kesahi selain Engkau ya Allah

Allaahumma inna na’udzubika min annusyrika bika syaian na’lamahu wanastaghfiruka limaa laa na’lamhu.

Ya Allah ya Tuhanku, aku memohon kepadaMu, lindungilah kami dari perbuatan yang paling Engkau murkai, menjadikan tandingan-tandinganMu entah itu harta, istri, segala yang tersirat dari pikiranku, hawa nafsuku, baik yang aku mengetahui maupun aku tidak mengetahuinya.

Ya Allah

Sesungguhnya Engkau adalah Tuhanku, yang Maha Mendengarkan doa

Kabulkanlah permohonanku

Lapangkanlah hatiku,

Selesaikanlah kerumitan hidup yang aku hadapi,

Walaupun permasalahanku tidak sebanding dan tidak ada apa-apanya dibandingkan para nabi-nabiMu, para rasul-rasulnyaMu, amanahnya melingkupi segala manusia, harus menyelesaikan masalahnya sendiri, masalah keluarganya sendiri...

Walaupun permasalahanku, tidak tertara dengan penderitaan ditelantarkannya nabi Yunus oleh kaumnya hingga masuk perut ikan.

Walaupun permasalahanku, tidak ada taranya dengan nabi Ibrahim yang sendirian di tengah kaumnya dan Engkau uji memisahkan anak dan istrinya ribuan mil di tengah padang pasir luas yang menyengat hanya memenuhi perintahMu

Walaupun permasalahanku, tidak ada taranya dengan hinaan dan lemparan batu kepada rasulMu yang mulia Muhammad SAW ketika mencoba hijrah di Yatsrib.

Walaupun hati ini, jiwa ini penuh dengan dosa, sangat bodoh, sombong dan tidak tahu diri...tidak utuh sebagai hambaMu

Tanpa aku sadari air mata ini menetes...bergulir dengan hangat membasahi pipiku.

Rindu rasanya ingin segera sampai kota Solo...

Sholat tahajjud, bermunajat kepada Allah

Memperbanyak tadarus Al-qur’an

Mengikuti jejaknya Imam Maliki sebelum melangkah menuju tempat pencambukan beliau...karena mempertahankan keyakinan

Menelusuri jejak para ulama dan sidiqin

Menjadikan sabar untuk tunduk dan taat kepadaNya sebagai kekuatan

Bersusah-susah membangun rasa aman dan tenteramnya seorang mukmin.

Pulang kembali kepada jalanMu menunggu datangnya waktu yang tlah Engkau janjikan

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 21

Ketenangan dalam keterasingan

Udara senja yang dingin, diam-diam menyusup masuk di sela-sela serat baju dan jaket yang menutup rapat tubuh-tubuh kami. Diam-diam kegelapan mulai siap menggantikan kepemimpinan cahaya siang. Hingga akhirnya seratus persen gelap menguasai alam semesta. Kelelawar beterbangan menyambut berkuasanya sang kegelapan. Kekuasaan kegelapan memberinya mandat untuk sepenuhnya menggunakan karunia indera yang Allah berikan... melihat terang-benderang dalam kegelapan. Melihat dengan jelas apa-apa yang telah Allah gariskan padanya untuk ia konsumsi. Sementara makhluk yang jadi target konsumsinya tidak menyadari dan tidak melihat kehadirannya. Kelestariannya tetap terjaga, menemani kehidupan manusia... yang sering lupa untuk berdzikir pada-Nya.

Adzan maghrib sayup-sayup kecil mulai terdengar.

”Mas ... kita dekat dengan pemukiman penduduk!” kata Harun

”Iya…. Antara senang dan was-was” kata Iqbal

“Senang dan was-was?” tanyaku

”Senang karena kita mempunyai harapan bertemu dengan orang yang mau menolong kita kembali ke Solo, was-wasnya... orang-orang Kolonel Prawoto dan Yo Yo sudah melakukan ’warning’ kepada penduduk desa itu kalau menjumpai tiga laki-laki asing salah satunya ada memar-memar wajah, harus segera melapor” jelas Iqbal

”Benar juga... kita memang masih belum aman. Penampilan kita, tiga hari ini kita belum mandi, jelas bau badan akan mudah tercium dari kejauhan. Rambut acak-acakan. Baju kotor oleh tanah, berdebu. Wajah-wajah kita, kusut dan kusam. Akan mudah terdeteksi kalau kita ini orang yang dimaksud.” kataku menambah data

”Lalu kita harus bagaimana mas?” tanya Harun yang mulai cemas.

”Kita sholat jama’ takdim maghrib dan isya’ dulu di dekat sini. Itu ada tempat yang datar, dan tersembunyi......kita wudhu di sana ada pancuran air pengairan, air di sini masih alami” kataku mencoba menenangkan.

Aku yakin kalau sholat, hati ini jadi tenang, pikiran bisa jernih, tidak emosional, walaupun pada saat itu penuh tekanan, dikejar-kejar musuh, mendekatkan diri pada Sang Maha Pemberi Keamanan, meningkatkan ruhiyah... berharap pertolongan-Nya.

Kami bertiga sholat sendiri-sendiri dengan punggung saling merapat dan saling membelakangi, tidak memperhatikan lagi arah kiblat memadukan konsentrasi makna bacaan-bacaan sholat, tetapi juga waspada mata dan telinga...mengatur siapa yang sujud duluan, siapa yang berdiri dan siapa yang bisa duduk diantara dua sujud.... agar kami bertiga tidak lengah.

---------------

Kegelapan sudah benar-benar meresap hingga pori-pori kulit. Kelip-kelip cahaya lampu di kejauhan menghilangkan monoton kegelapan. Cahaya-cahaya yang keluar dari lampu rumah-rumah penduduk. Desa atau mungkin kecamatan sudah semakin mendekat. Diantara kelip-kelip lampu yang jarang, ada satu wilayah yang kelip-kelip lampunya makin padat populasinya. Diselingi kelip-kelip lampu yang berjalan dalam dua arah. Jelas itu adalah cahaya yang keluar dari kendaraan bermotor dan mobil. Yang kelip-kelip cahaya jarang itu jelas desa, sedang yang populasi kelip-kelip padat itu menandakan daerah kecamatan. Banyak penduduk dan lebih sibuk aktivitas warganya.

Sementara jalanan semakin menurun dan semakin mendatar. Remang-remang cahaya rembulan membantu mata kami melihat jalan-jalan setapak yang harus dilewati.

Aktivitas kami....

Terus berjalan....terus berjalan dan terus berjalan.

Seperti pemukul batu, yang terus memukul, terus memukul dan terus memukul... tidak dipikirkan lagi ia melakukan pukulan ke berapa... yang penting ia terus terus dan terus menerus memukul batu besar yang ukurannya melebihi ukuran tubuhnya.

Ia hanya yakin suatu saat nanti batu itu akan pecah...

Kami pun juga seperti itu, dan yakin suatu saat nanti akan sampai juga di tempat tujuan yang aman, yang menyelesaikan segala permasalahan.... mengurai kerumitan hidup kami. Insya Allah.

Text Box: dr. Budi PK--------------------

“Mas Karim... itu lihat.... dokter Budi PK!” Kata Iqbal sambil menepuk punggungku

“Mana?” tanyaku

“Itu plakat dokter Budi PK. Mungkin dokter Budi Prastyo Kurniawan. Teman satu kos mas Karim dulu. Masih ingat mas?” tanya Iqbal

”Jelas ingat... kami bertujuh punya rahasia ’failure climber’ dulu masih belum co-ass. Mudah-mudahan dokter Budi yang di depan sana, adalah teman lama dan bisa kita mintai pertolongannya.” kataku

”Tapi bagaimana caranya, kita pura-pura jadi pasien. Tuh mas bisa lihat sendiri kan pasiennya berjubel begitu banyak..” kata Harun yang mulai menyangsikan keberhasilan rencana.

“Kita lihat-lihat dulu, kalau tidak ada pasien emergency, kita bisa minta tolong petugas administrasi yang didepan itu untuk menyampaikan pesan kalau kita teman lama sedang tersesat dan minta pertolongan beliau. Itu pun kalau kita sudah yakin dokter Budi PK adalah teman mas Karim waktu kuliah dulu. Dia lulus satu semester lebih dulu ketimbang aku. Aku sendiri sebenarnya secara de facto sudah lulus, tetapi secara de jure belum, karena aku belum punya ijazah dokter. Kalau seandainya benar dia dokter Budi PK, berarti luar biasa dia, baru enam bulan lulus sudah punya pasien yang demikian banyak.” Kataku

“Udah mas Karim, kita tahu kita berhasil atau tidak, kita harus mencoba dulu dengan segala resiko yang sudah kita antisipasi sebelumnya” kata Iqbal mantap.

“Gini mas Karim, biar mas Iqbal yang jadi pasiennya. Wajahnya kan masih biru-biru dan masih bengkak. Jadi kita ada alasan untuk berobat” Harun menimpali dengan tidak kalah mantap pula.

“OK bismillaahirrohmaanirrohiim. Bismillaahi tawakaltu ‘alallaah walaa haulaa walaa quwwata illa billaah” kataku

----------------------------------

Rumah itu termasuk rumah mungil tapi eye catching. Seperti kebiasaan rumah dokter, selalu ada ruang tunggu biasanya merangkap sebagai garasi yang berhubungan langsung dengan ruang praktik. Kurang lebih ada sepuluhan pasien yang masih menunggu antrean.

“Bu Marto!” teriak dokter Budi memanggil antrean pasien. Posisi beliau saat itu menyembulkan diri keluar pintu. Sehingga terlihat jelas wajah dan postur tubuh beliau.

“Yaa jelaas Budi! Allahu akbar!” kataku dalam hati, seperti air bah yang hampir menjebol bendungan. Rasa girangku. Ada harapan.

Tetapi….

Mata-mata liar itu. Mata-mata para pasien dan pengantar itu tidak dapat menutupi rasa curiga yang menyeruak dari dalam batin mereka. Aku tahu mereka memprihatinkan kondisi sakit mereka. Tetapi bagaimana kehadiranku dan kedua adikku merubah suasana yang ada dalam ruang tunggu dokter Budi.

Ketika melintasi cermin yang terpampang di dinding menuju tempat pendaftaran, sepintas aku lihat penampilan kami bertiga sungguh sangat tidak normal bagi kebanyakan yang hadir. Seperti kelainan dalam mayoritas yang seragam. Kalau kelainan itu berwujud penampilan yang terbaik, tentu mereka bisa memaklumi. Tetapi penampilan kami bertiga. Tidak mandi sudah mau hari ke empat. Bau keringat mengumpul. Kalau di alam bebas akan sangat membantu kami, karena aroma tubuh menyatu dengan alam, tetapi di sini di tempat praktik dokter Budi, walaupun mereka dalam keadaan sakit, setidaknya mereka memakai parfum sehingga masih tercium aroma harum. Walaupun beberapa diantaranya mengandalkan aroma pada minyak kayu putih atau minyak cap kampak. Tidak gosok gigi tiga hari. Bau mulut tentu sangat mengganggu ketika bercakap-cakap. Rambut kumal, beberapa helai bercampur tanah, ketika harus melewati tanah curam, terpaksa ngesot dan debu berserakan mengisi ruang-ruang antar rambut. Wajah ini demikian legam dan mengkilap. Betapa tidak seharian penuh dalam perjalanan terpapar sinar matahari musim kemarau. Kumis dan jenggot tumbuh begitu liar, tidak dicukur. Benar-benar lain penampilan ini.

Penampilan Iqbal lebih heboh lagi. Tampak jelas memar-memar kebiruan dan sudut pipi bengkak demikian juga pelipis dan kelopak mata. Walaupun bengkaknya tidak sehebat dua hari sebelumnya. Tetap saja menakutkan. Seperti orang yang habis duel. Dan memang kenyataannya seperti itu.

--------------------------

“Mbak, ini mau mendaftar. Nama pasiennya Iqbal, umur 22 tahun” kataku

“Alamat?” tanya mbak resepsionis sambil menulis identitas Iqbal di kartu catatan medis

”Terus terang kami dari Solo, kami tersesat mbak, sudah 3 hari ini kami di gunung sana. Ini adik saya terjatuh.” jawabku

”Mbak mau nanya, dokter Budi dulu alumnus dari mana nggih? Tanyaku

”Ga tahu ya.. katanya dulu dari Solo kuliahnya, memang ada apa kok nanya alumnus dari mana?” jawab mbak resepsionis

„Cuman mau nanya saja. Soalnya saya merasa wajahnya sudah ga asing dan merasa sudah kenal“ jawabku

Trus?“ tanya mbak resepsionis

„Dah ga pa pa kok“ jawabku berusaha mengakhiri pembicaraan

„Silakan duduk dulu menunggu antrean“ kata mbak resepsionis

-------------------------

Tiba-tiba saja....

Mas Karim, tampaknya orangnya si Yo yo ada di ujung sana... kita harus bagaimana?“ bisik Iqbal dengan merapatkan diri mendekatkan mulutnya ke telingaku.

”Di sebelah mana?“ kataku dengan berbisik juga

”Jam 10 baris ke 3 dari ujung paling luar” bisik Iqbal

”Kita cuek saja... ga usah cemas atau risau” jawabku mencoba menenangkan. Mataku juga melakukan usaha scaning pada koordinat yang ditunjukkan Iqbal. Seorang pria umur tiga puluh limaan tahun. Badan tegap. Wajah kualitas kebanyakan orang. Rambut tidak menunjukkan kalau dia ini sosok militer alias panjang rapi normal kebanyakan orang, lurus dan tersibak di sebelah kanan.

----------------------------


Tetap saja penampilan eksotik kami bertiga mengundang perhatian mata-mata liar yang memelototin.

Meski begitu aku bisa melihat penampakan kulit pasien-pasien yang ada di depanku. Aku jadi ingat kalau aku ini adalah dokter. Bapak-bapak yang berada di depanku ini dari wujud kelainan kulitnya ada kulit ada bercak-bercak kecil kemerahan, kulitnya melepuh menjadi gelembung-gelembung kecil yang berisi cairan. Tersebar merata di seluruh tubuhnya, aku tahu itu adalah cacar air atau biasa disebut varicella.

Aku tahu pemuda di samping kanan bapak tadi pergelangan tangannya ada ruam-ruam merah dan kasar. Itu tanda penyakit dermatitis. Seorang bapak tua di sampingnya lagi, kaki bengkak, wajah pucat, nafasnya tersengal-sengal, aku tahu itu adalah tanda-tanda gagal jantung. Kalau diperiksa memakai stetoskop akan terdengar suara seperti rambut yang digesek-gesek, biasa disebut ronchi basah. Obatnya diberi digitalis, diuretik kalau tensinya tinggi dikasih obat penurun tekanan darah. Di ujung sebelah sana seorang anak remaja umur sepuluhan tahun memakai jaket tebal ingusnya meler petanda sedang menderita common cold atau influenza.

Ingin ku katakan pada semua orang yang ada di sini ’aku ini seorang dokter!!! Jangan pandangi aku seperti ini’... tapi apalah artinya kalau penampilan fisikku saat ini. Lebih tepatnya seperti seorang gelandangan yang pakaiannya lumayan baik untuk ukuran seorang gelandangan. Aku benar-benar menjadi orang asing. Sekarang terasa betul betapa pentingnya penampilan itu. Karena aku berpakaian jas dokter maka orang segera memanggilku dokter. Karena penampilanku bersih orang lebih bisa hormat. Tapi saat ini... aku benar-benar menjadi orang yang tidak berharga. Diremehkan dihadapan manusia. Padahal kalau ingat saat mengasih pengertian pada anak-anak TPA dulu, ikhlas itu tidak lagi memperhatikan bagaimana pandangan manusia. Tetapi yang diutamakan adalah dalam pandangan Allah. Persetan dengan pandangan orang, kalau Allah tidak me-ridhoi, ya... kita tinggalkan.

Dan.....

Saat ini adalah ujian nyata menghadapi diremehkan di hadapan manusia. Kehilangan harga diri di hadapan manusia. Bahkan menjelang mau masuk sini tadi beberapa pengantar sempat merogoh sakunya, mencari uang receh. Tetapi begitu kami menolak, mereka baru sadar kalau kami ini bukan pengemis. Ternyata begini nih rasanya dianggap sebagai pengemis. Begitu terhina. Dilecehkan.

”Tahu tidak...Aku ini seorang dokter!” ingin hatiku meneriakkan. Tapi aku sadar kalau aku berteriak seperti itu, keadaan akan makin bertambah parah. Bisa-bisa aku dianggap orang gila. Dan mereka semua akan ramai-ramai mengusirku.

Aku teringat tokoh penting di Muhammadiyah bahkan sebagai ketua umum pimpinan pusat, almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah, begitu tawadhuknya beliau, ketika ada delegasi utusan dari daerah, yang notabene adalah bawahan beliau, tidak mengetahui dihadapannya adalah pimpinannya, bahkan pimpinan tertinggi, ditanya-tanya dengan tidak sopannya bahkan disuruh membawakan barang bawaannya serta disuruh pula mengantarkan ke penginapannya. Walaupun akhirnya setelah mengetahui bahwa orang yang ditanya-tanya secara kasar, disuruh membawakan barang dan mengantarkannya ke tempat penginapan adalah pimpinannya yang tertinggi, orang tersebut langsung pingsan. Almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah, tidak emosi, ataupun menunjukkan diri kalau beliau itu atasan dan tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu. Ternyata aku saat ini, mengalami sebenarnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pengalaman almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah.

Ya Allah berikanlah aku kesabaran sebagaimana yang telah Engkau berikan kepada almarhum bapak AR Fahrudin rahimahullah...

-----------------------------

Di antara tatapan mata aneh pasien dan pengantarnya, di ujung sebelah kanan sana ku lihat seorang wanita muda cantik....

Sepertinya aku kenal sosok wajah itu.

Endar? Endar yang sudah lama menghilang... maksudnya tidak pernah lagi menjadi customer dik Iqbal. Aku tidak tahu kemana dia pergi. Mengapa dia berada di sini. Mungkin dia bekerja di daerah sini. Kalau seandainya dia Endar aku berkhusnudzan berarti dia sudah lulus, mendapatkan pekerjaan di sini.

Aku yakin dia pasti tidak mengenali penampilanku dan Iqbal saat ini. Sangat dramatis perubahannya.

Ya sudah.. aku layangkan pandanganku ke arah ujung kiri... seorang bapak muda kira-kira berusia tiga puluh limaan tahun. Badannya tegap tinggi tampaknya dia tidak sakit. Mungkin dia mencari surat keterangan sehat. Atau seperti yang dikatakan Iqbal, orangnya si Yo Yo.

Persetan semuanya... aku harus ketemu dengan dokter Budi, aku harus bisa meyakinkan kalau aku ini benar-benar temannya. Aku harus bisa meyakinkan dirinya agar bisa memberikan bantuan kepadaku untuk keluar dari daerah ini dengan selamat.

Satu per satu pasien dipanggil dan keluar dengan membawa obat. Giliran Iqbal makin lama makin dekat.

Robisrohli wayassirli amri wahlul ’uqdatammillisaani yafqohu qouli... amin amin amin ya Allah dengarkan doa kami...kabulkanlah permohonan kami...” aku hanya bisa pasrah. Ku serahkan semua urusanku kepada Yang Memiliki Segala Kekuatan dan Kekuasaan. Yang Maha Kuasa atas segala urusan. Kami berbuat kebenaran, menentang kemungkaran. Allah SWT telah berjanji barangsiapa yang berjihad di jalan-Nya, sungguh Dia akan menunjukkan jalan-jalan keluar itu. Aku yakin pada janji-Nya. Aku yakin pertolongan-Nya sudah sangat dekat.

Aku benar-benar menyadari perjalanan ini sangat beresiko. Apalagi yang dihadapi adalah sebuah organisasi kejahatan yang profesional.

Kalau kami mati dalam perjalanan yang tidak menentu ini, setidaknya aku sadar betul bahwa aku dipanggil oleh-Nya tidak dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya. Aku selalu berusaha memenuhi panggilannya ketika waktu-waktu sholat lima waktu. Saat ini benar-benar menghayati ucapan-ucapan saat haji. ’Labaikallaahumma labaik’ aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Rindu bertemu kepada Zat Yang Maha Mencipta. Rindu bertemu ketika sedang berusaha menyucikan diri dan jiwa kita. Rindu ingin kembali kepada perintah-perintah-Nya. Rindu kepada kesucian diri dan hati. Aku berharap semoga Allah menghitung perjalanan ini sebagai sebuah ’jihad’-ku. Bila aku mati dalam perjalanan ini, aku yakin ini adalah sebuah usaha untuk menyucikan diri dengan darah yang keluar karena mempertahankan iman. Darah yang menyucikan seluruh dosa-dosa sepanjang hayat. Sebuah kematian yang mulia. Sebuah kematian yang dirindukan. Dan aku rindu itu.

..............................

”Saudara Iqbal!” panggilan dokter Budi tiba-tiba memudarkan perenunganku. Kemudian kami bertiga masuk dalam ruangan praktiknya.

”Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” dokter Budi mengucapkan salam kepada kami, sembari menjabat tangan kami satu persatu.

”Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh” jawab kami bertiga serentak.

”Mas Iqbal kena apa nih? Luka-lukanya sudah mulai mengering. Lho ini kok kusut semua?” tanya dokter Budi.

”Ceritanya panjang dokter Budi. Dokter Budi ingat punya teman bernama Karim? Abdul Karim Abdullah?” tanyaku

”Iya dia itu teman saya, dari Nganjuk. Mengapa Anda menanyakan dia? Apa hubungannya dengan Anda?” dokter Budi balas menanyakan.

Masya Allah sebegitu parahkah penampilanku hingga temanku yang dulu pernah satu kos bersamaku lupa dengan wajahku.

”Sekarang yang dokter hadapi saya, Abdul Karim Abdullah itu adalah saya.” jelasku

”Tidak... Tidak... sekarang maksud kedatangan saudara bertiga ini apa! Di luar banyak pasien mengantre. Waktu saya habis untuk ini. Terus terang saja kalau mau minta uang karena kehabisan uang perjalanan jauh. Ga usah bertele-tele menyebut Abdul Karim Abdullah segala. Beberapa waktu lalu ada orang pura-pura kenal saya, ngakunya jualan nasi di dekat rumah sakit...ujung-ujungnya mau pinjam uang untuk sewa ambulan untuk mengangkut ibunya yang sedang sekarat ke rumah sakit.” kata dokter Budi yang makin meninggi nada bicaranya.

”Bismillah... dokter Budi, memang kami bertiga kehilangan kartu identitas kami... ta..” belum selesai menuntaskan kalimat sudah dipotong oleh dokter Budi

”Sudahlah jangan bertele-tele!” bentak dokter Budi

”Mohon dengarkan satu kalimat saja dokter budi” kataku memelas memohon.

”Ya” jawab dokter Budi dingin

”Kita dulu berlima pernah satu kos di wisma JANAKA. Saya, dokter Budi, Darmanto, Santoso dan Barkah. Kita dulu bertujuh pernah mendaki di gunung Lawu dan tidak sampai puncak dan kita sepakat merahasiakannya hingga sampai sekarang. Tak ada yang tahu kalau kita bertujuh pun tidak sampai puncak, walaupun kita sudah mencapai pos 6. Kedua adikku ini bahkan baru tahu sekarang setelah aku ngomong tentang hal ini. Kita mengasih kode untuk peristiwa itu the failure climber. Masihkah tidak memercayai aku dokter Budi?” jelasku meyakinkan.

”Oh begitu Rim... Maaf ya... akhir-akhir ini memang banyak orang ngaku-ngaku kenal, dan ujung-ujungnya meminta duit. Tahu sendirilah kalau kita pasang plakat dokter, ada saja orang yang minta bantuan atau sumbangan. Terus terang aku sangat selektif dengan hal itu.” kata dokter Budi yang tidak dapat menutupi wajah malunya.

”Mengapa penampilanmu bisa berantakan begitu?” tanya dokter Budi keheranan.

”Ceritanya panjang, sekarang aku butuh bantuanmu. Di luar sana kami sedang dikejar orang-orang jahat yang mau membunuh kami bertiga. Aku mohon bantuanmu agar kami bisa lolos dari jebakan ini. Mereka menyamar jadi pasien seperti halnya kami.” kataku

”OK gini saja. kalian bertiga mandi dulu, kebetulan aku punya tiga kamar mandi di dalam. Habis itu ganti baju, ubah penampilan kalian. Lima belas menit lagi aku akan masuk ke dalam dan mengantar kalian ke Solo.” kata dokter Budi.

”Tapi mereka yang mengejar kami di luar bagaimana? Mereka pasti curiga. Kok setelah masuk tidak keluar lagi.” Iqbal angkat bicara.

”Tidak, di sini ada ruang perawatan inap. Di sebelah kanan ruang ini adalah ruang rawat inapnya. Kalian tadi tidak lihat sebelum masuk sini?” kata dokter Budi.

”Lha terus...?” tanya kami bertiga kompak.

”Kalian lewat pintu sebelah kiri. Itu akses masuk menuju rumah. Itu ruang pribadi. Di dalam sana ada tiga kamar mandi. Ayo aku antar.” kata dokter Budi, seraya berdiri dan mengarahkan kami.

Dokter Budi mengantar kami masuk ruang pribadinya. Sebelum masuk dia memberi isyarat kepada istrinya karena ada tiga lelaki bukan makhromnya memasuki ruang pribadi. Memberikan kesempatan untuk membenahi diri. Di dalam ada istri dan dua anaknya. Budi menikah memang sebelum Co-ass. Jadi wajar kalau anaknya sudah gedhe. Istrinya memakai jilbab putih. Dengan tatapan keheranan melihat kami bertiga.

”Siapa ini mas?” kata istrinya dengan tatapan tidak percaya

”Ini Karim, temanku kuliah dan satu kos dulu. Dia sedang tersesat dan dalam masalah. Butuh bantuan kita. Biarkan mereka mandi dulu. Tolong siapkan baju ganti milikku. Insya Allah bajuku dan Karim serta dua adiknya seukuran.” kata dokter Budi.

”Iya mas.” kata istrinya.

Beberapa saat kemudian istrinya mengeluarkan tiga stel baju plus celana beserta pakaian dalamnya untuk kami bertiga.

”Itu untuk kalian, ga usah dikembalikan” kata dokter Budi.

”Terima kasih ya Bud, mudah-mudahan Allah SWT memberi kalian balasan yang jauh lebih baik... amin” kataku

”Lima belas menit lagi aku masuk kedalam, aku antar kalian. Biar istriku siap-siap untuk melanjutkan praktik. Istriku juga dokter kok Rim. Lulusan dari FKUGM” kata dokter Budi sekali lagi.

”Tolong ya Bud, jangan membuat kecurigaan” pinta ku

”Iya Rim don’t worry” kata dokter Budi

Segera kami bertiga mandi. Membersihkan badan dari kotoran-kotoran yang melekat. Segar rasanya setelah empat hari tidak mandi. Kemudian makan nasi hangat dengan sayur sop ayam hangat. Nikmat rasanya. Sebuah jenis nikmat yang sudah beberapa hari ini tidak kami rasakan.

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 20

entah kapan kembali

Pohon-pohon itu, bongkahan-bongkahan tanah itu, gumpalan-gumpalan raksasa batu itu, akar-akar itu, batang-batang itu semua dalam keadaan kekuatan penuh dalam perlombaan besar-besaran ukuran. Semuanya menjulang tinggi, menyembul besar, menukik tajam dalam keadaan bisu dan terus mempertahankannya selama ribuan tahun. Ribuan tahun dalam ketundukan mengikuti apa yang ditakdirkan oleh Yang Maha Mencipta. Auksin-auksin[1] itu membakar semangat ujung batang-batang pohon untuk berlomba menjangkau matahari. Memperbesar ukuran, menambah tinggi, memacu pembelahan sel, agar matahari terlihat jelas oleh masing-masing lembar daun untuk membakar zat nutrisi agar menjadi makanan sumber kegairahan hidup.

Harusnya aku nikmati keindahan ini. Harusnya aku bisa bertadabur alam saat ini. Harusnya aku bisa merasakan rileksnya menyatu dengan kesegaran alam.

Pagi ini bersama kedua adikku Iqbal dan Harun, aku terdampar di hutan, gunung, kabut, udara dingin, air jernih dan dingin, serta perut yang makin lama makin keroncongan. Beruntung kemarin ketika belanja, korek api gas aku kantongi di celana sehingga walaupun disekap barang tersebut masih bisa aku bawa. Aku tidak tahu bagaimana nasib handphone-ku.

Aku melihat, tidak jauh dari tempat kami berdiri, mulai banyak semak dan padang rumput yang luas. Di daerah seperti inilah, biasanya banyak kelinci liar yang memakan rumput untuk melanjutkan kehidupannya. Inilah saatnya beraksi.

“Kita mencari makan untuk sarapan yuk” ajakku kepada kedua adikku.

“Nyari apa ya mas” tanya Harun

“Ya seadanya” jawab Iqbal enteng. Kulihat darah menggumpal kering di pelipis kanannya, disertai biru-biru dan lebam di pipi kanan pula.

“Ada yang bawa pisau?” tanyaku

“Aku bawa, tapi kecil, untuk apa tho mas?” jawab Harun

“Kayaknya di daerah sana banyak kelinci, kita bisa sarapan kelinci nih” kataku dengan menunjuk jari menuju sebuah lapangan rumput kecil dengan diseraki semak-semak dan tanaman umbi-umbian.

“Itu mas…” Iqbal menunjuk ke arah yang sama dengan yang aku tunjukkan tadi hanya berbeda sedikit koordinatnya.

“Ayoo tangkaap! Pelan-pelan! Jangan sampai mereka tahu kalau ada kita!” kataku

Kami bertiga berlari mengejar kawanan kelinci yang ada…

Iqbal dapat satu, aku dapat satu dan Harun dapat dua.

“Siapa yang menyembelih?” tanya Harun

“Aku saja” Iqbal menawarkan

“Ayo tunggu apa lagi” kataku

Empat kelinci hasil tangkapan disembelih Iqbal, sementara aku dan Harun yang membantu memegangi. Habis itu menguliti, menghilangkan kotoran, membuang usus dan jeroannya tinggal dagingnya.

“Aku yang mencari kayu bakar” Harun menawarkan diri

“Mas Karim yang membuat perapiannya ya..”kata Iqbal

Iqbal membuat kayu yang diruncingkan ujungnya, kemudian ditusukkan ke daging kelinci yang sudah bersih dan siap dipanggang. Beberapa saat kemudian Harun sudah mendapatkan kayu bakar yang banyak, dan dibuatlah perapian.

Saatnya membakar daging kelinci…

…………………………………..

Walaupun tidak ada bumbu, atau garam, memakan kelinci bakar tetap lahap mungkin karena sudah benar-benar kelaparan. Lalu masalah minumnya? Jangan khawatir, tinggal sruput dari sungai saja, pakai tangan. Pengalamanku ketika dulu naik ke gunung Lawu minum dari air sungai gunung langsung ga bikin penyakit ternyata, buktinya setelah pulang di antara tujuh orang yang ikut tidak ada yang sakit perut atau muntaber.

Alhamdulillah kenyang. Sudah lumayan menegakkan badan. Tidak loyo. Sejenak istirahat, duduk-duduk menikmati sapaan hangatnya sinar matahari pagi.

“Dik Iqbal, tadi malam kamu cerita tentang… semula antara kamu, dokter KindoNo dan Kolonel Prawoto serta… siapa....si Yo yo bandar judi. Trus mengapa setelah itkamu dijadikan buronan oleh mereka?” tanyaku sekaligus memulai kembali pembicaraan pagi setelah sarapan daging kelinci bakar.

“Awalnya lancar semuanya setor 10 % dari laba bersih kepada Kolonel Prawoto. Hingga ada peristiwa yang menyadarkan aku. Yu Slamet yang biasa memasak nasi untukku, suatu ketika meminjam uang kepadaku, berapa mas kalau mau tahu?” cerita Iqbal. Yu Slamet yang orangnya lugu, hanya jualan nasi kucing ke kos mahasiswa-mahasiswa.

“Aku ga tahu… paling seratus ribuan” tebakku

“Salah besar mas… LIMA JUTA RUPIAH” Iqbal berkata dengan semangat pada nominal pinjaman yu Slamet.

“LIMA JUTA RUPIAH? Lha untuk apa pinjam segitu besar? Untuk usaha warung makan?” kali ini Harun gantian bertanya.

“Bukan untuk apa-apa” jelas Iqbal

“Trus, untuk apa?” tanyaku dan Harun serentak.

“Untuk melunasi utang suaminya yang kecanduan main judi Cap Ji Kie. Suaminya yu Slamet tidak pernah bekerja. Setiap hari pekerjaannya hanya memegang buku kecil ‘analisa terjemahan mimpi ke dalam nomor Cap Ji Kie’, sambil menunggu jam keluar nomor Cap Ji Kie, dia main poker atau remi sendiri dengan sesama teman penggila Cap Ji Kie, dengan memakai uang. Jadi menunggu judi dengan judi” jelas Iqbal sambil mengompres luka di pelipisnya dengan sapu tangan yang dimasukkan ke air sungai.

Astaghfirullahaladzim! Masya Allah! Lima juta hanya untuk itu” gumamku tak percaya dengan yang terjadi

“Lalu? “ tanya Harun yang penasaran dengan lanjutan cerita Iqbal

“Suami yu Slamet kalah telak judinya, ya sampai lima juta itu, dia mengancam akan menjual anak gadisnya sematawayang, Erna ke germo, bila yu Slamet tidak mau mencarikan uang sebesar itu” Kata Iqbal

Astaghfirullahaladzim! Masya Allah!” kataku dan Harun bersamaan, dengan menggeleng-gelengkan kepala, penuh keheranan, kok ada seorang ayah sejahat itu pada anak kandungnya sendiri.

“Akhirnya aku pinjami, dan dari sana aku mulai menyadari kesalahanku mas, aku terlalu berambisi untuk mendapatkan harta segera dan dalam jumlah besar, aku ingin menunjukkan bahwa aku ini bukan orang biasa yang dengan begitu mudah diremehkan. Tetapi akhirnya menghalalkan semua cara dan ternyata cara itu memakan banyak korban dan korbannya adalah orang yang tidak mampu. Akhirnya menambah kejahatan baru yang lebih dahsyat lagi. Aku berniat untuk berhenti dari usahaku, dan memulai usaha baru lagi mas” kata Iqbal yang mulai meneteskan air matanya.

“Aku tidak hanya berniat ingin berhenti, tetapi juga ingin menghentikan bisnis dokter KindoNo, Yo yo dan terutama Kolonel Prawoto. Ternyata mereka terlalu besar dan terlalu kuat untuk dilawan. Kolonel Prawoto yang sebenarnya kapten yang disersi itu ternyata begitu lihai, begitu licin itu, polisi saja susah menemukan barang bukti yang membuatnya bisa terlibat. Belum lagi Yo yo, ternyata para centengnya begitu banyak dan kuat. Dan dokter KindoNo, otaknya terlalu encer, pinter melakukan spionase dan psikopat. Akhirnya menyadari, kalau aku ini seorang diri, tetapi menantang gerbong kereta yang berisi orang-orang profesional.” lanjut Iqbal dengan terbata-bata..

………….. beberapa saat mengusapkan air mata, menata suara kembali……..

“Terbesit dalam pikiranku, aku harus membuat bukti, makanya dalam pertemuan selanjutnya, tanpa sepengetahuan mereka semuanya aku merekam semua aktivitas penyerahan upeti kepada Kolonel Prawoto, entah siapa yang mengetahui aktivitasku, ternyata sampai juga ke telinga Kolonel Prawoto, hingga suatu ketika ada salah seorang karyawan yang bekerja di pengeringan daun teh sekaligus tempat penyulingan sabu-sabu, meng-sms aku, aku harus bersembunyi, termasuk dari pantauan si Jo, akhirnya aku lari dari Banyudono, ke rumah mas Tri Da Ko Can.. kadang ke tempat sahabat baruku yang pemulung yang bernama Herman “

“Karena aku tahu, mas Karim juga aktif di kegiatan KAPAS dan SEROJA yang ngurusin gelandangan, pengamen, orang-orang pinggiran serta anak-anak jalanan, makanya ketika bermain ke tempat Amar, aku hanya memakai kode menunjuk ke arah barat ketika menyebut Herman. Sebagai kode, karena si Jo selalu berusaha menguntitku dimana pun aku berada.”

“Akhirnya mas Karim segera mengontak Widodo dan Imam koordinator KAPAS dan SEROJA, kemudian mereka mengantarkan kepada mas Tri Da Ko Can..” jelas Iqbal.

“Lalu kemarin kolonel Prawoto menanyaimu tentang CD itu?” tanya Harun, sambil melepaskan jaketnya, ternyata dia masih membawa sabun mandi Nuvo dan terjatuh keluar dari saku jaketnya. Memang Harun termasuk cowok yang peduli sama penampilan, jadi dimana-mana selalu menjaga agar wajahnya tidak berminyak, bahasa Jawanya biar ga kilêng-kilêng. Itupun masih pake bedak tabur!

“Iya CD itu berisi rekaman transaksi Kolonel Prawoto dengan pemilik bisnis-bisnis illegal di Solo, ya berkumpulnya di tempat pengeringan daun teh itu.” Jawab Iqbal, pada saat bersamaan, dia sudah selesai mengompres memar-memar kebiruan di pelipis matanya, sekarang gantian aku yang mengompres. Aku suruh Iqbal berbaring.

“Sekarang CD itu berada di mana?” tanyaku

“Dia berada di tempat yang aman, di suatu tempat” jawab Iqbal dengan wajah meringis tanda kesakitan ketika aku mengompresnya dengan memberikan tekanan-tekanan ringan.

“Jangan-jangan di dalam saku jaket kita ada penyadap suara?” tanyaku dengan berbisik agar kalau suara yang aku keluarkan tidak terdeteksi oleh alat penyadap suara jika alat itu ada di sela-sela baju atau jaket. Ide ini terinspirasi dari kata-kata Iqbal yang belum mau mengatakan di mana tempat CD itu di simpan, dan pengalaman sebelumnya, ada penyadap di mobil bapak, yang aku melihat pantauannya di monitor dokter KindoNo.

Semua dari kami bertiga melepas jaket masing-masing, meraba-raba baju, lipatan kerah, menguras isi kantong….

“Ini ?” bisik Harun yang memegang sebuah benda berbentuk tabung seperti roda mobil balap mainan anak-anak.

Iqbal merenggut benda itu, membenamkan benda itu ke dalam sabun Nuvo-nya Harun, kemudian berjalan pelan, menyusuri jalan setapak, kemudian menuju jurang dan dilemparkannya jauh-jauh.

Habis peristiwa itu kami jadi lebih hati-hati dalam ngomong, terutama mengenai arah tujuan pergi serta rahasia tempat CD tidak pernah diungkit.

Kemudian meneruskan perjalanan…

Menyusuri jalan setapak hutan, kebun teh dan disela-sela itu aku perhatikan ada tanaman ganja…ah sementara dicuekin … biar hanya di pikiran dulu, tapi ini lokasinya lumayan jauh dari pabrik pengeringan teh, delapan jam jalan kaki jauhnya. Mungkin buat petani di sini, jarak sedemikian itu ga masalah. Para petani kayaknya belum tahu kalau tanaman itu adalah bahan baku untuk obat-obatan terlarang, kulihat mereka santai saja merawat tanaman-tanaman itu.

The show must go on…

Menembus sinar matahari yang makin lama makin menyengat, tetapi namanya di gunung, sering mendung, kadang-kadang kabut datang, selama kabut masih tipis tetap berani berjalan..

Berjalan dan terus berjalan, hingga tanpa terasa lagi dinginnya udara pegunungan, kalah oleh hasil metabolisme otot-otot yang berkontraksi, menghasilkan kehangatan, bahkan lebih panas, sehingga butuh pendingin.. dan melelehlah keringat-keringat itu dalam butiran-butiran bening mendinginkan kulit yang mulai panas.. keringat-keringat itu menembus, meresap baju yang kami pakai..

Kami terus berjalan. Kadang harus naik beberapa puluh meter. Kemudian lebih banyak turunnya.. satu dua turun sangat terjal, sehingga aku harus ngesot biar tidak jatuh, celana kotor tidak terpikirkan lagi..

Di tengah keheningan alam, suara-suara burung berkicau seperti bercak-bercak cat yang berwarna indah yang dituangkan di kanvas kosong media pendengaran, kemudian kanvas kosong itu mulai dinamis oleh suara-suara riak air sungai, sekali dua kali oleh gesekan daun-daun dalam jumlah besar akibat terpaan angin yang menggerak-gerakkan mereka, beresonasi membentuk orkestra alam yang luar biasa indah… subhanallah!

“Dekat sungai mas” kata Harun

“Sungai dan waduk” kata Iqbal

Kami tiba di daerah pinggiran sungai besar, jalan setapak sudah mulai diplester semen dan dipagari batu-batuan yang tertata rapi.

“Mulai banyak orang mas” kata Harun

“Ya kita tetap hati-hati” kataku

“Kayaknya kita harus menempuh jalan lain mas” kata Iqbal sambil tangannya merenggut tanganku dan mengajak Harun. Kami bertiga turun dari jalan utama, dalamnya ada sepuluhan meter, kemiringan empat puluh lima derajat.

“Menunduk” kata Iqbal memberi aba-aba. Kami semua menunduk. Tepat di atas kami ada jembatan penyeberangan. Di bawahnya ada terowongan air.

“Kenapa kita harus lewat sini?” tanya Harun memrotes.

“Aku hafal ada orang-orangnya Yo yo di hadapan kita tadi. Siap-siap ya kita mau main selancar air. Ikuti aku ya” kata Iqbal. Beberapa saat kemudian, dia dalam posisi tengkurap masuk menjorok dalam terowongan air, lebih tepatnya jembatan untuk air, tetapi karena atasnya juga tertutup maka seperti terowongan air. Terowongan air ini terbuat dari besi baja, direkatkan oleh skrup-skrup dalam ukuran besar, menonjol di permukaan dalam terowongan air. Berarti siap-siap berbenturan dengan skrup-skrup besi baja yang menonjol bila bermain selancar air.

Arus air sungai akhirnya mengangkut tubuh dik Iqbal … dia memberi aba-aba

“Ayo…ayo…” kepalanya menengok ke belakang, sementara ia mengayun-ayunkan tangannya agar aku dan Harun mengikuti.

“Kamu duluan dik Harun” aku menyuruhnya duluan.

Beberapa saat kemudian gantian aku.

Awalnya tubuh ini tidak bergeser sedikit pun. Kemudian dengan dibantu tangan mengayun-ayun seperti orang renang seimbang kanan dan kiri, akhirnya tubuh ini terbawa arus dan … makin lama makin kencang menyusuri terowongan air itu, sejauh lima puluh meter.

“Auu “ paha kananku terbentur skrup yang menonjol.

Mulai tidak seimbang…

“Auu” kali ini giliran paha kiri yang terbentur..

Beberapa detik kemudian, lumayan bisa mengendalikan..

“Auu” siku kiriku kena.

Kemudian sudah keluar terowongan air, arus makin deras nih, gimana cara menghentikannya..

“Pegangan ini mas” dik Iqbal menjulurkan tangannya, kemudian aku rengkuh tangan itu, dan aku tertahan, arus masih deras, kakiku berganti posisi di depan.. akhirnya bisa menyentuh dasar…ada pijakan.

“Alhamdulillah” kataku lega..

“Kamu tadi kok bisa keluar gimana dik? Tanyaku pada dik Iqbal, sambil aku lipat celanaku hingga paha dekat lutut terlihat, tergores merah, untungnya kain celana masih utuh, jadi kalau sholat tidak terganggu karena kelihatan auratnya. Sementara sikuku berdarah, tapi segera berhenti perdarahannya. Hanya luka ringan.

Istirahat sejenak….

Kami bertiga ini berada jauh di bawah jalanan yang dipakai orang. Sudah tidak terlihat lagi jalan setapak utama tadi.

“Mas… coba lihat itu! Ada pisang liar yang sudah mulai matang.” Kata Iqbal.

Ternyata di bawah kami masih ada jurang lagi. Dan tepat di bawah kami tumbuh pohon pisang, dan buahnya tepat di hadapan kami. Jadi tinggal memetik saja.

“Alhamdulillah…dalam keadaan seperti ini Allah masih memberi kita rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka” kataku.

Perut lapar, pisang setundun habis. Seperti biasa untuk urusan minum dengan tangan ditangkup, meminum langsung dari air sungai. Jernih dan menyehatkan, tidak ada kotoran.

Istirahat, makan dan minum, terus sholat… kami jama’ sholat dhuhur dan ashar sekaligus. Selesai sholat, duduk-duduk sambil melepas kepenatan.

“Orang sering salah menafsirkan bisnis itu sama dengan mencari profit” tiba-tiba saja dik Iqbal meluncurkan kata-kata yang belum sepenuhnya aku pahami.

“Maksudnya?” aku dan dik Harun serempak bertanya

“Iya. Kalau berprinsip seperti itu akan berantakan jadinya. Seperti yang aku alami saat ini.” Jelas dik Iqbal

“Maksudnya?” lagi-lagi aku dan dik Harun serempak kebingungan

“Bahkan tidak saja berantakan, dampaknya kalau bisnis itu dipersepsi identik dengan mencari profit, maka jadilah seperti yang menimpa bangsa kita. Demi mengejar profit, banyak pengusaha yang rela menyogok pejabat agar memenangkan tender. Harus pakai aksi tipu-tipu. Harus bersaing mati-matian. Padahal bisnis itu tidak demikian.” Kata dik Iqbal menjelaskan lebih lanjut.

“Terus?” sama. Lagi-lagi aku terpaksa serempak penasaran mengenai kelanjutan penjelasan dik Iqbal.

“Bisnis itu masalah membentuk jiwa, reflek berpikir dan bertindak, kemauan bekerja sama, keterampilan membentuk jaringan kerja, jaringan pasar dan jaringan uang. Dan yang lebih penting adalah terbentuknya jiwa tahan banting dan penuh kesabaran, ketika menghadapi tekanan dan permasalahan serta menemukan solusi yang tepat dan tetap bekerja on the right track” jelas Iqbal

On the right track?” lagi-lagi sampai bosan harus selalu serempak dengan dik Harun dalam kondisi ketidak tahuan sekaligus ingin tahu. Dan diam-diam aku makin mengagumi kematangan pribadi dik Iqbal, walaupun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, termasuk harus menginap di alam raya hutan dan gunung yang tidak tahu kapan episode “film” ini berakhir.

“Seringkali orang-orang itu melihat hasil akhir dari seorang pengusaha yang sukses. Padahal, untuk menuju ke sana ada sunatullah-sunatullah yang berlaku ketat dan harus dilalui dan dicapai oleh siapa saja yang memilih pengusaha sebagai jalur kariernya. Dipastikan mereka semua pernah gagal. Thomas Alfa Edison sampai percobaan ke ribuan berapa baru bisa menemukan bola lampu yang benar, dan setelah itu butuh beberapa dekade membesarkan perusahaan General Electric yang melegenda di Amerika itu. Termasuk pendiri jaringan Mc Donald, ternyata setelah gagal seribu sekian, baru menemukan resep dan menemukan pengelolaan sistem jaringan yang tepat untuk mengelola bisnisnya. Inilah yang aku maksudkan on the right track. Mereka tidak mencari jalan pintas. Jiwa membangun sistem yang kokoh itulah baru yang namanya bisnis. Tidak seperti perjalanan bisnis yang aku tempuh ini… aku telah membuat kesalahan. Mudah-mudahan masih ada waktu, dan semoga Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk menebus semua kesalahan ini. Aku mengaku bersalah mas Karim dan dik Harun. ” jelas dik Iqbal panjang lebar, dan ketika mulai menyebut kesalahan dirinya itu, dik Iqbal mulai terbata-bata bicaranya dan air mata itu bergulir dengan deras di pipinya.

“Yah sudah lah dik Iqbal, yang sudah lalu tidak bisa kita kembalikan. Kita hanya bisa berdoa, semoga Allah mengampuni semua kesalahan kita dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki.” Kami bertiga berpelukan, menangis bersama.

“Tampaknya kita sudah lama istirahatnya mas” kata Harun menghenyakkan kesenduan perasaan kami.

“Ayuh kita berjalan lagi dik” kataku kepada kedua adikku.

Perjalanan terus berlanjut…

Ketika malam, kami bertiga tidur di semak-semak menatap langit di pegunungan yang sangat bersih, tidak ada polusi. Aku berada di tengah-tengah antara Iqbal dan Harun. Aku genggamkan jari-jariku pada jari-jari kedua adikku. Merasa damai sekali, merasakan kebersamaan dan kehangatan. Mengamati langit yang ditaburi jutaan bintang, yang selama ini jarang aku perhatikan ketika di bawah sana. Sekali waktu, kabut menghalangi pemandangan indahnya langit dengan kelap-kelip bintang-bintang bertaburan bak permadani yang sangat luas yang tersebar di atasnya jutaan mutiara berkualitas, memancarkan cahaya keasliannya.

“dik Iqbal, dik Harun.. kamu lihat itu, bintang bergeser tadi” kataku pada kedua adikku

“Iya mas” jawab mereka berdua kompak

“Mas percaya, kalau melihat itu akan mendatangkan sesuatu?” Iqbal bertanya kepadaku

“Maksudnya akan membawa nasib baik atau nasib buruk begitu, mas Iqbal” tanya Harun

“Dulu aku pernah ikut kajian. Dalam surat Jin, diceritakan bahwa Lauh Mahfud, tempat catatan peristiwa mulai terciptanya alam semesta hingga nanti hari kiamat sudah tiba, sudah ada di buku itu. Kalau orang bisa melihat dalamnya buku itu, maka dapat membaca apa yang bakal terjadi di masa datang. Tetapi oleh Allah di sekitar lauh mahfud itu, dijaga oleh malaikat yang siap melontarkan panah-panah api bila Jin atau Syaithon berusaha mencuri informasi dari sana. Mereka sudah dipastikan oleh Allah tidak akan bisa. Bintang jatuh itu adalah usaha setan untuk mencuri-curi berita dari langit, untuk bisa disampaikan kepada kekasih-kekasihnya seperti para dukun dan sebagainya. Oleh malaikat, setan-setan itu dilempar dengan panah-panah api. Bintang jatuh itu bisa jadi benda langit yang mau jatuh bergesekan dengan atmosfer bumi atau bisa jadi panah-panah api seperti yang dikisahkan dalam Surat Jin tersebut Wallahua’lam. Tetapi adanya bintang jatuh, gerhana bulan atau gerhana matahari itu tidak ada kaitannya dengan nasib seseorang, kelahiran, kematian, atau pun bakal terpilihnya seseorang jadi lurah, bupati, gubernur bahkan presiden sekali pun. Benar-benar tidak ada kaitannya. Bahkan pernah nabi menegur keras para sahabat, ketika terjadi gerhana bulan yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau dan para sahabat mengaitkan peristiwa gerhana bulan dengan wafatnya putra beliau. Jadi benar-benar tidak ada kaitannya.” Jelasku kepada kedua adikku.

“Kasihan orang-orang itu, yang memercayai banyak hal takhayul, apalagi berkaitan dengan benda-benda di langit. Hidupnya serba tidak bebas ya mas” tanyak Harun

“Iya benar dik Harun. Manusia benar-benar terbelenggu dengan keyakinannya sendiri yang keliru. Tidak bebas.” Kataku menegaskan

“Kecuali, kalau benda-benda di langit itu sebagai penanda arah mata angin. Atau permulaan musim tertentu, ya mas” imbuh Iqbal

“Ya dik Iqbal, memang benar demikian halnya” kataku lagi

“Hayo tidur yuk, sekarang sudah larut malam kayaknya. Besok kita teruskan perjalanan. Kita tidak tahu kapan kita akan terus berjalan. Berapa hari akan kita habiskan di hutan ini, kita benar-benar tidak tahu” kata Iqbal

“Iya yang penting kita bisa saling dekat, bersama, kesempatan yang jarang kita dapat kan. Walaupun kita saat ini dalam keadaan yang tidak mengenakkan” kata Harun

“Dah ya, kita tidur, bismika Allahumma ahya wa bismika amuut” kataku mengakhiri percakapan malam itu

------------------

Menyusuri hutan, menyusuri waktu yang terus berjalan, menyusuri perputaran sunatullah yang berlaku pada makhluk-makhluknya, menyusuri detil-detil keikhsanan matahari, perputaran bumi, bintang-bintang, bulan untuk taat pada hukum-hukum Allah yang berlaku bagi mereka.

Innallaaha katabal ikhsaana ‘ala kulli syai’ sesungguhnya Allah SWT mewajibkan seluruh makhluknya untuk berbuat ikhsan (profesional), berbuat yang terbaik sesuai kadar yang telah ditentukan baginya. Berbuat profesional sesuai amanah-amanah yang dibebankan kepadanya. Sudah jutaan tahun matahari, bulan, bumi dan bintang-bintang berbuat ikhsan. Hutan-hutan itu sudah ribuan tahun berbuat ikhsan, melakukan fotosintesis yang sempurna, menyeimbangkan kebaradaan oksigen, menguatkan struktur tanah agar tidak longsor didera oleh hempasan air hujan yang bergelombang demikian intens dan tiada henti. Demikian juga harusnya kita manusia harus berbuat ikhsan. Makhluk yang tidak berotak dan berhati saja bisa berbuat ikhsan, harusnya kita lebih lagi.

Perjalanan ini membuatku banyak merenung akan banyak hal. Dan tanpa terasa sudah tiga hari ini aku berjalan...entah kapan aku bisa kembali aku tidak tahu.

Makan minum sekadarnya. Makan apa saja yang bisa dimakan yang ditemui di jalan. Minum dari air sungai pegunungan yang jernih dan kaya akan mineral, sangat menyegarkan. Dan yang paling parah aku bertiga tidak mandi selama itu. Kalaupun dianggap mandi hanya menceburkan diri disungai, ketika terik matahari sedang dipuncak-puncaknya.

BERSAMBUNG.....

[1] Auksin = hormon pertumbuhan tanaman. Di daerah pegunungan auksin didapati berada dalam konsentrasi tinggi, karena berebut mendapatkan sinar matahari.

Sunday, June 22, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 19

Sebuah Pencarian…


Dari no 0815643xxxx

Karim, kamu telah menikahi orang yang salah, dia dulu kekasihku, aku punya foto2 syurnya, kamu pesen ga?

…………………………………………

Sebuah sms aneh, dari nomor asing dan tidak ada dalam memori hpku nomor itu.. orang iseng kali, tapi kok menyebut dengan jelas namaku dan nomor yang di tuju tidak salah, nomorku dan namaku..

Nomorku sudah terkenal kan wajar, mudah diakses oleh siapa saja…termasuk orang-orang yang iseng semacam yang barusan memberiku pesan singkat tersebut. Aku biarkan saja sms itu, tapi entah kenapa, aku merasa wajib untuk menyimpan nomor itu dalam memori HPku. Aku simpan saja dengan nama “TERORIS”

……………………………………………………………..

Jarang ada kesempatan bisa begitu dekat dengan dik Harun. Aku senang sekali melihat dik Harun berbinar-binar matanya menceritakan bagaimana dia menyelesaikan penelitian untuk skripsinya di fakultas teknik mesin Universitas Muhamadiyah Malang. Dia mengambil penelitian mengenai masalah knalpot. Ternyata hanya knalpot, ilmunya luar biasa. Walaupun banyak istilah-istilah teknik mesin yang masih mengambang, alias tidak aku pahami, tetapi melihat sorot mata dik Harun yang membulat menceritakan dunia perteknik mesinan yang sangat curiously bagi dik Harun saja, aku sudah senang dan sangat bangga dengannya. Setelah puas dengan masalah perteknik mesinannya, dik Harun banyak bercerita tentang dunia lain yang membuatnya excited, terutama dalam membuat program software komputer. Dia banyak bercerita lagi, tentang macam-macam bahasa komputer, bahasa mesin yang kembali aku sangat awam dengan dunia itu. Dia bercerita pula kalau sedang ”flow”, dik Harun bisa sampai seminggu penuh mulai dari jam 18.00 sampai jam 03.00 dipotong waktu jam sholat dan makan menyelesaikan satu program software. Yang terakhir dia geluti adalah membuat software tentang peningkatan akurasi untuk para teknisi di bengkel, agar ukuran bubut ruang silinder mesin bisa seragam, dengan tingkat akurasi kurang dari 0,1 mm. Dia bercerita pula kalau sedang ”flow” tersebut, masalah makan sering terlupakan, sehingga dik Harun pernah menderita sakit maag akut. Sudah jam kerjanya panjang, bahkan membuat program yang lumayan rumit bisa memakan waktu sampai lebih dari seminggu. Aku akui semangat bertempur dik Harun tidak kalah hebat dengan dik Iqbal, sarjana teknik bisa ditempuh dalam tujuh semester dan IPK 3,87. Dua dunia yang berbeda, tetapi semangat tempur yang sama gigih, antara dik Harun dan dik Iqbal. Mana yang lebih hebat. Aku lebih suka menjawab dengan, mana mungkin membandingkan, indah mana bunga melati atau bunga mawar. Jawabku, masing-masing mempunyai keindahan yang tidak bisa dibandingkan. Sama-sama indahnya dan sama-sama uniknya.

Dik Harunlah yang selama ini paling banyak membantu usaha peternakan ayam broiler bapak. Setiap minggu dia harus pulang dari Malang ke Nganjuk jadwal pulangnya dipenuhi dengan melakukan imunisasi pada ayam-ayam itu, memberi makan, memberikan obat-obatan. Dan ternyata, kerja dengan “nyawa” itu lebih banyak menyita waktu. Dik Harun cerita, malam jam 21.00 harus mengecek makanan-makanan yang mulai habis, selain makanan yang dilihat, juga minuman ayam, yang diantara jam-jam tertentu ditambah dengan vitamin untuk ayam, kadang selepas sholat malam bapak masih melihat ayam-ayamnya, selain memantau persediaan makanan, juga melihat kalau-kalau ada ayam yang sakit. Ternyata obatnya juga sama dengan manusia, kalau flu dikasih obat ultraflu atau decolgen, cuman dosisnya seperempat tablet untuk dua ayam. Untung saja waktu itu belum musim flu burung seperti sekarang.

Ketika aku sedang mencari dik Iqbal ini, usaha ayam sudah ditutup karena tidak menguntungkan, banyak ruginya. Kalau ibu menyebutnya banyak kerja baktinya.

……………………………………………..

Sudah dua bulan ini aku benar-benar tidak ada kontak dengan dik Iqbal. Dia sekarang entah berada di mana, aku benar-benar tidak tahu.

……………………………………………….

Hari sudah sangat siang. Matahari benar-benar ingin menunjukkan keperkasaannya. Benar-benar ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat berkuasa di puncak hari. Menyengat siapa saja yang terpapar bebas oleh paket-paket energi panas yang dia tebar di siang itu. Peluh setiap orang mengalir dengan deras, menetes, hingga berkali-kali diseka pun tetap saja ia merembes, seperti ada umbul sumber mata air yang menyembul dari permukaan kulit.

Aku dan dik Harun, dengan mengendarai mobil Mitsubishi L-100 atau orang biasa menyebutnya mobil trontong, karena suara mesinnya yang sejenis dengan itu berbunyi trun tung tung tung… padahal bunyi mobil kebanggaan keluarga kami itu tidak seperti itu tetapi ukuran mobil itu seukuran dengan mobil yang bunyi trun tung tung tung tadi, warnanya kuning menyala. Warna nyentrik favorit bapakku.

Dengan berbekal nota-nota yang belum lunas, tentu saja semua atas bantuan mas Praba orang kepercayaan dik Iqbal, juga aku dan dik Harun sudah mempunyai daftar para investor dan untungnya dik Iqbal sangat tertib dengan masalah administrasi perjanjian-perjanjian kerja sama itu. Yang membuat aku kagum atas dik Iqbal adalah, semua berkas-berkas perjanjian yang tertata rapi itu disusun sendiri oleh dik Iqbal.

Toko pertama yang aku masuki adalah toko elektronik Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang secara kredit, aku sangat terkejut, ternyata BPKB sepeda motor suami mbak Malika yang dijadikan agunan dik Iqbal. Darimana dan bagaimana cara dik Iqbal mendapatkannya yaa? Dari situ aku menarik kesimpulan, kalau ternyata dik Iqbal sering pergi ke Mojokerto tempat mbak Malika dan suaminya.

Habis dari toko elektronik Columbia, aku beranjak ke daerah Singosaren, dekat matahari departement store. Di sana juga ada toko elektronik yang memberikan pelayanan kredit. Kali ini aku dan dik Harun dibuat lebih terkejut lagi. Ternyata yang digunakan untuk agunan di toko elektronik itu adalah ijazah SMA dik Iqbal. Masya Allah dik Iqbal, luar biasa sekali perjuanganmu.

Terhitung ada tiga toko elektronik yang masih mempunyai piutang dengan dik Iqbal, dan kami menyelesaikannya, dengan sekali lagi meminjam uang dari rentenir, karena kalau meminjam di bank butuh waktu lama dan memakan proses

Acara belum berakhir…

Masih harus menghubungi dan bertemu langsung dengan delapan investor dik Iqbal, bernegosiasi tentang utang-utang dik Iqbal. Para investor itu tempat tinggalnya ada yang dari Boyolali, Sragen dan sebagian di Kartasura dan Kota Solo. Memberikan komitmen pengambil alihan utang kepada keluarga menunggu rumah laku dijual.

Ternyata lagi-lagi, kembali aku teringat kata-kata Barkah. Kalau sudah berhubungan dengan uang, orang kelihatan aslinya. Ada yang kasar sekali padahal sebelumnya kalau ketemu dengan aku orangnya ramah supel, dan kalau mau jujur, sebenarnya utangnya dik Iqbal sudah lunas, tapi dia ngotot mendapatkan jatah “return” 10 % per bulan, setelah aku lihat kembali catatan dik Iqbal lengkap dengan tanda tangan penerimaan uang “return” ternyata pertambahan uangnya sudah seratus persen lebih. “Dasar kapitalis amatiran dan murahan!” umpatku padanya dalam hati..

Ada yang sangat memrihatinkan aku. Teman satu kos dan sudah aku anggap sebagai saudara sendiri, ternyata setali tiga uang. Padahal mereka sudah tahu sendiri bagaimana kami mendapatkan dan mencari uang untuk menalangi utang-utang itu. Benar manusia itu mempunyai kecenderungan “hewan ekonomi” mengeruk keuntungan dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Aku katakan hewan, memang seperti hewan, hati nurani sudah hilang, tidak peka terhadap penderitaan orang lain yang sedang dilanda musibah yang melilit. Akhirnya apa mau dikata, aku menyadari, bahwa dik Iqbal, kami sekeluarga sudah terikat perjanjian, walaupun sangat mencekik, tetap harus ditepati. Biarlah besok di akhirat, Allah saja yang berhak menilai, menghukum dan memberikan ganjaran yang setimpal dengan niatan masing-masing orang.

Namun demikian ada satu orang, yang benar-benar mengerti kesulitan dan keprihatinan kami. Namanya mas Gendon, untuk invest dia harus menjual satu-satunya sepeda motor yang dia pakai. Dik Iqbal memang belum lunas, dan dia tidak lagi menuntut mendapatkan “return gila” itu, dia hanya menuntut yang penting dia bisa membeli sepeda motor yang dia jual. Itu saja titik. Dan dia masih memberikan tenggang waktu, untuk kami dalam pengembalian utang itu. Padahal saya tahu sendiri, dia juga dalam kesulitan keuangan. Orang tuanya memang kaya, tetapi paska meninggal bapaknya, keuangan keluarganya memang guncang, karena iming-iming “return” 10 % perbulan itulah, dia sampai mengorbankan sepeda motornya itu.

Ya Allah dari balik pahitnya peristiwa ini, ternyata Engkau tunjukkan kepada kami banyak kebenaranMu. Sehingga kami dapat belajar, untuk selalu mengikuti perintahMu. Memang sabar dalam taat kepadaMu, benar-benar membawa ketentraman, membawa kedamaian dan yang lebih penting adalah kebarokahan dalam setiap langkah hidup kita.

---------------------------------

Sementara masalah utang dianggap selesai dulu

Dalam dua hari ini aku dan dik Harun, telah melakukan negosiasi dengan hasil komitmen keluarga kami untuk melunasi utang-utang dik Iqbal setelah uang dari hasil penjualan rumah kami cair. Dan semuanya sudah mendapatkan kesepakatan secara tertulis. Hanya dengan si Jo saja aku masih belum puas, aku merasa ada hal yang disembunyikan oleh si Jo mengenai dik Iqbal…

Sekarang aku dan dik Harun sedang berusaha mencari dimana tempat persembunyian dik Iqbal. Ternyata mas Praba pun yang selama ini aku anggap tahu, kenyataannya memang benar-benar tidak tahu, dimana keberadaan dik Iqbal saat ini.

Hunting dari kos teman-teman dik Iqbal, mengantarkan aku dan dik Harun pada kesimpulan bahwa dik Iqbal masih berada di Solo.

Seperti ketika aku sedang berada di kos si Amar, dia bercerita..

“Wah susah dipastikan jam kedatangan Iqbal, setiap ke sini datang dengan wajah selalu ditutup helem cakil, pakai jaket hitam, dan tergesa-gesa” kata Amar yang kosnya dekat kampus ATMI karangasem.

“Apa yang dilakukan dik Iqbal di sini Mar? Tanyaku dengan melihat-lihat suasana kamar Amar. Dasar kamar lelaki. Jorok. Kulihat banyak tumpukan baju yang belum disetrika.

“Mencari barang bekas, entah itu koran, majalah bekas, atau apa saja yang kira-kira masih layak dijual.” Kata Amar, sambil merapikan kertas-kertas yang berserakan. Dan selintas di ujung meja sana aku lihat Kalpanax. Ternyata ini tidak hanya sekedar mitos, tetapi sekali lagi aku membuktikan kenyataan bahwa Kalpanax menduduki tempat yang terhormat sebagai merek paling kuat di kalangan mahasiswa kos.

“Jadi dik Iqbal selama ini menjadi pemulung?” tanyaku.

“Ya tepatnya seperti itu. Penampilan dik Iqbal sekarang berubah, legam, lusuh, tak terawat, dan bau seperti halnya pemulung. Dia sekarang memakai kalung dari karet hitam, dengan mata kuku bima. Serta memakai gelang karet, katanya sebagai bukti perasaan seperjuangan dengan temannya. Meski begitu, aku mengakui keuletan Iqbal. Semangat juangnya luar biasa. Yang membuat aku tersentuh adalah, saat dia memunguti pakaian-pakaian yang sudah tidak dipakai dan berserakan begitu saja di gudang kos teman-temanya. Iqbal memungutnya, memillah-milah mana yang masih bagus dia ambil, dia cuci dan dia seterika. Setelah diseterika, baju yang semula hampir saja jadi gombal, menjadi baju yang bagus. Oleh Iqbal baju itu dijual di pasar baju seken.” Kata Amar, kali ini pekerjaan merapikannya sudah hampir selesai.

“Kamu tidak pernah menanyakan pada Iqbal, dimana sekarang ini dia tinggal” kataku, kali ini aku mulai merasakan aroma pengharum ruangan yang baru saja disemprotkan Amar.

“Dia tidak mau mengatakannya padaku” kali ini Amar dalam posisi menghentikan semua aktivitasnya, dan benar-benar menatapku mendekat.

Aku pun mengimbangi mendekat, sambil menanyakan..

“Ada rahasia yang kamu ketahui mengenai hubungan dik Iqbal dengan si Jo?” kataku dalam posisi yang sangat dekat, sehingga dipastikan tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan kami.

“Yang aku tahu ya mas, Iqbal itu bersembunyi menghindari bertemu si Jo, tidak menghindari yang lain, aku yakin yang lain bisa diajak negosiasi dengan pikiran terbuka” Amar berkata dengan suara yang direndahkan.

“Hanya itu saja yang kamu ketahui, barangkali kamu tahu dimana Iqbal bersembunyi? Atau kamu mungkin tahu dimana tempat mangakalnya si Jo?” tanyaku kembali dengan suara yang hampir berbisik.

“Kalau dimana Iqbal bersembunyi aku tidak tahu pasti, apalagi kalau ditanya dimana tempat mangkal si Jo, seminggu yang lalu si Jo pernah ke sini, seisi kos ngeri melihatnya. Penuh tato lengannya, penampilan sangar kayak gitu. Terus, tiba-tiba handfonnya berbunyi. Dengar-dengar dari obrolannya, menyebut-nyebut.. dia disuruh ke kebun teh Ungaran.. segera”

“Itu saja yang kamu ketahui?”

“Tidak pernah dengar tempat yang sering disebut-sebut dik Iqbal? Coba kamu ingat-ingat sekali lagi”

“Mhmm… mungkin bisa membantu mas, Iqbal sering menyebut-nyebut dia punya sahabat pemulung dan pengamen, namanya Herman, sering pula menyebut arah barat” kata Amar dengan mimik wajah yang menunjukkan telah berpikir keras… seperti orang yang telah mengaduk-aduk pasir yang jumlahnya banyak hanya mencari butir-butir emas yang terpendam perbandingan 1 : 1.000.000!

“Pemulung. Herman. Ke arah barat. Itu saja kata kuncinya Mar?” tanyaku dengan memandang serius kedua mata Amar yang bulat-bulat bagian tengahnya yang hitam mengkilap dan jernih.

“Saya sudah mengaduk-aduk seluruh isi kepalaku mas, hanya itu saja yang ada” kata Amar sambil menatapku dengan menghaturkan sisa-sisa memori otaknya.

“Ya sudah Mar, makasih banget atas info-nya” kataku, aku menjabat tangan Amar dan berpamitan, sementara Harun aku tugaskan mengamati keadaan sekitar kos, siapa tahu nanti dik Iqbal mengendap-ngendap masuk ke dalam atau mungkin ada keadaan lain yang mencurigakan. Urusan selesai aku bergegas keluar, segera masuk ke dalam mobil mungil kuning nyentrik milik bapakku.

“Ayo dik Harun kita pergi ke Jebres!” kataku kepada dik Harun dengan tergesa-gesa

……………………….

“Kemana kita akan pergi mas?” Tanya dik Harun sambil menstarter dan memacu mobil..

“Kita ke belakang kampus UNS!” kataku dengan menatap cemas ke depan, sesekali waktu aku melihat spion agar dapat melihat belakang. Rasanya seperti dalam film saja, muncul rasa was-was kalau-kalau si Jo atau orang-orang suruhannya membututi aku dari belakang.

“Entah mengapa aku merasa ada yang aneh. Si Jo mengejar-ngejar Iqbal, Iqbal bersembunyi entah kemana, pada saat yang sama Iqbal harus mampu menyambung hidupnya. Dan kenapa aku sangat yakin kalau si Jo itu adalah orang suruhan. Beberpa kejadian yang membuatku berkesimpulan seperti itu, pertama bagaimana bisa si Jo bisa mengumpulkan uang demikian banyak, padahal dia sendiri tidak bisa mengendalikan keinginannya untuk foya-foya. Kedua, saat ronda aku melihat dia itu sebagai orang suruhan. Ketiga, dari cerita Amar, si Jo menyebut-nyebut kebun teh di Ungaran. Apa arti semua ini? Semuanya masih misteri buatku.” Kataku kepada Harun, seperti air sungai yang mengalir tanpa henti.

“Mengapa kita harus pergi ke belakang kampus UNS mas?” Tanya Harun penuh selidik.

“Ceritanya panjang, kamu terus melaju cepat saja, tapi hati-hati. Begini, di sana ada teman-teman aktivis LSM namanya KAPAS dan SEROJA. Kalau KAPAS mengurusi pengamen, sedangkan SEROJA mengurusi anak-anak jalanan dan perempuan jalanan. Mereka mempunyai data yang lengkap mengenai pengamen, domisili preman-preman, daerah operasi preman dan pengamen lengkap dengan kehidupan sehari-hari mereka.” Jelasku

“Lalu hubungannya dengan mas Iqbal?” Tanya Harun yang masih belum mengerti.

“Tadi Amar cerita kalau dik Iqbal itu selama menjadi pelarian, dia menjadi pemulung dan banyak berinteraksi dengan orang-orang jalanan. Tampaknya si Jo sudah bisa mulai mengendus gelagat itu. Makanya aku suruh kamu cepat mengendarai mobilnya. Kita sekarang berkejaran dengan waktu. Maksudnya berlomba dengan si Jo menemukan dik Iqbal. Aku berharap kita duluan yang menemukan. Kalau si Jo yang menemukan, aku yakin dik Iqbal dalam bahaya besar, dan kita bisa kehilangan dik Iqbal selama-lamanya.” Kataku

“Kehilangan mas Iqbal selama-lamanya?” Tanya Harun terkejut.

“Tampaknya dik Iqbal terlalu berambisi membesarkan bisnisnya. Akibatnya menghalalkan segala cara, menyewakan VCD bajakan, menyewakan VCD porno berarti bertentangan dengan hukum. Sementara si Jo, adalah bawahan yang menjalankan bisnis illegal juga yaitu judi dan aku yakin ditambah obat terlarang. Kesimpulanku karena ada bos yang di Ungaran. Aku yakin di Ungaran sana ada kebun ganja yang diselipkan di sela-sela tanaman teh yang jadi tanaman utama di sana. Dan pabrik penyulingannya aku yakin juga ada di sekitar pabrik teh. Sebuah permainan yang manis. Tetapi permainan yang manis harus ada pagarnya agar permainan itu tetap terjaga kemanisannya.”

“Berarti butuh oknum perwira atau pejabat atau siapalah yang punya kuasa untuk membekingi. Ungaran adalah tempat yang sangat strategis, disamping mempunyai iklim yang bagus, juga dekat dengan ibukota propinsi tempat pusat kekuasaan di wilayah propinsi.” Kata Harun

“Tepat sekali. Nah di sinilah titik temu keduanya. Iqbal ingin keamanan bisnisnya terjaga, dengan menggandeng si Jo berbisnis dengannya.”

“Maksudnya?” Tanya Harun.

“Dengan menanam hutang budi pada si Jo, dik Iqbal bermaksud ingin mendapatkan akses ke oknum perwira atau siapalah yang punya kuasa tadi.” Kataku

“Ternyata mas Iqbal usahanya bangkrut, sedangkan si Jo, di luar pengetahuan mas Iqbal, si Jo juga berusaha melibatkannya dengan tambahan bisnis obat-obatan terlarang, melihat jaringan konsumen Iqbal yang luas” dik Harun menimpali.

“Di luar dugaan si Jo pula, dik Iqbal menolak mentah-mentah berbisnis obat-obatan terlarang, dan Iqbal terlanjur tahu jaringan bisnis usaha bosnya dan para beking bisnis terlarang itu” kataku melengkapi kesimpulan Harun.

“Terus hubungannya kita sekarang ke kantor KAPAS dan SEROJA?” Tanya Harun yang masih penasaran.

“Tadi aku kan cerita kalau dik Iqbal sekarang jadi pelarian, tetapi harus bisa survive. Karena itu dik Iqbal memutuskan menjadi pemulung, dan nampaknya dik Iqbal telah menemukan sahabat sesama pemulung namanya Herman. Amar juga bercerita kalau dik Iqbal sering menunjuk-nunjuk arah barat ketika bercerita mengenai Herman. Jadi aku tadi menyimpulkan tiga kata kunci; pemulung dan pengamen, Herman ….. ke arah barat. Aku mau menanyakan itu kepada temanku yang bernama Widodo aktivis KAPAS dan SEROJA. Aku yakin dia bisa membantu, dia punya daftar nama orang-orang jalanan dan dimana dia banyak mangkalnya.” Kataku.

“Mas Karim kok tahu ada KAPAS dan SEROJA?” Tanya Harun.

Lha aku kan jadi tim medisnya mereka, kalau mereka baksos di komunitas itu, aku mesti jadi yang meriksa dan ngobatin. Iqbal tampaknya ingin meninggalkan jejak samar kepadaku kepada Amar, tidak menunjuk tempatnya tapi menunjuk arah Barat ketika bercerita tentang Herman sahabatnya selama dalam pelarian saat ini.” Jelasku.

“Eh…mas, tadi ketika mas Karim berada di dalam kamarnya mas Amar, aku melihat seorang pemuda, tegap, lengan kirinya bertato naga, naik sepeda motor GL Pro, sempat ngomong-ngomong dengan aku, sempat pula tubuhnya bersinggungan denganku, kemudian keluar lagi dengan tergesa-gesa beberapa saat sebelum mas Karim keluar.” Tiba-tiba Harun terlihat gugup dan cemas.

“Si Jo membuntuti kita?” virus cemas itu segera menyebar dengan cepat dan aku tertular juga.

Dik Harun, memacu mobil yang kami tumpangi dengan kecepatan tinggi, sedangkan aku pelan-pelan melihat kaca spion, mencari-cari apakah ada sosok si Jo yang diceritakan dik Harun yang membuntuti kami, sekali dua kali aku menengok ke belakang. Tidak ada gejala-gejala bayangan orang yang membuat aku berkesimpulan kalau itu adalah si Jo. Aku justru khawatir, si Jo sudah tahu duluan, karena dia setiap hari ada di jalanan.

“Pas jalan itu belok kiri” aku menunjuk pertigaan belakang kampus UNS menuju kampung sawah karang. Jalan menurun terjal.

“Sudah berhenti di sini, biar aku saja yang jalan, kamu melihat situasi” kataku sambil membuka pintu, dan segera aku menghambur keluar dengan berlari-lari kecil, menyusuri gang yang ada di sebelah kanan tempat mobil kami parkir.

………………………………………………

Setelah tiga blok, ada jalan belok kanan kantor sekretariat KAPAS dan SEROJA logo sederhana seukuran 40 cm × 50 cm KAPAS (Keluarga Pengamen Surakarta) dan Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (LPPAP) SEROJA. Aku masuk di rumah itu. Sebuah rumah kontrakan sederhana, sekaligus tempat kos mahasiswa. Ada empat kamar. Dengan ruang tamu ala kadarnya, dan banyak tumpukan gallon Cirio; air minum mineral. Ada salah seorang dari penghuni kos ini yang berbisnis distribusi air mineral Cirio tersebut.

“Assalamu’alaikum” kataku dengan suara yang agak tinggi.

“Wa’alaikum salam Warohmatullahi Wabarokatuh” suara itu muncul dari dalam rumah kontrakan sederhana.

“Mas Dodo! Aku butuh bantuan segera mas!” kataku dengan gerakan cepat menghambur masuk ke dalam kamar Widodo, ketua KAPAS

“Bantuan apa Rim?”

“Ini mas, mas Dodo tahu Herman? Kayaknya dia tinggal di barat mungkin di Banyudono”

Banyudono adalah nama kecamatan di Boyolali. Di sana ada daerah yang dibangun oleh departemen sosial, tempat tinggal penampungan gelandangan dan orang terlantar (PGOT). Semua yang disana tidak ada satupun yang asli penduduk sana, semuanya adalah pendatang, dan semuanya berprofesi sebagai tukang ngamen, pemulung, dan pengemis di jalan. Sebuah perumahan satu blok atau lebih tepatnya satu RT (rukun tetangga) Pertama kali aku masuk di sana, memang tidak terlintas suasana kumuh, bersih, rumah tipe 21, tetapi karena dekat sekali atau dapat dikatakan mepet dengan percabangan sungai yang telah melewati perumahan. Aroma tidak sedap samar-samar tercium, mengisi atmosfir pemukiman itu. Aliran sungai turun terjal tepat di belakang perumahan itu, sehingga suara-suara gerojogan air, merusak keheningan di malam hari, dan menjadi suara latar riuh rendah anak-anak yang bermain dan suara dentingan alat-alat dapur ibu yang memasak di siang hari.

Ketika bercakap-cakap langsung dengan mereka satu persatu, baru tampak bahwa mereka yang tinggal disana bukan tipe kebanyakan orang yang kita jumpai setiap hari di sekeliling kita.

Nama-nama mereka pun banyak yang tidak asli dan aneh, Genjik (anak babi) , Mentik, Muntu (Uleg-uleg = alat untuk menggiling sambel), Gareng, Gondes, Kampret, Klowor, Codot, Sotil…. sampai ada satu nama yang menurutku sangat aneh Tri Da Ko Can.

Wujud fisik apalagi, bentuk bentuk yang lazim. Aku baru tahu namanya tattoo letaknya di dahi, ya ketika bertemu dengan mereka. Tulisan tato di dahi pun juga tidak lazim “my ghost”. Jangan tanya masalah bau, jelas mereka itu bau. Sepertiga wanita adalah perokok. Masalah penyakit kulit sudah sangat lazim, gatal-gatal hampir dijumpai di setiap orang apalagi anak-anak. Kebiasaan minum minuman keras sudah menjadi ritual rutin harian, tetapi banyak pula yang sudah tobat tidak minum-minuman keras lagi. Pak Jimin, yang jadi pak RT, adalah mantan peminum berat. Parkinsonisme atau orang jawa bilang buyuten, tangan bergetar-getar atau gemetaran adalah jejak yang tak dapat dihilangkan bahwa dia pernah menjadi peminum berat.

Kalau aku dan teman-teman SEROJA atau KAPAS melakukan baksos, aku sangat berdisiplin tinggi dan memberikan pengawasan ekstra terhadap suntikan dan spuit. Aku tidak mau spuit itu disalahgunakan.

Di sektor-sektor lain daerah binaan SEROJA dan KAPAS seperti bantaran sungai, Nusukan, daerahnya kumuh, banyak becek-becek bau, lalat bukan menjadi barang yang asing, anjing-anjing berseliweran di sana-sini, ada salah seorang temanku yang sekarang sudah menjadi dokter, dokter Ahmad, memang dia tipe orang yang selalu menjaga kebersihan, setiap pulang dari daerah seperti itu, semua yang menempel di tubuhnya segera masuk tempat cucian.

“Herman? Sektor Banyudono? Untuk apa?” tanya Widodo sambil membalikkan badan membuka berkas-berkas dan menyalakan komputer.

“Ya, Herman. Sektor Banyudono. Aku sekarang sedang berlomba dengan si Jo, preman Pucang Sawit, untuk menemukan adikku Iqbal, makanya aku tergesa-gesa..” kataku

“Iqbal? Kayaknya kemarin disebut-sebut nama itu ” kata Widodo dengan mimik seperti memikirkan sesuatu.

“Iya, Iqbal itu adik kandungku” kataku penuh keheranan

“Iqbal itu adik kandungmu tho? Kayaknya yang membicarakan bukan hanya orang-orang yang berada di sektor Banyudono, tetapi juga sektor-sektor lain” kali ini sorot mata Widodo sedang berkonsentrasi penuh, memicingkan mata memelototi apa yang ada di monitor komputer. Melihat daftar warga binaan KAPAS dan SEROJA. Dari sektor Banyudono, kulihat sepintas ada 46 kepala keluarga, tetapi total anggota ada 114 orang. Wah luar biasa sekali, mereka punya data sampai detil seperti ini. Widodo sedang menye(s)can 114 orang ini, adakah salah satu dari mereka ada yang bernama Herman. Tampaknya Herman bukan anggota yang mempunyai ciri istimewa, terbukti Widodo tidak begitu ingat, dan harus memelototi monitor komputer dengan teliti.

“Mereka membicarakan Iqbal? Mengapa Iqbal dibicarakan?” tanyaku masih penasaran dengan apa yang diutarakan Widodo barusan.

“Biasanya yang ramai dibicarakan adalah orang baru yang masuk dalam komunitas atau bukan komunitas tersebut tetapi sering berinteraksi dengan komunitas, atau ada orang luar komunitas sedang sibuk mengobok-obok nama itu untuk dicari. Dan terakhir, biasanya karena orang itu membawa barang-barang terlarang untuk ditawarkan pada komunitas.” Jelas Widodo dengan mata yang tidak melirik kanan dan kiri.

Lha dik Iqbal sendiri termasuk kasus yang mana?” kataku sambil menahan gejolak kecemasan yang melanda pikiran dan hatiku.

“Aku sendiri, tidak tahu pasti Rim, tapi kata Imam, penanggung jawab sektor Banyudono, ada seseorang yang tengah getol mencari Iqbal di sana, tidak termasuk Herman yang kau sebut tadi” kata Widodo, kali ini dia tidak lagi memelototi monitor komputer, tetapi menatap penuh mataku.

“Berita mengenai Iqbal, baru aku terima tadi pagi saat rapat di sektor Nusukan, Bantaran sungai dan terminal. Juga ada berita yang mengkhawatirkan yaitu seseorang yang sama, juga mulai menawarkan bisnis serbuk putih dan aku yakin itu adalah serbuk sabu-sabu dan barusan aku mengutus Imam dengan mengatasnamakan KAPAS dan SEROJA untuk melaporkan temuan ini kepada kepolisian Surakarta. Mudah-mudahan mereka segara menyelesaikan kasus ini, aku tidak ingin komunitas yang aku bina rusak kembali gara-gara bisnis serbuk putih itu.” Lanjut Widodo, kali ini ia menatap monitor kembali, tetapi mencari di sektor-sektor lain.

“Iqbal tidak kamu temukan di sektor Banyudono?” tanyaku dengan harap-harap cemas.

“Data yang ada di komputer ini baru di upgrade 2 minggu yang lalu, insya Allah masih valid, namun sayangnya aku tidak menemukan dua nama itu Rim! Di sektor Banyudono, seperti yang kamu maksud tadi, sekarang aku mencoba mencari nama-nama di sektor-sektor yang lain.” Kata Widodo, jarinya asyik menye-croll mouse, sementara matanya menatap monitor dengan seksama.

“Terus ini, tadi kamu menyebut seseorang dengan dua aktivitas, pertama, mencari Iqbal. Kedua, sedang getol menawarkan bisnis serbuk putih, kamu tahu siapa dia? Apakah ia dikenal dengan nama si Jo?” tanyaku dengan penuh selidik.

“Sebentar, boleh aku tanya dulu. Kamu kenal dengan si Jo? Mengapa kamu bisa berkesimpulan kalau Si Jo itu pelakunya?” kali ini gantian Widodo yang bertanya dengan penuh selidik.

“Si Jo itu…menurut informasi yang ku dapat, akhir-akhir ini sibuk mencari dik Iqbal, semula aku menduga karena Si Jo berinvestasi di bisnisnya dik Iqbal, tetapi karena suatu hal, bisnis dik Iqbal bangkrut, sehingga banyak meninggalkan hutang yang banyak kepada para invesornya termasuk si Jo. Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, si Jo mencari dik Iqbal. Lebih dari itu, padahal kami sekeluarga sudah menyatakan bahwa utang dik Iqbal diambil alih oleh keluarga, kenyataannya tidak seperti investor lain yang sudah puas dengan komitmen keluarga kami, si Jo tetap getol mencari seperti orang penasaran berat. Tampaknya ada rahasia bisnis si Jo dan komplotannya yang banyak diketahui oleh dik Iqbal, dan menurut informasi yang aku terima, si Jo pernah menyebut-nyebut kata-kata bos dan kebun teh di Ungaran. Aku tidak berani menyimpulkan lebih lanjut hubungan-hubungan ini.” Jelasku kepada Widodo

“Kamu tadi nanya aku tentang si Jo, apakah ada kesamaan nama dengan yang kamu temukan? Nama aslinya Johan.” Aku balik menanyai Widodo.

“Ga sih. Hingga sekarang aku belum mendapatkan nama itu. Biasa di kalangan preman banyak sekali nama-nama alias, yang aku dengar sih menyebut nama Joi. Tapi aku tidak dapat memastikan apakah Joi ini sama dengan si Jo yang engkau maksud Rim.” Jawab Widodo, hanya sebentar menatapku, selanjutnya sebagian besar perhatian matanya tertuju pada monitor komputer yang ada di hadapannya.

Hening…..

…………………………………………

Tut tut tuuut tut tut tuuut.. ada pesan masuk nih.

Dari no 0815643xxxx

Sibuk nyari adik ya he he he istrimu beruntung .. tadi diselamatkan pak RT. Bangsat betul begundal RT mu. Aku hampir dikeroyok masa. Tetanggamu kurang ajar sekali.

……………………………………………


“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” jawab seisi orang yang ada di kontrakan KAPAS dan SEROJA.

“Lha ini Rim! Orang yang lebih detil tahu kondisi di lapangan. Kenalkan ini Imam” Widodo menghentikan sementara scrolling dan “scanning” komputernya, dan meletakkan cursor pembatasnya untuk menandai titik pencariannya di monitor.

“Aku Karim” kataku sambil menjabat erat tangan Imam.

“Saya Imam” katanya dengan membalas jabatan erat tanganku

………………………

Widodo sejenak menjelaskan mengapa aku datang saat ini, mengenai Iqbal dan Banyudono kepada Imam seperti yang telah aku jelaskan kepada Widodo tadi.

“Memang informasi yang aku dapatkan dari mas Tri Da ko can, dalam satu bulan terakhir di sana sedang heboh-hebohnya membicarakan Iqbal, termasuk juga Joi. Dan mas Tri Da Ko Can juga bercerita satu bulan yang lalu Iqbal pernah menginap di sana di rumah mas Tri Da Kocan. Kalau orang menginap di sana pasti aman, karena mas Tri Da Ko Can ini adalah kepala suku sana.” Jelas Imam kepadaku.

Lho apa kepala sukunya bukan pak Jimin yang buyuten itu?” tanyaku penuh keheranan.

“Kamu belum tahu Rim, ada dua pemimpin, pemimpin formal itu kalau ngurusin surat-surat thok, ya itu tadi pak Jimin pak RT. Tetapi ada pemimpin informal, kami lebih senang menyebutnya kepala suku. Lha itulah pemimpin yang sesungguhnya. Kepala suku ini sangat ganas, ibaratnya ngampleng[1] orang saja langsung bisa mati, dan sudah menjadi rahasia umum, yang namanya kepala suku itu adalah orang yang paling sangar, paling têgêl (tegaan), dan tentu saja yang paling kuat. Kalau dia memukul orang dapat dipastikan orangnya minimum bisa gegar otak atau sampai meninggal.” Jelas Imam.

“Sudah aku sekarang berburu dengan waktu, kamu tahu tidak saat ini di mana Iqbal berada? Aku mencemaskan keselamatannya. Si Jo, itu juga berusaha nguber-nguber dik Iqbal. Sekarang siapa yang cepat duluan mendapatkan Iqbal aku atau si Jo. Kalau si Jo yang menemukan duluan aku bakal kehilangan jejak dik Iqbal selamanya… entah dibunuh atau dirubah identitasnya sehingga menjadi sosok lain yang menjadi tentara bisnis komplotannya” desakku kepada Imam dan Widodo.

“Baiknya sekarang saya antar mencari mas Tri Da Ko Can mudah-mudahan ada jalan terang, kalau jam segini dia biasa mangkal di Pasar Klewer.” ajak Imam kepadaku sekaligus menawarkan bantuan.

“Ga pa pa mas? Ini menyita waktu mas Imam lho?” tanyaku

“Ga mas Karim, aku juga penasaran dengan kasus ini, dan menyelesaikan ini juga menyelesaikan komunitas yang menjadi binaanku mas Karim” kata Imam


……………………………………

-----------------------------

Aku, Widodo dan Imam melangkah keluar kontrakan, menuju mobil dimana dik Harun sudah di dalamnya.

“Gimana dik? Ada yang mencurigakan?” tanyaku kepada dik Harun

“Sejauh ini aman-aman saja” jawab dik Harun.

“Sekarang kita kemana mas?” tanya dik Harun

“Ke Pasar Klewer. Mau ketemu mas Tri Da Ko Can” jawabku

“Namanya lucu ya mas” dik Harun berkata dengan senyum-senyum geli, sambil menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobil.

“Jangan berkata begitu! Orangnya ini kepala suku di dunia per premanan. Kamu tahu kan kalau namanya kepala suku di dunia per premanan itu orangnya ganas dan tega membunuh.” kataku dengan muka serius.

“Kita ke jalan semula seperti tadi” kataku sambil menunjukkan arah jalan yang akan ditempuh.

“Kenapa kita harus ketemu beliau mas?” tanya Harun

“Iqbal dan Herman pernah menginap di rumahnya satu bulan yang lalu” kataku datar sambil melihat jalan dan sekali waktu melirik spion mengamati kalau-kalau ada mobil atau sepeda motor yang membuntuti.

“Pasar Klewer sebelah mana Mam? Tanyaku kepada Imam.

“Dekat bank BNI, kita nanti parkir di depan Bank BNI Pasar Klewer” jawab Imam

………………………………………………….

Adzan dhuhur berkumandang bersamaan dengan datangnya kami memasuki wilayah pasar Klewer. Mobil akhirnya diparkir di dekat Masjid Agung Surakarta. Sebuah bangunan tua yang para sastrawan menyebutnya sebagai saksi sejarah. Masjid ini telah bertahan mencapai angka seratus. Sudah berapa pemerintahan, sudah berapa ratus dan sudah berapa ribu rakyat yang mati atau terlantar sudah ia saksikan. Ia hanya diam membisu, sementara usia secara perlahan-lahan menggerogoti kekuatan bangunan yang menyokong kemegahannya. Masjid adalah hati umat. Seberapa ia masuk di hati, cerminnya adalah seberapa banyak orang yang hatinya tertaut di masjid.

Memasuki masjid yang kulihat banyak sosok-sosok tua yang sudah stand by paska adzan dhuhur tadi. Kaum muda tampak menjadi minoritas. Di mana sajakah mereka? Halah sudah sudah… sudah …… sekarang waktunya wudhu.. sebentar lagi Iqomat dikumandangkan.

……………………………………………………….

Alhamdulillah, sholat dhuhur sudah kami tunaikan, wajah cerah, pikiran jernih, hati menjadi tenang. Lumayan tadi yang sholat dhuhur hampir genap 1 shof.

“Kita jalan atau naik mobil menuju parkiran Bank BNI?” tanyaku pada saat yang sama aku lihat wajah Imam yang demikian cerah dan bersih terkena basuhan air wudhu.

“Jalan saja. Sudah dekat kok” jawab Imam

“Baiknya Harun ikut atau tetap di mobil mengawasi keadaan sekitar” tanyaku dan kuarahkan pandanganku dari Imam kemudian menuju Widodo dan akhirnya berhenti di wajah Harun.

“Baiknya ikut saja. Toh sekitar sini ramai sekali” kata Widodo.

“Ya sudah ayo kita come on menuju target sasaran” ajakku.

“Mobil sudah kamu kunci kan?” tanyaku kepada Harun.

“Sudah mas” jawab Harun

……………………………………………..

Udara pasar Klewer yang panas, pengap, ribuan manusia lalu lalang, berbagai macam aroma berhamburan dan bersliweran memperkenalkan dirinya kepada reseptor penghidu yang ada di hidung, untuk dikabarkan kepada otak lewat saraf oftalmikus, yang akhirnya bisa menyimpulkan jenis bau macam apa saja yang barusan lewat. Memang sebagian besar yang dijajakan adalah pakaian, tetapi aku melihat ventilasinya yang kurang baik, sehingga udara berputar-putar dan arah bergeraknya tidak dapat menimbulkan angin yang menyejukkan. Beberapa bagian tertentu terutama yang dekat dengan penjaja makanan baik ringan sampai berat.. saluran pembuangan yang tidak lancar membangkitkan uap-uap hasil proses pembusukan yang volatile…lagi-lagi menyampaikan pesan ke otak oftalmikus, dan menyimpulkan aroma yang tidak sedap.

“Sudah sampai ke markas mas Tri Da Ko Can” kata Imam sambil menunjuk sebuah tempat yang menjorok masuk dari gang sempit. Ruangan sempit dengan atap dari seng-seng campuran aluminium yang sudah karatan, dengan tiga meja yang disertai kursi-kursi layaknya ruang konsultasi dokter. Kulihat berkas-berkas kertas nota, kuitansi, buku-buku pembukuan berjajar-jajar di atas meja-meja itu.

Dari jauh aku melihat sosok laki-laki besar, kumis tebal, kulit yang membalut tubuhnya coklat legam dan tubuhnya penuh hiasan tattoo. Dua orang lelaki dengan bentuk-bentuk yang mirip-mirip mendatangi beliau dengan membawa uang yang tebal kebanyakan uang seribuan, tampaknya setoran parkir. Walaupun bentuknya seperti itu, ternyata dalam urusan administrasi mas Tri Da Ko Can sangat tertib. Habis setor, selalu dikasih kuitansi dan di stempel. “Manajemen keuangan perpakiran yang sempurna” kataku dalam hati.

Aku berkesimpulan tukang parkir karena yang menghadap mas Tri Da Ko Can adalah pria-pria yang walaupun bagian dalam dan celananya tidak seragam, tetapi selalu ditutup dengan baju berkerah yang berwarna orange. Dan yang memperkuat bukti tukang parkir, karena memawa segepok karcis parkir pasar klewer. Ketika menghadapi pria-pria itu, sorot mata mas Tri Da Ko Can menatap dengan tajam seperti mau menelan mentah-mentah orang yang ada di depannya.

Sayup-sayup aku rasakan perasaan takut pelan-pelan mulai merasuki batinku, tapi segera hilang, ketika kehadiran kami masuk dalam catch pandangan mas Tri Da Ko Can.

Mas Tri Da Ko Can adalah salah satu contoh binaan KAPAS dan SEROJA yang berhasil, bahkan kata Widodo, dengar-dengar sudah berencana membeli tanah di sekitar Banyudono. Dia mendapatkan wilayah parkir yang luas di Pasar Klewer, selain karena takdir rizqi dari yang Maha Memberi Rizqi, juga berkat perjuangan rekan-rekan KAPAS dan SEROJA menggandeng anggota Dewan pak Fajar untuk melobi ke Pemkot Surakarta.

Anak-anak buahnya yang semula banyak di jalan, entah itu ngamen, atau ngemis, atau mabuk-mabukan, jadi tambang judi, bahkan ada yang jadi copet, seringkali jadi sasaran penggarukan polisi, kali ini dia sulap menjadi “pegawai parkirnya”.

Perjuangan anak-anak KAPAS dan SEROJA tidak hanya sampai di sini saja. Dulu ketika mas Tri Da Ko Can masih belum tobat, istrinya hamil tua dan sudah tiba saatnya melahirkan. Istrinya sendirian, sedangkan mas Tri tidak tahu di mana rimbanya. Akhirnya anak-anak KAPAS dan SEROJA turun tangan. Sebagian membantu persiapan berangkat ke rumah sakit, sebagian mencari kendaraan, sebagian bersiap-siap merawat anak yang barusan dilahirkan. Akhirnya bisa melahirkan selamat di RSUD Dr. Moewardi bingung? Siapa yang membayar biaya persalinan? Akhirnya bermodal ngotot, tidak bisa tembus karena pasien tidak punya KTP, sehingga tidak bisa mengurus kartu sehat, akhirnya nelfon pak Fajar anggota Dewan dan akhirnya biaya perawatan bisa ditanggung oleh Pemkot. Permasalahan belum berhenti di sini, setelah keluar rumah sakit, si ibu kembali menjadi preman. Jadi anak yang barusan dilahirkan, tidak ada yang ngurusin. Jadilah Widodo selama tiga bulan sebagai “ibu” bayi. “Meyusui”, menggantikan popok bila pipis atau ee’, memandikan dan men-dede-kan kalau pagi. Kalau Widodo kuliah, bayi itu dititipkan ke tetangga kontrakan. Dan untunglah ada saudara mas Tri akhirnya yang sadar dan mau merawat bayi itu hingga sekarang. Bagi Widodo, pengalaman itu adalah latihan jadi orang tua sebelum menjadi orang tua sesungguhnya. Aku melihat teman-teman di KAPAS dan SEROJA sangat tulus dan all out melakukan segalanya untuk binaan mereka. Padahal kalau mau tahu, mereka ini mahasiswa, masih belajar, juga bekerja paruh waktu mencari penghasilan, bahkan ada yang sudah benar-benar mandiri secara keuangan tidak meminta uang ke orang tuanya, tetapi meluangkan waktu untuk mengurusi kalau orang Dep-Sos menyebut “Gelandangan dan Orang Terlantar plus Orang Pinggiran”. Nyaris tidak ada donatur. Donatur yang ada adalah bersifat musiman seperti bila ada bakti sosial, pakaian pantas pakai, pengobatan gratis, pemberian sembako dan saat-saat peringatan hari besar Islam saja, semua adalah tenaga yang diabdikan secara sukarela tanpa mengharap imbalan materi, tujuan mereka hanya mencari ridlo Allah semata. Kayak klise ya... itulah kenyataan yang terjadi.

………………………………………………………..

“Assalamu’alaikum! Mas Imam! mas Widodo!” subhanallah wajah dengan sorot mata menatap tajam, tiba-tiba berubah lembut dan ramah, seperti pertemuan dua sahabat dekat yang lama tidak bertemu.

Wa’alaikum salam warohmatullahu wabarokatuh” kami menjawab serentak.. Widodo, Imam bergantian menjabat tangan mas Tri dengan erat dan berpelukan.

“Mas Dodo kok lama ga kelihatan? Kalau mas Imam mesti seminggu sekali ke sini, kalau ga ketemuan di Banyudono” tanya mas Tri

“Karena itulah Mas Tri, aku ke sini. Ha ha ha” jawab Widodo dan diiringi gelak tawa mereka bertiga, sedangkan aku dan Harun hanya tersenyum, berusaha mengimbangi interaksi psikologis yang mengalir diantara mereka bertiga.

“Hmmh... Ini siapa mas Imam?” tanya mas Tri dengan sorot mata ramah menatapku dan Harun.

“Sebentar, jangan di jawab dulu…. Mhmmm… kayaknya ada wajah yang barusan aku kenal dan ada kemiripan dengan mas-mas berdua ini, siapa ya….?”

……………………..hening sesaat…….

“I Q B A L! Yaa.aa…. Iqbal… kalian apanya Iqbal?” tiba-tiba suara mas Tri memecah suasana, aku dan dik Harun dibuat terkejut dengan kejadian ini. Sama sekali tidak menyangka akhirnya Iqbal masuk memori dari sosok yang kini aku hadapi.

“Saya Karim, kakak kandung Iqbal, sedangkan ini....Harun, adik kandung Iqbal” jawabku

“Kalian benar-benar keluarga yang hebat! Aku banyak belajar dari Iqbal, terutama semangat juang dan daya tahan bantingnya, luar biasa! Termasuk keluarga kalian. Luar biasa! Aku sangat berharap, agar anak-anakku bisa mempunyai semangat hidup seperti yang ditunjukkan oleh keluarga kalian.. satu per satu…” kata mas Tri. Benar-benar di luar dugaanku, sosok yang demikian sangar penampilan fisiknya kini menjadi sosok yang lain, aku merasakan wisdom yang mendalam. Aku jadi ingat pendapat pakar yang mengatakan bahwa orang miskin itu bukan karena ia tidak memiliki sesuatu, tetapi karena mereka tidak melakukan sesuatu. Mungkin sudah melakukan sesuatu tetapi bukan melakukan sesuatu secara tepat. Sudah berusaha tetapi merasa bahwa usahanya itu adalah satu-satunya jalan menyelesaikan masalah hidup.

Banyak diantara teman-teman mas Tri merasa bahwa dunia itu hanya dunia yang mereka alami saja. Padahal, di luar sana, banyak dunia-dunia lain yang bisa membawa hidup mereka ke arah yang lebih baik, lebih tenang, lebih bersahabat dan lebih damai. Inilah tugas rekan-rekan di KAPAS dan SEROJA, mengarahkan mereka untuk menuju dunia-dunia lain yang jauh lebih baik bagi masa depan mereka dan anak-anak mereka.

“Ah mas Tri, ini bisa-bisa saja, bapak saya cuman mengajarkan bahwa manusia itu tunduk pada hukum kebiasaan, kalau kita rajin berlatih, rajin belajar dari kehidupan kita, maka tinggal menunggu pasang baik kehidupan saja kok mas. Ketika pasang baik dan keberuntungan kehidupan itu sudah ada di depan kita, maka kita sudah terampil sekali memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya kebaikan yang bisa kita lakukan dan kita peroleh.” jawabku.

“O.. ya mas Tri, langsung ke pokok permasalahan, kami ke sini mewakili keluarga adalah untuk misi menemukan Iqbal dan membawa Iqbal agar bisa pulang dulu ke Nganjuk, saya berharap mas Tri bisa membantu kami..” ujarku

“Satu bulan yang lalu aku memang bertemu dan bahkan Iqbal bersama temannya Herman pernah menginap di rumahku di Banyudono sana, memang sempat ngomong panjang lebar dengan mereka berdua” kata mas Tri.

“Intinya gimana mas? Tanyaku

“Menurut yang diceritakan Iqbal, intinya Iqbal sekarang dalam posisi buronannya si Jo dan komplotannya. Ada bos besar di balik komplotan si Jo. Dan si Jo hanya pion saja. Iqbal banyak mengetahui rahasia-rahasia komplotan itu, termasuk bisnis gelapnya di bidang serbuk sabu-sabu dan Iqbal sudah bisa menyebut pasti di mana lokasi pabrik penyulingannya itu berkamuflase dengan pabrik di perkebunan teh di Ungaran. Ini semua dia dapatkan karena terlalu seringnya berinteraksi dengan si Jo. Apalagi kalau si Jo sering mabuk. Banyak rahasia perusahaan yang bocor dari mulut si Jo.” jelas mas Tri

“Terus si Jo tahu kalau dik Iqbal banyak mengetahui rahasia komplotannya. Kan rahasia itu biasanya hanya luarnya, tidak sampai mendalam. Lalu mengapa si Jo harus repot-repot nguber-nguber dik Iqbal?” tanyaku kepada mas Tri.

“Tidak sesederhana itu, bos komplotan mulai mengendus kesalahan si Jo, dia menganggap Iqbal sudah kelewat dekat untuk urusan bisnis pribadi si Jo dengan Iqbal. Buktinya ketika bosnya itu sedang mencari si Jo, dia mendapati si Jo tidur hingga kesiangan di kosnya Iqbal. Sekali waktu pula pernah bosnya mendapati si Jo dalam keadaan mabuk di Pucang sawit yang menolong adalah Iqbal, dan pada saat yang sama si Jo ngomel-ngomel masalah rahasia komplotannya. Tampaknya si Jo mendapat peringatan keras dari bosnya dengan tidak mendapatkan kiriman uang selama dua bulan terakhir. Hingga suatu ketika dalam seminggu lebih si Jo absen hingga kamu dan Harun menemuinya untuk sebuah komitmen melunasi utang-utang Iqbal kepada si Jo. Kehadiran kamu dan Harun lah yang menjadi penghalang si Jo untuk melaksanakan misi bosnya untuk menangkap Iqbal hidup-hidup untuk diserahkan ke bosnya yang tinggal jadi satu di kebun teh “kamuflase”nya di Ungaran. Bahkan Iqbal mengatakan, pernah mendengar secara sembunyi-sembunyi, saat si Jo menerima telefon, si Jo mendapatkan perintah dari bosnya untuk membunuh Iqbal, tetapi tampaknya menangkap Iqbal hidup-hidup lebih mendapakan bonus uang yang jauh lebih besar sampai 200 juta rupiah.” Jelas mas Tri.

Lho apa sebelumnya mereka tidak saling mengetahui bahwa masing-masing sama-sama mempunyai rahasia bisnis gelapnya? Sehingga sama-sama mendapatkan backingan dari oknum aparat yang sama?” tanyaku

Ternyata ruangan itu terhubung dengan ruangan yang lebih luas, aku baru tahu ketika ada istrinya yang barusan keluar dari pintu yang sepintas lalu seperti kayu tua, membawa minuman dan makan siang. Ketika pintu sedikit tersingkap tampak ruangan-ruangan yang dipisahkan oleh sekat-sekat dari tripleks tebal. Kemudian mempersilakan kami minum dan makan siang sekalian.

“Awalnya Iqbal menyangka demikian, tetapi dengan berjalannya waktu, sejalan dengan seringnya si Jo mabuk dan ketika ditanya lepas kontrol, sehingga tidak ada rahasia yang tertutupi. Akibatnya Iqbal jadi tahu bos besarnya itu mempunyi jalur-jalur perlindungan khusus dengan oknum perwira yang menjabat di Semarang sana. Ya bos si Jo salah memilih orang yang dipercaya menjaga banyak rahasia. Dia tidak mau para nama baik oknum perwira itu tercoreng karena Iqbal buka mulut dimana-mana. Untuk keamanan pribadinya dan usahanya, ia memerintahkan si Jo menangkap Iqbal hidup-hidup agar bisa mengancam dan menginterogasi, berbahaya tidaknya Iqbal bagi kelangsungan bisnisnya. Jauh lebih aman lagi kalau mereka membunuh Iqbal dengan cara yang tidak terdeteksi aparat.” Jelas mas Tri sekali lagi.

“Eh makan siang sudah komplit, mari kita makan yuk” mas Tri mempersilakan kami makan. Aku duduk dekat dengan mas Tri, sementara Widodo, Imam dan dik Harun duduk melingkar berhadapan dengan kami. Makan siang tanpa meja, makan disangga dengan tangan kiri kami, minuman di taruh di kursi-kursi yang di taruh di tengah.

“Berdoa dulu lho” mas Tri mengingatkan

“Ya mas” jawab kami serentak.

………………………………………………………

“Sekarang dimana Iqbal bersembunyi mas?” tanyaku dengan posisi badan yang lebih dekat lagi dengan mas Tri. Tampak jelas gigi-gigi mas Tri yang higienenya buruk, banyak karang gigi hitam-hitam seperti barisan karang kehitaman tapi hanya di bagian bawah dan itupun masih bersalut lapisan seperti mentega yang kecoklatan…sisa-sisa makanan yang jarang sekali tersapu oleh sikat gigi dan pasta giginya. Dan sekarang ditambah pecahan-pecahan makanan yang barusan selesai dikunyahnya. Dan jangan ditanya bagaimana aromanya, kalau sekarang mungkin belum terasa karena masih segar dan diguncang-guncang air yang dikumur-kumur sebelum ditelan. Tapi kalau sudah beberapa jam dicoba sendiri deh.

“Kemarin sore Iqbal ke sini sendirian naik sepeda motor, seperti biasa penampilannya selalu tertutup, helm cakil tidak pernah lepas, setelah dirasa aman barulah ia melepas helm cakil dan masuk ke dalam ruang kerjaku ini.” Jawab mas Tri

“Terus..?” sahutku

“Dia terburu-buru. Cuman memberi tahu, kalau dia dibuntuti oleh si Jo, meminta perlindunganku, dan dia bersembunyi di sini. Beberapa saat kemudian si Jo datang. aku tantang dia, dan dia lari terbirit-birit keluar..” Jawab mas Tri

“Trus…?”

“Iqbal bermalam di sini sampai malam, setelah sholat subuh pagi tadi, dia berpamitan, mengendap-endap lewat pintu belakang… terus ngacir.. katanya mau ke Banyudono” jawab mas Tri

“Sekarang?” tanyaku dan Harun bersamaan.

“Ya itulah yang aku sayangkan, mengapa aku tidak menahannya di sini. Seandainya tahu kalau saudara kandungnya ke sini mau menjemputnya” kata mas Tri yang mulai mengendur nada suaranya.

“Maafkan aku Karim … Harun, aku tidak bisa membantu lebih…” mas Tri melanjutkan lagi.

Mhmmm… makasih mas, mungkin Iqbal pernah menyebutkan dimana sarang komplotan itu dengan detail” tanyaku

“Dia pernah menyebut, dengan pemandian air panas Gonoharjo berbatasan dengan kabupaten Kendal, itu saja yang aku tahu Rim”

“OK mas Tri trima kasih atas segalanya, informasinya, makan siangnya, tak coba nyari di Banyudono, saya kira begitu saja. Saya harus mencari dik Iqbal, sekalian pamitan” kataku

“OK mas! Silakan. Terima kasih atas kunjungannya, nanti kalau Iqbal sudah kembali beritahu saya ya. Sering main-main sini ya mas Karim, mas Harun…” kata mas Tri..

“Ya Insya Allah” kataku serempak dengan dik Harun.

…………………………………………………….

Kami berempat bergegas menuju Banyudono daerah luar kota Solo ke barat arah menuju Semarang.

………………………………………………………

Tut tut tuuuut tut tut tuuuuut tut tut tuuuuuut

Dari no 0815643xxxx nama yang muncul “TERORIS”

Ga ketemu ya coba dicari di Banyudono nanti ada petunjukku

……………………………………………………………………

“Tampaknya kita diawasi” kataku kepada Imam, Widodo dan dik Harun

“Tahunya?” serempak semuanya

“Dua hari ini aku dapat sms dari nomor yang sama dan aku simpan dengan nama ‘TERORIS’ dia juga mulai mengganggu istriku, aku barusan cross check ke istriku

Memang mendapat terror, untung pak RT sedang lewat, bersama bapak-bapak yang lain, sehingga bisa digagalkan rencana mereka. Aku belum tahu siapa yang mengirimkan pesan itu.” kataku sambil aku edarkan handfon-ku kepada dik Harun, Imam dan Widodo. Mereka semua membaca satu persatu.

“Tapi mas Tri, tidak mendua kan?” tanyaku ragu

“Insya Allah tidak! Aku yakin betul, dia sudah menjadi binaan kita bertahun-tahun dan nyata betul perbaikan nasibnya dan dia aktif ngaji dan rutin. Di hampir setiap pertemuan, selalu membawa orang baru. Setiap orang, teman premannya dulu, dia dakwahi, dan dia ajak ngaji bersama anggota KAPAS dan SEROJA yang lain” jelas Imam

“Perjalanan kita tampaknya sudah dirancang oleh si teroris itu” kataku

“Ya sudahlah, Sekarang kita ke Banyudono, menemukan petunjuk sesuai sms itu” kata Widodo mantap.

Mobil terus melaju menuju Banyudono…..

………………………………………………….

Perumahan penampungan gelandangan dan orang terlantar itu, terletak di sebelah utara jalan raya sebelum perempatan yang menuju pemandian umbul Pengging, kemudian melewati beberapa belokan,masuk desa, di bawah pohon besar. Dan… di sanalah kampung itu. Sebenarnya satu RT, tetapi dalam perkembangan selanjutnya menarik para orang pinggiran lain untuk bermukim di sana. Jadilah membengkak lebih dari satu RW.

Imam dan Widodo lebih dulu turun di perumahan itu dengan cekatan, mereka berdua sudah demikian akrab dengan seluruh warga yang berada di sana. Aku dan dik Harun mengikutinya di belakang dan akhirnya menuju ke rumah yang paling pojok, bertemu dengan pak Sutiman, tapi oleh warga setempat dia dipanggil dengan parapan Sotil… Walopun demikian para aktivis KAPAS dan SEROJA tetap memanggil dengan nama asli, sekaligus mendidik menghormati orang lain.

Assalamu’alaikum!” kata Iman dan Widodo bersamaan.

Wa’alaikum salam Warohmatullahi Wabarokatuh” jawab orang yang ada di rumah. Sesosok laki-laki seumuran 40 tahun keluar. Berambut gondrong, yang sebagian rambutnya mulai memutih, berkumis, bertato di lengan dengan gambar kelelawar, konon sebagai tanda bahwa dia itu banyak aktivitasnya di waktu malam. Pekerjaan pokoknya ngamen di kota barat. Di sana banyak sekali warung makan, mulai yang sederhana sampai yang jualan semacam Buerger. Kesempatan yang baik bagi pak Sutiman untuk ngamen. Akhir-akhir ini aktivitas ngamen sudah mulai berkurang karena dilatih oleh bagian kesenian KAPAS dan SEROJA menjadi tim NASYID dan tim NASYIDnya bernama NASYID NASUHA, sudah sering dipakai pada pesta-pesta pernikahan dan khitanan atau peringatan hari-hari besar Islam, berbagai ormas Islam di Surakarta.

“Eh…mas Imam, mas Widodo… silakan masuk mas” kata pak Sutiman menyilahkan kami.

“Nggih pak” jawab kami serentak.

“Sebentar, jangan diberitahu dulu, mas berdua ini pasti...kakak atau adiknya IQBAL, benar kan?” kata pak Sutiman

“Kok bisa langsung menebak tho pak?” tanyaku penasaran

“Ya jelas bisa, wajahnya sangat mirip dan kemarin barusan dia ke sini” kata pak Sutiman.

“Kemarin barusan ke sini? Terus sekarang dimana pak?” tanyaku dengan harap-harap cemas.

“Iya… itulah yang kami sesalkan, maafkan kami tidak dapat melindungi Iqbal. Satu jam yang lalu serombongan orang dalam satu mobil keluar menggerebek rumah kami satu persatu dan mereka berhasil menemukan dan menangkap Iqbal dan kami tidak tahu mereka pergi entah kemana..” kata pak Sutiman dengan penuh penyesalan.

“Maafkan kami semua tidak bisa memberikan perlindungan, kepada Iqbal. Mereka menakut-nakuti kami dengan memberikan tembakan peringatan” pak Sutiman mengulangi sekali lagi penyesalannya.

Ga pa pa pak… lha wong sudah terjadi mau diapain, sekarang kita mikir bagaimana penyelesaiannya” kataku menghibur, walaupun di hati ini penuh dengan rasa was-was dan cemas mengenai kondisi dik Iqbal.

“Kira-kira mereka pergi ke arah mana pak? Atau mungkin sempat terdengar kata-kata tertentu yang bisa jadi petunjuk buat kita pak?” kata Widodo.

“Tidak..mmhmmm mungkin ini bisa membantu, nomor polisi kendaraannya H 1897 PS, kendaraannya Toyota kijang LGX, warnanya merah anggur.” Kata pak Sutiman.

“Ya sudah pak Sutiman, kita tidak ada waktu, kita langsung menuju ‘Kebun Teh’ seperti yang dikatakan Amar temannya Iqbal” kata Widodo.

---------------------------------

Perjalanan sudah mencapai Salatiga, dan lagi-lagi ada sms

Tut tut tuuuut tut tut tuuuuut tut tut tuuuuuut

Dari no 0815643xxxx nama yang muncul “TERORIS”

……………………………………

Dan ingat ya..istrimu sudah tak terhitung berhubungan intim denganku sudah TIGA TAHUN!!! Selamat ya dapat barang seken….. Aisyah ga cerita?

………………………………….

Sialan banget TERORIS ini! Keadaan sedang kalut begini, malah menambah masalah. Bisa-bisanya menyebut dengan jelas nama Aisyah, yang benar-benar menjadi istriku. Siapa gerangan teroris ini? Jangan-jangan dia kenal dekat dengan aku? Jangan-jangan aku pernah kenal dekat dengan orang ini? Persetan dengannya.

Untuk sms terakhir tidak aku ceritakan pada semuanya, hanya aku saja yang membaca. Dan handfon aku masukkan kembali ke saku.

Alhamdulillah segera tiba waktu sholat ashar, ada kesempatan menenangkan hati.

Adzan Ashar mulai berkumandang, kami sudah memasuki daerah Salatiga, berhenti sholat Ashar di masjid kota, perjalanan terus berlanjut hingga menjelang maghrib, dan sampai di Ungaran tepat adzan Maghrib. Isi bensin dan makan malam serta sholat Maghrib sekaligus di jama’ Isya di Ungaran, sekaligus, tanya-tanya mengenai rute perjalanan menuju kebun teh dekat pemandian air panas Gono Harjo tepatnya di desa Limut Kec Boja Kabupaten Kendal, masya Allah ternyata sudah memasuki Kabupaten Kendal.

“Kamu istirahat-istirahat dulu dik Harun biar aku, dengan Imam dan Widodo yang membeli perbekalan untuk nanti kalau-kalau kita harus jalan kaki menyusuri jalan setapak..” kataku kepada dik Harun

Beberapa saat kemudian aku, Imam dan Widodo berangkat ke toko-toko yang ada membeli makanan roti, lampu battery, perlengkapan mandi, aqua, jas hujan. Pada saat yang sama semua battery handfon di-charge di masjid dekat alun-alun Ungaran. Setengah jam berlalu dan kami bertiga kembali ke masjid.

“Mana Harun? Handfon dan chargernya masih terpasang” tanyaku semakin menambah cemas…

Imam mengambil handfon dan chargernya serta membagi ke masing-masing pemilik, kemudian kami bertiga menuju mobil..

Kosong? Tidak ada orang?

“Kita lapor polisi saja” kataku

“Kalau lapor malah repot, kelamaan, harus mencatat kejadian, nungguin orang ngetik. Belum lagi kalau dicurigai, dan kita harus cerita panjang lebar dulu..” kata Imam

“Kita harus tenang” kata Imam lagi.

“Kita berpencar!” kata Widodo

“Karim kamu mencari ke arah depan mobil, Imam kamu mencari sebelah kanan mobil, sedangkan aku mencari di sebelah kiri dan belakang mobil…” kata Widodo seperti komandan yang mengatur strategi perang kepada prajuritnya..

“Kita berkumpul kembali di sini setengah jam lagi” lanjut Widodo.

……………………………………………….

Walaupun di sekitar kami sangat ramai karena dekat alun-alun, tetapi kami bertiga sangat tegang, khawatir tentang keselamatan Iqbal, keselamatan Harun, dan juga keselamatan diri ini masing-masing, kalau-kalau disergap dari belakang…

………………………………………………..

Tiba-tiba semuanya gelap, Aku dibekap dari belakang. Kepalaku tertutup kain. Aku tidak tahu apa warnanya, semakin aku berontak, tangan-tangan itu semakin kencang dan tali-tali itu semakin sakit mencengkeram pergelangan tangan dan kakiku. Kemudian aku diangkut rame-rame kelihatanya tiga orang.. ..

Yang aku rasakan adalah semakin lama semakin dingin udara yang menyapa kulitku. Apakah aku akan dibawa ke kebun teh itu, atau.....mau dibawa pergi kemana aku ini, aku tidak tahu.

Siapa yang menculikku dalam keadaan seperti ini.

Pikiranku makin kalut tidak menentu, pertama Iqbal diculik, Aisyah di terror, kemudian Harun diculik, kini giliran aku. Apakah aku diculik oleh orang yang sama yang menculik Iqbal ataupun Harun. Apakah sama pula dengan orang yang meneror Aisyah. Apakah yang menculik ini ada hubungannya dengan bos besarnya si Jo. Bagaimana keadaan Aisyah? Maafkan aku Aisyah. Aku ikut membawamu dalam persoalan besar keluargaku. Maafkan aku tadi seharusnya menengokmu dulu di rumah baru berangkat ke Ungaran. Akhirnya yang bisa aku lakukan adalah pasrah, memohon pertolongan dan keajaiban yang Allah turunkan kepada kami.

“Ah .. masya Allah.. sakit”

Tubuhku yang terikat tali. Tampaknya aku dinaikkan di atas truk terbuka. Aku bisa berkesimpulan seperti itu karena pertama, aku mendengar suara mesin disel, kedua karena desiran angin menerpa tubuhku lumayan kencang, dingin angin pegunungan mulai merasuk sela-sela lubang jaket yang aku kenakan, aku didudukkan di dasar bak truk bersama siapa aku tidak tahu. Aku hanya merasa berguncang-guncang, bergeser hebat ke kanan dan ke kiri, bila truk ini belok ke kanan atau ke kiri. Pinggang dan bahuku membentur benda keras kayaknya tumpukan kayu-kayu.

“Ah.. astaghfirullah”

Aku merasakan tendangan mengenai pahaku…

“Bisa duduk santai tidak!” suara orang laki-laki

Ternyata sebagian kakiku mengenai kaki orang laki-laki ini. Aku kini ternyata menjadi tawanan. Aku jadi bisa merasakan begini tho rasanya menjadi tawanan. Tidak menentu. Siap-siap menderita sakit karena siksaan, yang tidak tahu apa wujudnya. Penuh ketidak pastian. Aku hanya bisa berharap. Hanya bisa berharap semoga Allah selalu menguatkan hatiku dan fisikku terhadap tekanan-tekanan ini. Aku bersyukur, untungnya tadi sholat Isya dijamak sekalian, sehingga aku tinggal menikmati saja malam terpanjang yang akan kulalui dan tidak aku ketahui bagaimana akan berakhirnya….

“Auu! Ya Allah sakitnya”

Kembali tendangan itu membentur pahaku sebelah kiri, tampaknya truk yang aku tumpangi membelok tikungan tajam, sehingga menggeser tubuhku mengenai lagi-lagi kaki siapa aku tidak tahu dan yang mempunyai kaki marah dan mewujudkan marahnya dengan menendangku dan..

“Bisa duduk tenang tidak! Dasar tikus!” umpat orang yang tak sengaja kena geseran kakiku, akibat tangan dan kakiku diikat kepala ditutupi kain, duduk bersandar bak truk terbuka.

Tiba-tiba truk kembali membelok dalam tikungan tajam, aku berusaha mempertahankan posisiku agar tidak menyentuh atau tidak sengaja bergeser menyentuh, takut kena tendangan lagi, orang-orang di sini sangat sensitive atau mungkin, sedapat mungkin menyiksa aku agar aku segera tele tele atau aku tidak tahu. Dan.....

“Aahhh …ya Allah” suara laki-laki yang aku kenal itu, yah suara dik Harun. Masya Allah sama dengan nasibku, dalam satu kendaraan, sebagai tawanan. Beberapa saat kemudian...

“Dasar kaki busuk ga tahu aturan!” suara laki-laki lain yang asing tidak kukenal.

Peristiwa-peristiwa ini membuatku semakin hati-hati dan berusaha mempertahankan posisi kaki agar tidak bergeser sedikit pun, walaupun kadang satu dua kali meleset dan hadiahnya tendangan sepatu itu menusuk kulit paha kaki kanan dan kiri bergantian. Aku yakin dik Harun pun berusaha melakukan hal yang sama. Sepertinya ada komunikasi diantara aku dan dik Harun untuk tidak saling memanggil walaupun sebenarnya sudah saling mengenal suara kami masing-masing. Takutnya dalam keadaan seperti ini kalau saling kenal maka selanjutnya akan dipisah di ruang yang berbeda nanti di tempat tujuan..

…………………………………………………..

Kendaraan berhenti…

Kedua tanganku dalam keadaan terikat tali direnggut kasar, dan aku dipaksa turun, meloncat dari bak truk yang tinggi, padahal kakiku juga diikat.

“Bismillah”

“Ahhh… ya Allah” alhamdulillah masih beruntung tidak terkilir masih bisa jalan tegak. Kalau keadaan dipaksa semua jadi bisa ya mungkin. Kali ini kembali kedua tanganku yang terikat tali direnggut kasar, digelandang entah kemana aku hanya mengikuti dan tentunya melompat-lompat seperti jalannya vampire cina atau orang balapan karung. Lucu kelihatannya, beberapa orang aku dengar ketawa, mungkin melihat jalanku yang lucu, tapi di balik kelucuan ini, tali-tali yang mengikat pergelangan kakiku, menggesek-gesek kulit, walaupun tidak langsung, tapi tetap saja sakit. Apalagi kalau dibuat melompat, gesekannya…waduh sakit. Dalam keadaan kepala tertutup aku meringis menahan rasa sakit itu...

“Ya Allah”

“Ya Allah”

Pelan-pelan aku mendesah menyebut nama Allah, sekarang ini aku hanya bisa pasrah dan berharap ada mukjizat dari Allah, semoga Allah mengumpulkan kembali keluargaku dalam keadaan utuh, sehat, dan selamat. Itu saja. Dalam keadaan terpaksa keinginan manusia jadi lebih sederhana, yaitu ia ingin keselamatan.

“Duduk!” bentak seorang laki-laki dan mendorongku dengan kasar, hampir saja aku tersungkur, namun aku masih dapat menjaga keseimbangan, dan bisa duduk dan agak menyelonjorkan kaki.

Kemudian….

Semua terang benderang, tapi dingin. Aku bisa melihat segala sesuatunya dengan jelas. Aku berada di dalam gudang dan aroma wangi teh semerbak memenuhi ruangan. Dan aku sayup-sayup terdengar bunyi raungan mesin ternyata aku berada di pabrik pengeringan daun teh…

“Pabrik teh di Ungaran?” kataku dalam hati. Terbayang dalam ingatanku beberapa waktu yang lalu bahwa Iqbal mengetahui rahasia bisnis sabu-sabu, dimana pabrik penyulingannya bersanding dengan pabrik pengeringan daun teh.

Dan aku sekarang berada di dalam pabrik pengeringan daun teh.

Semua serba putih, dinding berwarna putih, atap berwarna putih serta tegel keramik porselin berwarna putih, ternyata aku berada di salah satu sudut ruangan itu. Semuanya berserakan daun-daun teh yang mau mengering. Satu dua orang pekerja dengan alat pendorong mengumpulkan daun teh menjadi gunungan dan siap dipindahkan ke tempat lain. Aku tidak tahu.

Ternyata aku berada di ruang lain. Pekerja itu tidak mengetahui keberadaanku, tapi aku bisa melihat keberadaan pekerja. Berarti di salah satu dinding ruang itu transparan bisa dilihat dari dalam.

Kali ini aku diperlakukan lebih lembut dan sopan, ikatan tali yang mengikat kakiku mulai dilepas, tinggal ikatan di tanganku belum dilepas terletak dibelakang punggungku, seperti orang istirahat di tempat kalau baris berbaris. Aku berjalan diapit oleh dua orang bodyguard dihantarkan menuju salah satu ruang panel. Perlahan aku perhatikan ruangan. Aku mencoba menghafalkan sudut-sudut ruangan itu, memperhatikan pintu-pintu yang saling menghubungkan antar ruangan. Ada tiga belokan dari pintu ruang pekerja tadi keluar, dinding tembus pandang dan menuju ruang panel tempat yang kayaknya aku tuju. Luar biasa sekali teknologi yang ada di sini, sistem pengamanan, monitor kamera, dan aku perhatikan di salah satu monitor. Itu kan interior mobil bapakku, dimana ya? Kalau aku lihat sekelilingnya seperti masih di alun-alun Ungaran. Mana Widodo dan Imam? Mudah-mudahan mereka juga lolos dari usaha penculikan ini. Dimana Iqbal dan Harun?

Berarti selama ini ada penyadapan di dalam mobil. Ada kamera dan mikrofon yang ditanam di dalam mobil dan aku, Harun, Widodo dan Imam tidak menyadari penyadapan itu.

Aku menuruti saja kemana tanganku ini diseret, tetapi tetap menghafal ruangan dan belokan. Tambah dua belokan lagi dan sampai….

Memasuki ruangan yang besar, ruangan lebih hangat tidak seperti sebelumnya terwarnai oleh dinginnya hawa pegunungan. Tampaknya ada air conditioner penghangat ruangan….

Sosok itu muncul dari balik kursinya

“dokter KindoNo?” kataku tak percaya dengan yang aku lihat

“Kamu heran mengapa aku ada di sini?” tanya dokter KindoNo dengan sinis menatap wajahku.

“Semua orang terlalu egois. Kamu tahu kan. Dosen kita. Para dokter-dokter senior. Para professor. Semuanya mementingkan diri sendiri. Membantu menyembuhkan pasien, tetapi mengeruk keuntungan dengan bekerja sama dengan pabrik farmasi, mendapat berapa persen dari penjualan obat. Mereka menikmati kemewahan di tengah orang-orang papa dan menderita. Membeli mobil mewah dari keterpaksaan orang miskin yang menjual habis harta-hartanya. Membeli gedung megah dari orang-orang miskin yang telah menjual tanahnya. Shopping di luar negeri, dengan bangga dari uang hasil menggencet orang-orang miskin. Apakah itu namanya tidak egois.” Kata dokter KindoNo.

“Lalu apa hubungannya dengan kamu?” tanyaku masih dalam nada ramah, walaupun sebenarnya sangat kesal, sangat marah, dengan segala perlakuannya pada keluarga dan istriku.

“Ada hubungannya. Dari pada aku mengikuti jejak mereka yang menjijikkan, aku memilih jalur lain. Berbisnis psikotropika dan narkotika. Segmen targetku adalah anak-anak pejabat yang suka korupsi itu. Anak-anak dokter, dosen, kita. Anak profesor yang matre. Uang mereka yang haram biar aku keruk. Aku bangun kerajaanku di sini. Jadi aku tidak berbuat salahkan? Jadi aku melakukan segala sesuatunya dengan legal. Justru aku membantu pengadilan dan polisi. Mereka tidak usah bersusah payah, toh uang yang tidak beres itu sudah aku keruk. Aku hancurkan keturunan mereka... ha ha ha” Kata dokter KindoNo dengan bangganya tanpa terbersit pun rasa bersalah atau merasa ada yang salah dari yang dia ucapkan.

“Kenyataannya? Si Jo mengedarkan sabu-sabumu di anak-anak jalanan. Apakah itu masuk tujuanmu?” tanyaku

“Oooo… itu namanya efek samping. Di dunia ini, namanya buatan manusia selalu ada efek samping. Orang beragama dan dengan memanfaatkan agamanya itu untuk mendapatkan keuntungankan juga efek samping kan?” lagi-lagi kata dokter KindoNo tanpa merasa sedikitpun bersalah atas apa yang diucapkan.

Kulihat ruangan kerja dokter KindoNo sangat canggih, monitor-monitor LCD sangat banyak, laptop merah anggur metalic, berada di hadapannya seperti perisai yang membentengi dirinya dari seranganku. Ruangan ditata minimalis. Satu dua benda-benda dekoratif bergaya futuristik. Warna putih mendominasi ruangan dengan garis-garis merah menyala menyela secara dinamis. Di belakang tempat duduknya rak buku dari bahan kayu jati, berwarna politur krem dengan kombinasi putih gading. Benar-benar eye catching.

“Mengapa kamu menculik Iqbal, Harun dan Aku? Tanyaku

“Sebenarnya yang bermasalah Iqbal. Aku tidak mau melibatkan kalian semua. Dia sudah terlalu tahu banyak hal mengenai bisnisku. Aku salah memilih si Jo, terlalu mengumbar rahasia kepada Iqbal.” Jelas dokter KindoNo saat ini dia berdiri, berjalan mendekati diriku yang masih dalam keadaan terikat kedua tanganku. Dengan sinis dia memegang-megang bahuku, dan mulai membelai rambutku.

“Siiih” aku mengelak. Memalingkan wajahku keras-keras ke kanan dan hampir membentur lengan bodyguard di sebelah kananku. Dokter KindoNo tersentak kaget melihat sikapku..

“Kamu belum menjawab, mengapa engkau menculik kami semua, mengapa engkau membiarkan Iqbal kamu tangkap hidup-hidup” tanyaku. Sebenarnya aku sendiri belum tahu bagaimana keadaan Iqbal saat ini.

“Aku ingin mengorek seberapa jauh dia tahu tentang bisnisku” jawab dokter KindoNo enteng.

“Hanya itu saja?” tanyaku keheranan

“Iqbal masih punya utang aku lewat tangan si Jo sebesar 50 juta” jawab dokter KindoNo lagi, kali ini dia mengitari aku dan kedua bodyguardnya.

“Uang 50 juta itu tidak ada artinya bagi bisnismu kan. Keluargaku berkomitmen mau melunasi utang-utang itu, aku tidak percaya, pasti ada alasan yang jauh lebih besar dari itu” tanyaku kali ini dengan nada yang sangat interogatif.

“Kamu mau mengatur saya?!!” dokter KindoNo kehilangan kesabarannya, menarik kerah bajuku keras-keras dan tubuhku hampir-hampir terangkat karenanya. Dan kurasakan bau mulutnya menyergap saraf sensoris yang ada dalam lubang hidungku. Lumayan bau. Kemudian dokter KindoNo menghempaskan tubuhku jauh-jauh, hampir terhuyung-huyung, tapi segera bisa bangkit tegap karena dipegang bodyguardnya yang diam seperti anjing herder tinggal menunggu perintah bosnya.

“Ada perwira tinggi yang terlibat? Dan Iqbal tahu tentang itu. Sampai mengerahkan orang-orang militer untuk menangkap Iqbal?” tanyaku, dengan tegas tapi pasti.

“Kurang ajar!!!” “plaak” pipi kananku ditamparnya dengan keras…

“Tapi mengapa kamu malah marah, sekedar tahu saja ga masalah kan? Kenapa engkau risau?” tanyaku

”Itu bukan urusanmu!!!” ”plaak” kembali pipiku ditamparnya, kali ini pipi sebelah kiri.

“Dia pernah datang ke sini sendirian, menyusup dan merekam kedatangan sang perwira tinggi itu termasuk perbincangan rahasia kami, dan dia berhasil kabur di Solo. Aku harus menangkap Iqbal hidup-hidup untuk tahu dimana disembunyikan rekaman itu.” Jawab dokter KindoNo geram.

“Sekarang sudah kamu tangkap! Kamu berhasil?” tanyaku lagi

“Itu bukan urusanmu. Kamu dan Harun aku jadikan alat tukar dengan rahasia yang dia bawa” kata dokter KindoNo yang sudah mulai kehilangan kesabarannya lagi. Dan untuk kali ini aku dapat hadiah pukulan telak ke arah perutku.

”Auu”

“Sudah!!! Bawa ke Gudang!!!” dokter KindoNo yang geram.

“Sebentar! Satu lagi. Ada apa dengan istriku, dia tidak tahu apa-apa mengenai ini, mengapa engkau sangkut pautkan denganku? “ tanyaku mulai dengan nada sengit.

“Ha ha ha ha. Haa ha haa. Kamu salah besar Rim! Dia tidak mencintai kamu. Dia mencintaiku. Dia itu kekasihku. Tiga tahun kami menjalin hubungan cinta. Bahkan aku sudah mencicipi dalamnya. Aku merasakan keperawanannya. Ha ha ha ha. ” jawab dokter KindoNo enteng petita-petiti seperti orang yang barusan menyembelih ayam.

“Mengapa kamu tidak menikahinya, kalau dia mencintai kamu, berarti kamu merusak hidupnya” kataku bersamaan kedua bodyguardnya menyeret aku keluar

“Itu urusanku. Dunia ini penuh permainan Rim! Ga ada yang serius! Dianya yang terlalu lugu. Kamu tahu tidak, nama asli Aisyah itu Nina Fania, dia itu dulu cewek suka dugem. Itulah yang tidak dimengertinya. Kalau sudah masuk sana, tidak ada lagi arti keperawanan!” kata dokter KindoNo dengan kedua tangannya melipat di dadanya, dan mukanya memancarkan kemenangan yang telak.

“Dasar buaya! Psikopat kamu!” umpatku, ingin ku ludahi mukanya, tapi bodyguardnya keburu menarikku menjauh, dan membawaku entah kemana.

Sementara dokter KindoNo senyum sinisnya mulai mengurai, merasa di atas angin.

Sialan bener dokter KindoNo, benar-benar seorang psikopat. Pikirannya aneh tapi dia merasa itu normal, bahkan ketika pikirannya itu merusak hidup atau merusak nasib orang pun tidak peduli.

Kembali aku diseret seperti pesakitan, namun meski begitu aku selalu menghafalkan belokan-belokan dan ciri-ciri tiap belokan dan melihat peluang-peluang pintu keluar.

………………………………………………

Akhirnya sampai ke gudang….

Udara pengap, padahal dingin, remang-remang hanya lampu 40-an watt menerangi ruangan yang demikian luas.

“bugg”

“Ahh…”

“plaak”

“aahh..”

“DIMANA KAU TARUH CD ITU?”

“Aku tidak tahu…”

“bugg”

Ya Allah dik Iqbal, mukanya berlumuran darah.. pelipisnya robek. Tapi dia tetap bersikukuh tidak membuka rahasia itu. Sudah berapa pukulan, tamparan, tendangan, dan tongkat kayu, membentur keras wajah, dada dan perutnya..

Sementara di sebelah kananku selisih lima meteran dariku terlihat jelas dik Harun, dan tidak aku lihat dimana Widodo dan Imam.

Ya Allah kuatkanlah fisik dik Iqbal menahan siksaan ini. Ya Allah yang mendengarkan doa orang yang teraniaya, hancurkanlah dokter KindoNo dan perwira tinggi di depan ku ini. Selamatkanlah kami. Persatukanlah keluarga kami kembali Ya Allah kabulkanlah doa kami orang-orang yang teraniaya ini..

Aku menyadari tali pengikat tanganku mulai kendor, aku berusaha untuk melepas tali itu tanpa ada yang curiga sedikit pun. Semua mata sedang terpusat pada Iqbal yang digantung tangannya dan disiksa. Sementara aku dan Harun sedang main mata, memberi kode tangan yang mulai lepas, mata ku mengarah pada pistol yang menempel dipinggang perwira itu.

Ya Allah, aku memohon mukjizatMu, memohon pertolonganMu, mahirkanlah aku berkelahi, kumpulkanlah seluruh keberanianku. Kumpulkanlah seluruh kekuatanku, kekuatan dik Iqbal dan kekuatan dik Harun. Ya Allah Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Mendengar, kabulkanlah permohonanku.

………………………

“Iqbal! Kau lihat kakak dan adik kandungmu datang” Kata perwira yang memakai pakaian sipilnya. Walaupun kulitnya lebih terang ketimbang kebanyakan orang-orang militer yang sering aku jumpai di jalan, tetap saja kesannya kaku, dingin dan tak bersahabat. Namun samar-samar aku mulai menghirup bau alkohol, tampaknya bersumber dari perwira ini. Dia sudah mulai mabuk.

“Kalau kau tidak mau menunjukkan dimana CD itu… kamu tinggal pilih mana diantara kedua saudaramu yang akan aku bunuh duluan” lanjut perwira itu tadi sambil sorot matanya menatap mataku tajam dan tak kenal ampun…dan setelah itu ganti menatap mata Harun. Kemudian dia mencengkeram dan mendongakkan dagu Iqbal dengan kasar.

“Kamu dengar dan lihat” kembali kata-katanya nyrocos dari mulutnya yang menghitam, kayaknya kebanyakan merokok.

Iqbal tetap saja diam tidak memberikan suaranya

“Keluarga kami biasa sengsara, biasa hidup keras, tidak pantang menyerah, dan yakin bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang benar, dan ingat pak, doa orang yang teraniaya pasti dikabulkan Allah pak.” kataku dengan tenang.

“Kurang ajar kau” pak Perwira itu segera menghambur ke arahku dan siap melayangkan pukulannya mengarah ke mukaku, semakin mendekat, semakin menyengat aroma alkohol yang dihembuskan dari mulut dan hidungnya.

“Ampun pak…. Jangan begitu pak” kataku sambil menghindar dan ikatan tali tanganku lepas serta saat itu juga segera tangan kananku mencabut pistol yang ada di ikat pinggangnya, serta tangan kiriku memukul ketiak kanannya seraya membekuk tangan kanannya ke belakang. Dan disusul aku menindihnya dari belakang..

Perwira itu tersungkur jatuh… dan meringis kesakitan.

Dan kutodongkan pistol itu ke kepalanya.

“Bapak kayaknya kebanyakan lemak dan tidak pernah latihan lagi ya” kataku.

Allahu akbar! Aku tidak percaya dengan yang aku alami. Tiba-tiba saja keberanian, kekuatan dan aku bisa memainkan jurus beladiri yang aku sendiri tidak percaya dari mana datangnya. Aku bisa memanfaatkan tenaga lawan, saat dia mencondongkan bahunya, aku bisa dalam waktu cepat memukul ketiaknya untuk melumpuhkan saraf tangan kanannya sehingga lemas tidak bisa digerakkan. Pada saat yang sama aku lihat Harun sudah bisa melepaskan tali yang mengikat tangannya. Dan yang lebih membuat aku tidak percaya aku bisa merebut pistol, dan bisa menodongkannya ke kepala perwira yang saat ini lemas. Ya Allah beginikah cara Engkau memberikan pertolongan. Kalau aku disuruh mengulang lagi apa yang telah aku lakukan tadi niscaya aku tidak akan bisa.

Tiba-tiba...

“Harun…tolong lepaskan tali yang mengikat tangan Iqbal” kataku memberi instruksi.

Setelah melepaskan tali yang mengikat, Harun membantu Iqbal mengenakan baju dan jaketnya, kemudian merapat menuju ke diriku.

“Beri kesempatan kami pergi dari sini” teriakku lantang. Samar-samar aku lihat dokter KindoNo hanya terpaku melihat keadaan yang ada.

Aku tinggalkan perwira yang masih lumpuh lengan dan tangan kanannya serta masih tengkurap meringis kesakitan, sementara yang lain aku lihat... melongo tidak percaya dengan yang dilihatnya.

Ketika kami mulai mendekati pintu, dua orang mencoba memanfaatkan kesempatan dikiranya aku lengah dan….

“doooor”

“doooor”

Dua tembakan tepat sasaran semuanya mengenai tungkai bawah dua orang tadi. Dan lagi-lagi, aku tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. Aku bisa menembak orang dan tepat pada tungkai bawahnya.

.......................................................

Begitu keluar dari halaman pabrik pengeringan teh, segera mengambil langkah seribu. Mengikuti apa yang ditunjukkan Iqbal, tampaknya Iqbal lebih mengenal medan di sini, memang sudah pernah punya pengalaman lolos dari sini.

Ternyata jalan yang ditunjuk Iqbal benar-benar jalan di luar kebiasaan, jalan turun dengan kemiringan yang bisa dikatakan sebagai jurang, lebih dari empat puluh lima derajat.

…………………………………………

Dalam keadaan terpaksa mungkin kali, dan aku meyakini, inilah pertolongan yang Allah berikan kepada kami. Iqbal yang masih berlumuran darah dan memar-memar bekas pukulan, aku dan Harun berhasil lari melaju menuju dataran yang lebih rendah. Tetapi jalan yang dipilih Iqbal lebih terjal dan curam. Dan harus berpegangan dengan akar atau batang pohon yang bergelantungan agar tidak jatuh di jurang yang curam. Sinar rembulan membantu kami, mencari dahan atau akar yang kuat untuk pegangan. Ini jurang yang terjal, terpeleset atau salah memilih dahan atau akar yang tidak kuat untuk pegangan bisa jatuh di dasar jurang sana. Suara deras arus sungai semula jauh, makin lama makin terasa di telinga. Menandakan dekat dengan sungai. Tanpa penerangan senter kami bertiga menyusuri malam yang dingin. Satu dua kali angin gunung berhembus dengan kencangnya.

“Mereka kehilangan jejak kita mas, dikiranya kita jatuh di jurang” kata Iqbal

“Ya Alhamdulillah kalau begitu. Kita tidak perlu tergesa-gesa jalannya.” Kata Harun

………………………………………………………………..

“Kita menghindari Ungaran Mas” kata Iqbal

Kuperhatikan penampilan Iqbal, memang seperti yang diceritakan Amar kemarin lebih gelap, memakai kalung karet dengan mata kuku bima, memakai beberapa karet gelang di tangan.

“Kita ke barat sedikit, menuju Kendal, di mobil bapak kita pasti dipasang penyadap kalau tidak, pasti tidak aman dikendarai, sehingga bila kita mengendarai pasti mengalami kecelakaan dan meninggal, itulah yang mereka harapkan” lanjut Iqbal.

Sekitar satu jam kami menuruni jurang yang terjal, kami akhirnya sampai pada dataran yang lebih datar, tapi setelah diperhatikan lebih cermat, ternyata… dataran ini adalah ujung dari dua jurang yang lain di kanan kirinya. Dataran seukuran jalan setapak, tetapi kanan kirinya jurang. Di sisi kanan dan kiri itu, sama-sama terdengar aliran sungai. Sekali dua kali perjalanan kami terhalang pohon besar yang mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Pada saat itu, cara melewatinya dengan berjalan dengan memanjat, memeluk pohon, berpegangan pada akar nafasnya yang kokoh, baru bisa melintasi pohon itu. Sebuah pohon yang tumbuh memenuhi jalan setapak yang kanan kirinya jurang.

“Mengapa perwira tadi begitu semangat menyiksamu” tanyaku kepada Iqbal disela-sela perjalanan kami.

“Sebenarnya dulu kami antara aku, dokter KindoNo dan Kolonel Prawoto akrab.” Kata Iqbal.

“Wooow namanya kolonel Prawoto, trus kok jadi bermusuhan?”sela Harun.

“Awalnya aku berusaha kenal dengan kolonel Prawoto karena ingin melindungi bisnisku. Mungkin mas Karim sudah tahu, bajakan dan sebagian VCD porno. Aku tidak ingin bisnis ini bangkrut gara-gara penggrebekan oleh polisi. Si Jo itu dimanfaatkan atau dapat dikatakan bosnya ada dua dokter KindoNo yang mencoba memasukkan sabu-sabu. dan Yoyo yang bermain di bisnis judi Cap Ji Kie. Aku mendekati si Jo agar aku dapat kenal lebih lanjut dengan dokter KindoNo dan Yo yo. Sebenarnya kenal dengan dokter KindoNo atau Yo yo adalah sasaran antara, karena aku ingin bisa kenal dengan Kolonel Prawoto. Singkat cerita akhirnya aku kenal dengan Kolonel Prawoto, hubungan kami sangat baik. Bahkan dia blak-blakan dengan berbagai macam jenis bisnis yang meminta dia menjadi bekingan. Banyak sekali mas, uangnya sampai miliaran pertahun dari setoran-setoran keamanan bisnis gelap seperti itu. Dia mengatakan gaji murni seorang perwira itu berapa? Bisa untuk apa? Sekarang jaman serba uang, sekolah, pendidikan anak, kesehatan semua serba uang dan sangat mencekik, apa yang bisa diandalkan dari gaji. Gaji itu ga ada apa-apanya! Harus cari terobosan yang cerdas Iqbal! Kamu pun harus seperti itu. Aku tahu pemain judi, obat-obat terlarang dan pelacuran itu konsumennya adalah pejabat nakal, anak-anak pejabat nakal, para koruptor... yang ’kebal’ birokrasi dan hukum... jadi ga ada salahnya kan kita ’ngerjain’ mereka? Dan belakangan baru aku ketahui, ternyata aslinya dia itu, terakhir hanya berpangkat kapten, dan sudah dikeluarkan dari kesatuan, secara tidak hormat. Meski begitu, dia pinter menggertak, mengaku berpangkat kolonel. Aku tidak tahu bagaimana permainannya hingga bisa membekingi banyak bisnis ilegal. Yang aku tahu pasti, dia itu cerdas seperti dokter KindoNo, dan juga sama-sama psikopat. Lihai dan sangat licin, mudah lolos dari intaian polisi. Kita tadi sangat beruntung, atau mungkin, memang pertolongan dari Allah ya mas, tidak biasanya dia itu mabuk.“ cerita Iqbal, mengungkapkan pertemuannya dengan kolonel Prawoto.

Jalan yang kami lalui saat ini sudah mulai datar, tetapi mulai merapat dengan sungai, airnya bening di temaram sinar bulan purnama, terlihat ikan-ikan berenang. Sementara itu batu-batu besar seperti dijatuhkan begitu saja dari atas sehingga letaknya berserakan tidak tertata rapi… acak…

Aku, Harun dan Iqbal berjalan menapaki batu, kadang naik melewati batu besar, kadang turun karena batunya mulai datar. Sekali dua kali kaki-kaki kami mencebur di dasar sungai...dingin sekali. Aku melihat jam tanganku, dalam temaram cahaya rembulan kulihat pukul 01.30 WIB

“Kita istirahat dulu ya. Sekarang sudah jam setengah dua pagi“ kataku

“Iya mas Karim, di sana saja banyak pohon-pohon tinggi tapi cabangnya lumayan datar, kita tidur di atas pohon saja.” Kata Iqbal

“Apa di atas pohon?” tanyaku penuh keheranan.

“Iya mas Karim, dulu ketika aku pernah ikut pendidikan kepemimpinan… pengasuhnya senior SAR, dalam situasi seperti ini keamanan kita belum bisa dipastikan baik karena banyak hewan buas atau musuh seperti dalam peperangan.. baiknya kita tidur di atas pohon namanya flying camp.” Kata Harun menimpali.

“Ya udah” aku mengiyakan permintaan kedua adikku. Dan setelah aku pikir-pikir memang harusnya seperti itu.

“Mumpung ada air, kita wudhu sekalian di sini” ajakku. Nanti kita sholat malam di atas pohon. Lalu tidur.” kataku. Walaupun ketika ambil wudhu tadi terasa perih terutama di bekas tendangan dan pukulun. Yang paling terasa perihnya, tentu saja dik Iqbal.

Akhirnya sudah sampai di pohon-pohon yang dimaksud. Memanjat pohon, mencari cabang yang landai dan kokoh, sholat malam lalu, memejamkan mata. Namanya tidur dalam keadaan duduk, tetap saja tidak nyaman, setengah jam terbangun dari tidur-tidur ayam, mulai kesemutan, ganti posisi lain, kesemutan dan seterusnya. Bahkan ketika kantuk demikian hebat, nyaris mau terjatuh, kaget dan bangun kembali. Walaupun bisa tidur sepuluh menit, tetap lumayan melepas kepenatan yang mencengkeram tubuh ini.

“brug-brug” rombongan orang berjalan membawa senter. Mereka terus berjalan tidak menyadari kehadiran kami di atas pohon, dalam hati berdebar-debar juga, nafas tertahan hampir tak bernafas, ada untungnya tubuh ini tidak mandi, jadi bau badan menyatu dengan alam. Coba kalau mandi dan pakai parfum, pasti sudah tercium.

Dalam selayang pandang, aku mengenali beberapa orang tadi di gudang pabrik pengeringan daun teh.

“……………………….” hening

“………………………” tenang

“………………………” larut

…………………………

Tidak ada apa-apa lagi, melanjutkan tidur bergelantungan di pohon, kembali ke ritual tidur ayam à setengah jam bangun à ganti posisi karena kesemutan à kembali ke awal.

Sampai terlihat di ufuk timur sana, mulai berwarna orange, tanda sudah Subuh.

Sholat subuh berjamaah, kemudian dzikir al-ma’tsurat bersama, kemudian jalan, dua yang pertama adalah ritual rutin yang biasa kami lakukan di rumah.

Dik Iqbal tampaknya seperti telah menemukan dunianya yang dulu kembali dan samar-samar kuperhatikan air matanya menetes..



[1] nempeleng

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments