Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Monday, June 2, 2008

Assalamu’alaikum matahariku bagian 1

The destination’s journey

Ombak itu bergulung-gulung, bercanda, saling mengejar dengan suka citanya. Terkadang dia menghambur dalam gulungan besar. Terkadang pula dia menghambur menyerbu pantai dalam gulungan-gulungan kecil. Kombinasi gelombang-gelombang itu laksana guruh gemuruh dan bergemanya suara drum, tambur, gendang, semua alat perkusi dikombinasi dengan suara viola, flute, bass, piano, harpa, dalam orchestra agung yang mendayu-dayu memberondong, semua menyerbu, riuh rendah bersama-sama berlomba menuju klimaks, merangsang selaput gendang telinga yang menghasilkan desiran suara indah tak terkira. Kemudian disusul dentingan drum yang berdesis, letupan-letupan suara clarinet, flute, viola yang lembut, membisikkan keindahan yang menerbangkan angan ke angkasa yang tinggi. Silih berganti. Berirama terus, melambaikan tarian indah nan abadi, memberikan kesejukan mata, suara yang indah, sapaan lembut dikulit, memberikan hiburan pada manusia sekaligus, menunjukkan keMaha-agungan dan keMaha-Indahan Sang Maha Penciptanya.

Ombak itu terus-menerus berjalan menyusuri samudera yang luas menuju daratan dalam gerombolan gelombang-gelombang. Terus-menerus menyapa pantai yang telah menjadi sahabat karibnya. Sudah ribuan tahun ia melakukan itu. Sampai-sampai bongkahan karang sebesar dan sekokoh itu pelan-pelan terkikis hingga menjorok jauh ke dalam. Percikan-percikan air ombak menghasilkan butiran-butiran air laut yang terbang ke mana-mana. Sebagian hinggap di karang, garam-garamnya yang ganas dan pekat mengikis secara pelan-pelan dan pasti, menghasilkan permukaan batu karang yang bergigi gerigi tajam. Setajam ujung-ujung tombak, panah dan pedang terhunus para mujahid. Mampu merobek kulit siapa saja yang menyentuhnya secara tidak hati-hati. Sebagian yang lain terbang, laksana bidadari-bidadari putih yang mengepakkan sayap-sayapnya menggapai pesona terik matahari dan diterbangkan oleh goyangan angin yang menggoda, melayang menyusuri langit, pergi ke tempat nun jauh di sana. Akhirnya mereka bertemu bergandengan tangan membentuk gumpalan semisal kapas-kapas yang diterbangkan angin. Mereka nikmati indahnya perjalanan melayang-layang yang melalaikan itu. Menyapa pepohonan, membelai bongkahan-bongkahan batu pegunungan, menyisiri lembah, menerjang bukit, menyalami puncak-puncak gunung, menyibak karang-karang terjal nan kokoh, sebelum mereka membuat pesta besar membentuk mendung-mendung yang membuncah tak terkira. Karena takdirlah yang membuat mereka berubah menjadi hujan yang menebarkan sejuta harapan. Menghidupkan kembali tanah-tanah gersang yang mati. Membuat suka cita para petani. Memberikan sejumput karunia Robbi yang Maha Luas.

Air-air itu tumpah kemana-mana. Sebagian masuk ke tubuh tumbuhan, sebagian menjadi bagian hidup hewan, manusia bahkan hingga hewan atau tumbuhan yang hanya terdiri dari satu sel. Sebagian lagi menjadi butiran-butiran yang memadati ruang udara, hinggap di ujung-ujung daun menjadi embun. Sebagian yang tidak hinggap menutupi pandangan manusia, dinamailah mereka itu dengan nama kabut. Sebagian mereka menyusup jauh, menggelinding di sela-sela butiran-butiran tanah, memasuki rongga besar dalam perut bumi, dan keluar lagi ke permukaan bumi menjadi mata air dalam perjalanan panjang tiga puluh tahun. Mereka menjalani siklus tiga puluh tahunan.

Sebenarnya perbandingan air yang diwakili lautan dengan daratan, seluruh benua dan pulau-pulau, lebih banyak airnya. Perbandingannya hingga mencapai tujuh puluh persen lebih banyak air. Demikian pula di dalam tubuh kita air yang menggenangi sel-sel dalam tubuh kita dalam jumlah yang setara. Juga tujuh puluh persen. Kalau air di laut rasanya asin karena komposisi garam jauh lebih besar berada di sana, maka air yang menggenangi sel-sel kita juga jauh lebih asin dari pada air yang berada di dalam sel. Subhanallah. Maha Sempurna. Sebuah arsitektur yang Maha Memperhatikan sampai detil-detil terkecil.

Begitulah Allah SWT memberikan ketetapan qadarnya pada air. Terkadang aku berpikir, nasibku itu seperti air. Aku tidak tahu pasti, apakah aku seperti butiran air yang mana. Apakah aku ditakdirkan menjadi seperti air yang tertambat diujung daun di saat remang cahaya subuh sebelum turun ke tanah atau menguap lagi terbang bersama awan. Atau aku termasuk butiran air yang menyesap di sela-sela tanah masuk di dalamnya mengikuti siklus tiga puluh tahunan. Ataukah aku ini laksana butiran-butiran air yang menjadi hujan deras menghidupi tanah-tanah gersang. Ataukah takdirku seperti jenis air berpindah-pindah berkelana dari laut menuju langit, menjadi hujan dan masuk ke perut bumi, keluar lagi ke permukaan menjadi mata air dalam tiga puluh tahun. Itulah takdir.

Aku hanya bisa berusaha, berdoa, dan bertawakal kepadaNya. Aku banyak belajar hidup dari bapakku sendiri. Menurutnya nasib kita tergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang kita sengaja biasakan. Orang menjadi pintar karena dia sengaja membiasakan dirinya melakukan hal-hal yang membuat dia menjadi pintar. Orang menjadi usahawan, karena dia sengaja membiasakan diri melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi pintar sebagai pengusaha. Orang menjadi olah ragawan ternama karena dia menyengajakan diri melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi seorang olah ragawan. Orang menjadi bodoh dan miskin karena dia tidak melakukan hal apa-apa yang membuatnya menjadi bisa berpindah dari takdirnya sekarang.

“Kamu harus berusaha Rim. Bersungguh-sungguh berusaha. Bersungguh-sungguhlah berusaha sebagaimana orang yang telah berhasil berusaha. Kita tidak tahu kapan takdir keberuntungan akan menyapa kita. Ketika ia datang kita sudah siap memainkan takdir keberuntungan itu. Dan membuat kita menjadi orang yang berhasil” kata bapakku di suatu sore setelah sholat maghrib berjamaah.

“Karim, kita ini orang biasa, orang kebanyakan. Tidak ada yang bisa kita andalkan selain usaha-usaha kita, doa-doa kita, sholat-sholat kita serta ketekunan kita. Kakekmu dulu adalah tokoh, bahkan anggota konstituante. Nyatanya anaknya, bapakmu ini menjadi petani biasa, ibumu penjual makanan, tidak banyak kelebihan uang yang bisa kita sisihkan untuk bisa merengkuh pendidikan tinggi untukmu, kedua kakakmu dan bapak berharap masih ada jatah juga untuk adik-adikmu. Begitulah hidup Rim. Kita harus selalu bisa menata hati kita. Tidak ada yang abadi dalam perjalanan hidup kita. Saat kamu kuliah di Solo, hati-hati dalam memilih teman bergaul, carilah teman yang benar-benar bisa menjagamu menjadi orang yang baik. Selalu sholat lima waktu dan sholat malam. Baca Qur’an setiap hari, syukur sebulan bisa khatam. Ya le.” Lanjut bapak sambil merangkulku dan membelai-belai punggungku.

“Insya Allah, bapak” kataku

“Kita ini mewarisi darah kiyai. Kakekmu adalah kiyai. Di kalangan para kiyai, kakekmu termasuk kiyai berpengaruh. Hampir semua kiyai di jawa timur kenal dengan KH Dahlan Abdul Qohar. Kakekmu pernah menjabat ketua NU Cabang Nganjuk. Pernah menjadi anggota konstituante. Karena itu rujuklah dari siapa keturunan kamu ini. Ini tidak dimaksudkan untuk ashobiyah, tapi untuk mengingatkan bahwa kita ini dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi tradisi berjuang di jalan Allah. Lihatlah tauladan mereka, semangat juang mereka, mengubah masyarakat yang sebelumnya jauh dari nilai-nilai agama menjadi masyarakat yang disirami nilai-nilai agamis. Kamu lihat bagaimana perjuangan KH Hasyim Asy’ari, yang mengubah daerah Jombang tempat begal menjadi kawasan pondok pesantren yang pengaruhnya demikian luas. Jangan kamu lihat hasilnya sekarang, tetapi itu butuh perjuangan yang panjang. Bapak ingin kamu tidak saja menjadi dokter. Kamu ini dibesarkan dalam lingkungan santri, kamu junjung nilai-nilai itu tinggi-tinggi. Jadilah kamu seorang dokter muslim yang militan dalam berdakwah. Tidak sekedar menjadi dokter. Itulah sebenarnya yang ingin diwariskan kakekmu kepada anak turunnya termasuk kamu dan keturunanmu.”

Itulah petuah bapak sebelum aku berangkat ke kost di Solo. Ketika pulang bulanan pun bapak masih tetap mengkhawatirkanku bagaimana sholatku, bagaimana ngajiku, bagaimana sholat malamku. Ketika bapak menyimak bacaan Qur’anku ketika pulang selepas sholat maghrib dan mendapati aku tidak lancar membacanya bapak selalu memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan interogatif.

“Kamu pasti jarang ngaji ya Rim” kata bapak

Aku hanya tertunduk malu

“Jangan terlalu banyak tidurnya di kost. Jadilah seperti lautan. Selalu bergerak, membersihkan dirinya. Kau lihat kan laut selalu bersih, padahal sungai-sungai yang mengalir membawa kotoran yang demikian banyak. Kita bergerak dengan sholat malam, dengan dzikir, dengan puasa, ngaji Qur’an, berdakwah, memberi contoh yang baik, berbuat ikhsan dan semua hal yang disyariatkan agama adalah sarana membersihkan hati kita Rim. Terus bergeraklah dengannya laksana ombak di lautan, niscaya hati kita akan selalu bersih.”

Bukannya merasa selalu diatur oleh orang tua seperti layaknya anak muda zaman sekarang, justru aku merasakan kasih sayang yang tak terkira dari bapakku.

Aku sendiri lebih suka kalau potong rambut, yang memotong rambutku adalah bapakku sendiri. Ketimbang yang sering dilakukan teman-teman satu kos potong di tukang potong Madura atau malah pergi ke salon yang seringkali capsternya cewek cantik.

Dibalik sifat temperamental bapak, keras dalam urusan pendidikan, terutama pendidikan agama, bapak adalah seorang ayah yang mengerti tumbuh kembang psikologis anak-anaknya. Hingga aku kuliah pun masih suka bermanja-manja pada beliau. Termasuk minta potong rambut kepada beliau.

BERSAMBUNG

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments