Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Monday, June 9, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 6

Kos di Solo


Akhirnya dik Iqbal mau juga kuliah bersamaku di Solo.
Aku di UNS, sedangkan dik Iqbal di UMS. Hanya beda jumlah kaki huruf yang ada di tengahnya. Aku “dua kaki”, sedangkan dik Iqbal “tiga kaki”. Dia lebih memilih untuk tetap satu kos denganku di Kentingan. Katanya untuk mengirit biaya pengeluaran.

Aku kos di daerah depan kampus UNS. Tidak usah kuceritakan letak detilnya, karena jalannya rumit, berbelok-belok gangnya sempit, dan di sana-sini bertebaran aroma kurang sedap sampai tidak sedap; aroma limbah tahu dan kandang babi. Koordinat tepatnya dua pertiga ke barat garis yang menghubungkan antara muka Universitas Sebelas Maret dengan Taman Budaya Surakarta. Gedung tempat kos berbentuk leter L satu lantai, dimana garis yang panjang adalah kamar-kamar tidur, sedangkan pada garis yang pendek adalah kamar mandi dan gudang.

Di tempat kos itu aku satu kamar bersama dik Iqbal sebelum nantinya dik Iqbal menambah sewa dua kamar lagi untuk usahanya dan mendapatkan izin ibu kos. Nama kosku “Wisma Janaka”. Sering pula diplesetkan jadi Wisma Jenaka, karena banyak dari personilnya yang lucu-lucu… Ada sepuluh kamar, memang lumayan besar bila dibanding kos-kosan tetangga sekitar. Ada empat anak kedokteran yang satu kos denganku semuanya teman satu angkatan; Barkah, Budi, Santoso dan Darmanto. Bukannya pilih kasih, tetapi aku lebih dekat dengan Barkah. Diantara mereka berempat hanya Barkah-lah yang berkeinginan kuat dan mewujudkan keinginannya silaturahim ke rumah bapak ibuku di Nganjuk. Di samping kamarnya tepat bersebelahan denganku. Sebelum dik Iqbal kuliah, aku juga pernah satu kamar dengannya.

Aku heran juga mengapa di hampir setiap kamar teman satu kos ada kalpanax cair. Padahal kalpanax sendiri kalau dioleskan di kulit langsung terasa nyos dan besoknya kulit berubah jadi gosong serta bertahan selama berhari-hari. Katanya untuk mengobati gatal-gatal, yang umumnya kalau aku lihat adalah akibat penyakit jamur kulit. Sekali dua kali aku lihat juga obat jamur yang lain Canesten, Fungiderm atau Daktarin. Jadi kalau dilakukan survey market share obat anti jamur pilihan anak kos pria adalah kalpanax, dan berhak mendapatkan medali KCSA alias Kos-kosan Customer Satisfaction Award untuk kategori obat jamur kulit. Inilah yang pernah aku bicarakan dengan Barkah di suatu sore, sambil membaca buku untuk mempersiapkan ujian Quis esok harinya.

“Kah, inilah tantangan kita, mengapa penyakit jamur kulit menjadi penyakit ‘nasional’ kos-kosan kita!”

“Anak-anak itu jorok sekali. Mereka itu sering kelupaan mencuci.”

“Maksudmu?”

“Iya, ketika celana dalam tinggal satu, baru sadar kalau waktunya harus mencuci. Jadi sering celana dalam terakhir itu dipakai seperti kaset. Side A dan side B. Kalau terpaksa memakai yang baru dicuci, pengeringannya secara instan, memakai seterika dan diangin-anginkan kipas angin. Makanya pada jamuran.”

“haa…haa….haa…”

“Ada satu lagi Kah. Teman-teman kita ahli kimia terutama ahli kromatografi. Kalau dalam kromatografi, warna orange spidol dapat terurai menjadi merah dan kuning setelah air melewatinya. Lha kalau teman-teman kita itu, warna abu-abu berhasil diubah menjadi warna penyusunnya. Warna hitam dan putih.”

“Yang kamu maksud itu…téko untuk memasak air?”

“Tepat! Dahulu ketika kita iuran téko semula warnanya abu-abu logam dan mengkilat kan? Tetapi setelah setengah tahun berjalan, abu-abunya itu terurai menjadi warna-warna penyusunnya. Inilah yang namanya kromatografi itu. Bagian luar berwarna hitam, karena kita memasak pakai kompor minyak tanah, sehingga kotoran-kotoran sisa pembakaran yang menjadi jelaga mewarnai bagian luarnya. Sedangkan di dalam, karena air yang kita konsumsi itu kaya kadar kapurnya. Makin lama, makin mengerak putih. Kedua warna itu, karena jarang atau hampir tidak pernah dicuci. Jadilah seperti itu; K R O M A T O G R A F I S E M P U R N A. Kalau aku masak mesti aku cuci sebelum dan sesudah memakainya, tetapi yang lain hanya memakai dan tidak mencuci…ya…”

“Iya Rim, namanya juga anake wong akéh[1]. Malah dulu ada yang saya ingatkan, malah menjawab ‘dengan dipanasi saat memasaknya, berarti kan sudah disterilkan, jadi tidak perlu dicuci’ kalau perlu, katanya membaca mantera ajaib andalannya ‘min kuman kamin, kuman mati jadi vitamin’”

“ha..haaa….haa…”

“Jadi bagaimana bangsa kita bisa maju ya Kah.. kesadaran berkorban untuk kepentingan orang banyak susah. Bahkan ini terjadi pada kita. Sekelompok papan atas masyarakat, karena kita itu dianggap orang terpelajar. Tetapi perilakunya malah kurang ajar.”

“Itulah Rim, aku sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Aa Gym, kalau kita ingin melakukan perubahan, maka mulailah sekarang, mulai pada diri sendiri dan mulai dari hal yang kecil. Inilah yang bisa kita lakukan, sembari mengingatkan bila tepat kondisinya, tepat waktunya, tepat dosisnya dan tepat orangnya.”




----------

Aku memang berbeda dengan dik Iqbal, dia lebih kuat azamnya[1] untuk mandiri. Samar-samar aku menangkap gelombang keinginan aktualiasasi dirinya. Seolah-olah mengatakan “tanpa dapat ranking pun aku juga dapat dibanggakan. Tidak usah pintêr-pintêr di sekolah untuk dapat dihormati. Bila aku kaya orang akan hormat kepadaku.” Walaupun belum menjadi kebakaran besar, namun api dalam sekam ini tetap merisaukanku. Perasaan itu tertutupi oleh perjalanan kuliah yang padat, penat dan melelahkan. Juga oleh rasa banggaku terhadap dik Iqbal yang tanpa malu atau risih untuk bisa mandiri.

“Mas Jun, boleh aku diajari ngetik microsoft word mas?” pinta dik Iqbal kepada Junaidi, tetangga kamar kos.

“Boleh…gini aja sambil kamu latihan, kamu ngetikin tugasku ya!” permintaan dik Iqbal dikabulkan Junaidi.

“Makasih ya mas”

Waktu terus berlalu, menyertai kegigihan dik Iqbal belajar microsoft word demikian juga microsoft excel sembari membantu penyelesaian tugas kuliah mas Junaidi.

------

Suatu hari, telah terjadi sesuatu yang membuatku malu, namun segera rasa itu pudar, sekaligus bangga. Dik Iqbal punya kemampuan negosiasi.

“Mas Jun, kalau aku ngerjain tugasnya Mas, tetapi per lembarnya mas ngasih aku Rp 500.” Tawaran negosiasi dik Iqbal yang menghenyakkan lamunan Junaidi

Mendengar itu rasa malu karena kok ndak ada rasa balas budi atau bagaimana kalau Junaidi marah, menggema dalam pikiranku. Namun segera hilang….

“Ya Bal, boleh.” Jawab Junaidi tanpa ada ekspresi marah sama sekali.

Segera aku bisa memaklumi, karena Junaidi anak orang kaya, bapaknya dokter spesialis THT, sedangkan ibunya dokter spesialis anak.

Junaidi, mahasiswa fakultas ekonomi UNS, angkatan masuk sama denganku, termasuk orang yang rendah hati, mudah bergaul dan banyak teman. Ibaratnya kalau Malcolm Gladwell bilang, dia termasuk kategori the tipping point man. Model komputer, model baju, selera makannya menjadi rujukan orang-orang yang berada dalam lingkaran pengaruh pergaulannya. Teman-temannya banyak yang silih berganti mengunjungi kamarnya. Seperti bezuk orang sakit aja. Tetapi Junaidi juga tegas, sore hari mulai jam 7 sore sudah tidak lagi menerima tamu teman-temannya itu, kecuali kalau ada keperluan yang sangat mendesak. Dan teman-temannya bisa maklum dengan kebutuhan Junaidi tersebut. Karakter fisik dan kepribadian Junaidi, menyokong hal tersebut. Secara fisik bukan kategori cakep, tapi cukup manis lah, pendengar yang baik, suka bekerja keras, sangat menghargai usaha orang, suka cuap-cuap, lebih suka memberi ketimbang menerima pemberian dari orang lain, ramah. Harusnya dia ini termasuk orang yang paling dicari oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai produk khusus untuk mahasiswa. Tentu saja ada Kalpanaxnya.

---------

Kembali waktu terus bergulir, mengangkut siapa saja dan bagaimanapun kondisinya, termasuk dik Iqbal yang rajin bekerja, belajar, dan tambah banyak kenalannya lewat Junaidi, membuat inspirasi yang begitu kuat, mengantarkannya untuk mengajukan proposal pembelian komputer kepada bapak ibuku di Nganjuk. Kejadian yang tanpa sepengetahuanku, termasuk kepulangannya ke Nganjuk.

“Apa? Komputer?” Tanya bapakku, penuh keheranan.

Nggih, komputer bapak. Kulo sudah memperhitungkan, berapa penghasilan dan insya Allah satu tahun sudah balik modal. Insya Allah nanti saya bisa mandiri membayar kuliah dari sana bapak.” Jawab dik Iqbal dengan argumen yang mantap.

Tak tukokke komputere, ning ojo mikir dienggo biaya sekolahmu[2]” jawab bapak, dengan harapan mengerem keinginan dik Iqbal mencari uang. Boleh mencari uang, tetapi sekedar latihan saja. Biar kuliah selesai dulu, satu permasalahan selesai.

Dik Iqbal memang berbeda dengan aku, hasrat untuk mengekspresikan kebutuhan aktualisasinya demikian tinggi. Kalau aku cenderung mengalah. Tetapi Allah punya rencanaNya sendiri. Dan itu sangat membantu kami di kemudian hari. Ketika beban ekonomi begitu berat. Dik Iqbal mampu menjadi penopang, minimal kami berdua di Solo tidak lagi minta jatah bulanan ke Nganjuk.

Aku teringat, pernah suatu ketika aku pulang untuk minta jatah bulanan dan ada tambahan uang praktikum. Bapak mengajakku mendatangi pak bayan Suwardi. Aku tidak pernah tahu sebelumnya apa maksud bapak mendatangi tokoh masyarakat di desa kami.

Niki pak bayan Suwardi, Karim sekarang lagi butuh uang untuk praktikum. Kalau bisa panjênêngan bisa meminjami kami enam ratus ribu rupiah.” Kata bapakku untuk menyatakan keinginan bapak untuk silaturahim ke rumah beliau. Yang membuatku terkejut, pernyataan bapak dilanjutkan dengan menyodorkan sebuah buku tipis, berukuran kertas folio dan bertuliskan sertifikat tanah.

Astaghfirullahaladzim”. Kataku dalam hati. Aku baru tahu dan menyadari kalau pak Bayan Suwardi ini adalah réntênir. Hal itu baru aku ketahui, ketika dalam percakapan yang tidak aku mengerti baik bapak dan pak bayan Suwardi menyebut-nyebut angka tiga persen. Berarti bunganya tiga persen. Aku tidak tahu apakah itu perbulan atau selama pinjaman itu belum lunas. Wallahua’lam, banyak rahasia yang disembunyikan bapak, agar kami para putranya tidak tahu kesusahannya. Baru kali ini, bapak secara tersirat memberitahuku “begini lho sulitnya mencari uang untuk biaya kuliahmu Rim!” mungkin bapak mulai sadar kalau usianya sudah lanjut. Terhitung dua kali aku diajak bapak untuk meminjam uang ke rentenir, satunya berada di tengah kota yaitu di kelurahan Mangundikaran, namanya pak Bas. Beberapa tahun kemudian setelah dik Harun kuliah juga diperlakukan serupa, kali ini di tempat yang lain di kawasan pertokoan jalan Ahmad Yani. Biar anaknya tahu kalau beliau punya utang pada pak bayan Suwardi. Atau aku tidak tahu maksud bapak. Dan aku merasa tidak perlu tahu alasan beliau. Yang jelas bagiku adalah untuk naik kelas dalam strata sosial harus menempuh ujian. Butuh persiapan. Butuh ketahanan. Butuh tahan banting. Butuh banyak sekali pengorbanan. Butuh energi yang tidak habis-habisnya hingga posisiku sudah naik di status sosial yang baru itu. Aku ingin menjadi dokter. Aku tidak ingin menjadi orang yang diremehkan. Aku ingin membuktikan, aku bisa menjadi orang. Orang yang mempunyai kedudukan tinggi. Orang tidak bisa menyepelekan begitu saja diriku, termasuk juga pak bayan Suwardi, atau pak Bas atau siapa pun réntênir yang mencari keuntungan dari meminjami uang kepada bapakku saat beliau kesusahan dan mengalami kesempitan. Bukankah Allah menghendaki kita menjaga kehormatan diri, sekalipun untuk itu, harus menahan rasa lapar yang hebat karena kiriman uang pas-pasan, tidak meminta atau meminjam uang ke teman. Ini sudah menjadi tekadku.



[1] kemauan tekatnya

[2] bapak belikan komputernya, tapi kamu tidak usah berpikir untuk biaya sekolahmu


[1] anaknya orang banyak

No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments