Buku terbaru

Buku terbaru
Pengantar Kajian Ilmu Kedokteran pada Ibadah Sholat

Wednesday, June 18, 2008

Dari novel "Assalamu'alaikum matahariku" bagian ke 14

Pertemuan yang tak terduga

Nganjuk 2003

Sejuknya udara pagi demikian cuek dan dingin, tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Sensasinya menembus di sela-sela butiran-butiran air dengan ukuran tertentu yang membuatnya disebut kabut. Butiran-butiran kabut menempeli benda-benda apapun yang dekat dengannya. Gaya gravitasi bumi mendorongnya untuk terjun ke bawah, sementara sesekali tiupan angin pagi sekedar mengibas-ngibaskannya walaupun akhirnya menyerah pada gravitasi bumi. Hangatnya matahari perlahan tapi pasti menerobos di setiap ruang tanpa mempedulikan kecuekan udara pagi yang sejuk. Bahkan akhirnya dia begitu kuat dan mantap, semuanya takluk. Kehangatan berubah menjadi panas dan hari berputar menjadi siang hari.

Sudah dua hari ini aku menikmati suasana santai di Nganjuk. Ada jeda libur satu minggu sebelum memasuki siklus terakhirku di bagian Obgyn. Aku bertekad menikmati betul suasana rileks di tengah hari-hari, jam dan detik yang selama ini terus menerus menderaku dengan ketegangan, keletihan dan target. Aku benar-benar ingin mengendorkan benang karet jiwaku. Dia butuh waktu untuk mengendorkan diri. Bila tidak benang karet itu akan putus, dan aku tidak tahu apa jadinya? Aku teringat dengan sebuah hadits “Yaa bilal..arrihna bishsholat” Wahai Bilal istirahatkan kita dengan sholat. Seharusnya sholat buat kita sebagai orang muslim benar-benar menjadi “wisata” yang mengendorkan kembali jiwa-jiwa kita yang tegang. Mengembalikan energi kita yang terkuras oleh rutinitas, kegagalan, suasana persaingan, egoisme manusia, naluri hewaniyah dan pusaran hawa nafsu kita sendiri yang mengungkung.

Kita butuh terminal pemberhentian, yang merecharge energi rukhiyah yang telah letih, untuk mendapatkan kesegaran kembali, menghadapi perjuangan kehidupan, mengemban banyak kewajiban, amanah, memperbaiki diri, memperbaiki keluarga … sebagai agen perubahan dalam masyarakat, karena memiliki potensi yang telah di karuniakan kepada kita.

---------------------

Hal favorit yang paling aku senangi ketika pulang ke Nganjuk adalah mengantar ibu ke pasar. Lucu ya anak laki-laki tetapi kesukaanya mengantar ke pasar tradisional. Mungkin karena sejak kecil aku sering diajak ke pasar bersama ibu itulah yang membuatku “jatuh cinta” ke pasar. Memasak adalah pekerjaan harian ibu, karena mempunyai rumah makan kecil “Warung Cocok”. Menu yang aku senangi adalah sayur asam khas Jawa Timur yang dominan rasa kêcutnya ketimbang sayur asam Solo yang lebih terasa manis. Sambal terasi pun berbeda antara sambal terasi orang Solo dengan sambal têrasi Jawa Timuran, kalau di Solo tidak ada tomat mentahnya, sedangkan sambal terasi yang telah kukenal sejak kecil selalu memakai tomat, bawang merah, bawang putih. Menu lain yang tidak ada di Solo adalah rawon, dan itu adalah favorit beratku. Karenanya ketika pulang ke Nganjuk, aku pasti merengek minta dibuatkan rawon atau sayur asam.

Pasar yang biasa dikunjungi ibu, letaknya di kelurahan Payaman di dalam wilayah kota. Dekat aliran cabang sungai yang bermuara ke sungai berantas. Pintu masuknya di ruas barat jalan Ahmad Yani, menyatu dengan kompleks pertokoan. Di dalamnya banyak lorong-lorong jalan yang di kanan kirinya blok-blok kios-kios. Batas antara lorong jalan dan kios, dipisah oleh saluran pembuangan yang ditutupi oleh jaring-jaring besi baja. Tidak ada penataan secara khusus penataan blok-blok pedagang. Sehingga kalau belum akrab dengan suasana pasar Nganjuk akan kebingungan mencari dimana blok sayur-sayuran, mana letak blok bumbu-bumbu, blok buah-buahan maupun blok pakaian.

Biasanya ibu diantar bapak naik sepeda motor lanang honda merah tahun 80-an. Tetapi untuk kali ini, kami bertiga memakai mobil L-100 warna hijau kekuningan ngêjréng. Biasanya bapak hanya menunggu saja di dalam mobil. Aku bersama ibu yang keliling-keliling menyusuri blok-blok kios penjual di pasar. Ibu sudah sangat hafal letak-letak pedagang-pedagang dan juga dihafali banyak orang. Hampir setiap orang yang berpapasan dengan kami selalu minimal mengangguk, menyapa hingga ngobrol-ngobrol singkat. Wah kayak selebritis saja ya, dikenal banyak orang, kalau bukan selebritis ya, public figure lah….he..he..he.

Bayangan itu…

yah… kayaknya aku sangat kenal. Dia tertunduk malu. Aku pun juga malu-malu menatapnya, sesekali pandangan mata kami bertatapan. Masya Allah, hatiku berdebar kencang. Tak menentu. Dia tersenyum malu. Kemudian segera menunduk. Dia cantik sekali. Memakai jilbab putih panjang menutup penuh hingga dada. Jubah yang dipakai besar, tetapi masih luwes dan enak untuk dipandang. Warna krem bercorak bunga-bunga dan ranting-ranting.

“Bu Mochtar.. bagaimana bu kabarnya? Kemarin kok tidak kelihatan di pertemuan di rumah bu Aziz?” tanya ibuku kepada sosok yang beliau panggil ibu Mochtar.

“Maaf bu Rahman, ini, kemarin saya kedatangan tamu, keponakan saya ini datang dari Purworejo, Aisyah” jawab bu Mochtar kepada ibuku, sambil melirik Aisyah yang tertunduk malu, kemudian dia melihat ibuku dan aku.

Ada saudara di sini tho Aisyah. Kok tidak pernah bercerita?” tanyaku setelah bertempur habis-habisan melawan kegalauan dan gejolak hati.

“Ya mas Karim, kita kalau bertemu selalu rapat kan tidak pernah bercerita panjang lebar tentang diri kita masing-masing.” Jawab Asiyah, secara samar aku lihat pipinya yang merona karena malu. Aduuuh ya Allah, aku benar-benar tidak ku…ku.. Dia benar-benar cantik.

“Iya..ya.. selama ini kalau ta’aruf di TPA hanya sebatas memperkenalkan asal fakultas dan tempat tinggal kos saja. Kita hanya mikir praktis-praktis saja, dan langsung kerja…” sekarang aku mulai lebih tenang, walaupun goncangan itu masih hebat kalau diukur dengan skala Richter bisa di atas 5.

“Kalian sudah sama kenal tho..? Dimana?” tanya ibuku kepada kami berdua.

“Di TPA masjid Sabililah bu” tanpa terencana, kami menjawab pertanyaan ibuku dengan serempak. Kami semua tersenyum. Sekali lagi hatiku terpesona, melihat senyumnya yang manis, cantik! Kemudian Aisyah mempersilakan aku menjelaskan.

“Kami sama-sama mengajar di TPA masjid Sabililah, waktu sore hari. TPA Sabililah letaknya dekat dengan kos kami di Solo bu.” jelasku, kali ini dengan mantap.

“Maaf ya bu Mochtar, Aisyah, kami harus melanjutkan belanja lagi, kasihan bapak kelamaan menunggu kami di dalam” ibuku meminta izin berpamitan, sembari bersalaman dengan bu Mochtar dan Aisyah. Dari cara ibuku berjabat tangan dengan Aisyah, aku bisa menangkap kalau ibuku sreg. Jabat tangannya lebih lama dan lebih lama menatap Aisyah.

“Kapan-kapan kita sambung lagi” kata ibuku mengakhiri pertemuan tadi. Kemudian menggandeng tanganku untuk berjalan ke depan.

“Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” aku juga ikut mengucapkan sepatah kata mengakhiri pertemuan itu. Tanpa berani menatap Aisyah dan hanya melihat sepintas wajah bu Mochtar sambil mengangguk dan tersenyum kepada beliau.

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh” jawab bu Mochtar dan Aisyah, sambil berjalan melanjutkan keperluan belanja mereka.

----------------

“Rim, Aisyah cantik ya?” tanya ibu. Kayaknya menggoda aku, mungkin kegalauan hatiku yang terekspresikan di wajahku dan bagian tubuhku yang lain ditangkap ibu ketika bertemu dengan Aisyah di pasar.

“Iya bu. lha ada apa tho ibu?” gantian ibu gait tubuhnya menunjukkan tidak enak dengan pertanyaan yang aku lontarkan.

“Kayaknya Aisyah gadis baik-baik, pinter ngaji[1] ya Rim?” ibuku gantian melontarkan pertanyaan kepadaku.

“Ya jelas dong bu, masa guru ngaji tidak bisa ngaji. Muridnya saja sudah ada yang khatam Al-qur’an” jawabku dengan pembelaan penuh.

“Maaf ya Rim, sebenarnya kamu sendiri tanpa Iqbal, kira-kira saat ini bisa mandiri ndak Rim? Maksud ibu…pendapatanmu ada kelebihan tidak?” Tanya ibu dengan wajah serius.

“Kalau untuk kelebihan memang ada, tapi saya tabung ibu, siapa tahu sewaktu-waktu ada kebutuhan bisa dipakai, wonten punopo tho bu[2]?” tanyaku dengan penasaran

“Sekali lagi ibu…minta maaf ya Rim. Sehabis dari pasar tiga hari yang lalu, bu Mochtar diam-diam menelfon ibu, beliau menanya serius tentang kamu, apakah kamu sudah siap menikah atau belum. Lalu ibu menjawab…iya. Kemudian beliau meminta fotomu dan ibu kasihkan untuk dikirim ke orang tua Aisyah di Purworejo. Sorenya ibu dengan bapak membicarakan masalah ini, malamnya sholat istikharoh beserta dua malam sesudahnya, akhirnya kami setuju dan mantap kalau Aisyah menjadi istri kamu sekaligus menantu bapak dan ibumu. Sekarang ada dua pertanyaan ibu yang pertama apakah kamu sudah benar-benar siap menikah? Yang kedua, apakah kamu setuju kalau Aisyah menjadi istri kamu?”

---------------------

Aku tidak pernah menyangka sama sekali kalau liburanku kali ini berakhir pada dua pertanyaan :

Apakah aku benar-benar sudah siap menikah?

Apakah aku yakin kalau Aisyah bisa hidup berdampingan denganku seumur hidupku?

Tugasku kali ini adalah mencari jawaban. Aku tidak pernah menyangka Aisyah yang selama ini menjadi partnerku dalam membimbing anak-anak didik TPA Sabililah, tiba-tiba menjadi penguasa dalam pikiranku. Bayangan wajahnya yang cantik masih melekat kuat di dalam otak dan hati serta emosiku. Aku tidak tahu, di bagian otak mana dia mengendap menjadi sosok nyata dalam imaginasiku.

“Ibu, Insya Allah saya siap menikah. Mengenai apakah saya setuju kalau Aisyah menjadi istri saya, mohon saya diberikan kesempatan untuk Istikharoh dulu. Kalau secara logika dan perasaan saya mau. Saya butuh mencari kemantapan dahulu, terutama secara rukhiyah. Oh ya, satu pertanyaan untuk ibu dan bapak, apakah tidak keberatan kalau Karim belum lulus jadi dokter sudah menikah, bu?” akhirnya aku bisa meluncurkan kalimat yang sarat akan keputusan dan butuh pemikiran yang berat untuk menjawabnya.

“Begitu ada kemantapan, segera menikahnya, jangan berlama-lama, nanti akan menjadi fitnah Rim, itu yang ibu dan bapak tidak mau kehendaki. Kedua kakakmu kan belum lulus dokter sudah pada menikah semua kan? Bapak dan ibu tidak keberatan kan Rim?” Kata ibu

”Iya karena mbak Fatimah dan mbak Malika kan, perempuan. Lha kalau Karim kan laki-laki, biasanya kan harus matang dulu. Kalau bagi Karim sendiri tidak masalah bu, menikah sebelum atau sesudah lulus dokter. Lha kalau bapak dan ibu bagaimana?” tanyaku balik

”Karim, menyelematkan dari fitnah itu jauh lebih penting buat bapak dan ibu dari pada harus menunggu lulus dokter. Ini masalah pertanggung jawaban besok di akhirat. Tidak usah pula memikirkan bagaimana keadaan keuangan bapak ibu, bagaimana mengembalikan utang-utang bapak ibu ya Rim” kata ibu sambil beliau membelai punggungku

Injih bu, Karim mengerti” kataku, walaupun pernyataan ibu yang terakhir sangat berat dan menusuk hatiku, namun aku mencoba berusaha memahami pikiran ibuku.

”Ya sudah, bapak dan ibu menunggu jawaban kematanganmu” kata ibu sambil mulai berjalan keluar dan menutup pintu kamar kembali.
-----------------------------------

Tiga hari berlalu. Aku habiskan banyak waktu membaca buku yang sudah lama aku beli tetapi belum sempat terbaca. Menulis. Aku sudah lama bercita-cita menulis sebuah buku. Buku tentang perlunya marketing dengan hati buat dokter. Aku melihat banyak hubungan antar dokter-dokter sekarang ini merenggang gara-gara “memperebutkan” pasien. Aku melihat banyak hubungan dokter dengan pasien yang kurang harmonis. Dokter dituntut malpraktik. Dokter dikesankan selalu kaya. Dokter adalah komunitas yang eksklusif. Dokter kinerjanya buruk. Dokter sering mangkir pada saat dibutuhkan. Dokter mudah menerima “suap” dari pabrik farmasi. Dokter tidak peduli pada pasien. Dokter orientasi operasi. Dokter Indonesia kurang canggih. Persepsi pasien; kalau mereka punya uang lebih baik periksa ke luar negeri saja. Dan sebagainya dan sebagainya.

Kehadiran Aisyah, pembicaraan serius untuk menikah telah merubah banyak rencanaku. Aku membaca buku, tapi halaman tidak segera berpindah. Aku menulis, tetapi tak satupun paragraf yang aku hasilkan. Pikiranku banyak menimbang-nimbang menikah dengan Aisyah atau tidak. Apakah Aisyah pilihan yang tepat buat mendampingiku, menghadapi hari-hari dengan segala dinamikanya yang aku suka maupun tidak. Tetapi yang lebih mendasar sebelum semuanya, yang merisaukanku adalah apakah Aisyah mau menikah denganku atau tidak. Aku sudah ada hati dengannya. Aku tidak bisa membayangkan betapa aku harus berusaha keras menata perasaan batinku terhadap P E N O L A K A N. Masih terbayang-bayang bagaimana kepedihanku ketika harus menghentikan hubunganku dengan Wulan. Kalau masih teringat itu, tetap saja air mata ini menetes tanpa aku sadari. Aku bukan manusia sempurna. Aku bukan orang yang sempurna seperti yang sering disebutkan murid-murid TPA kepadaku sebagai ustadz. Diidolakan oleh murid-muridku sebagai ustadz yang selalu menjaga hati, menjaga perilaku dan perbuatan. Untuk selalu berjalan di titian jalanNya. Diidolakan oleh murid-muridku karena mereka menganggap aku adalah sosok yang sempurna… serba bisa terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Aku selalu ditanyai mengenai berbagai masalah pribadi orang tua mereka di sela-sela mereka menjemput anaknya atau mereka datang sendiri menghampiriku ketika di masjid. Aku merasa seperti bunglon bisa berbuat baik dihadapan mereka. Aku pandai memilih topeng-topeng mana yang tepat ketika ia dibutuhkan dan ditempatkan. Aku bukan menjadi diriku sendiri. Tetapi ketika sendiri aku bisa seenaknya melakukan dosa. Aku juga gelisah seperti mereka, seperti orang tua mereka. Aku butuh teman “curhat”. Aku butuh teman pribadi yang benar-benar mengerti aku. Aku adalah manusia biasa. Rapuh. Aku butuh didukung. Aku hanya manusia biasa. Aku sudah lelah dituntut untuk sempurna….

Aku bisa memahami bagaimana beratnya amanah yang dipikul para nabi dan rasul, mereka dituntut untuk selalu ”sempurna”, mereka adalah tauladan yang sempurna, menjadi rujukan seluruh manusia hingga akhir zaman, benar-benar manusia pilihan. Betapa kejamnya para pengikutnya yang melukai hatinya hingga ada yang membunuhnya…

“Yaa Allah, berikan kekuatan pada hatiku. Berilah kelonggaran dan kelapangan hati menerima segala takdirmu. Kuatkan hatiku … untuk selalu bersegera ketika mendengar seruanMu.

Yaa.. Allah kalau Aisyah itu baik bagiku dan baik bagi agamaku, maka tanamkanlah pada hatiku keyakinan, kemantapan, serta berilah kemudahan bagi kami untuk menyegerakan urusan pernikahan kami…

Yaa.. Allah kalau Aisyah itu ternyata tidak baik bagiku dan agamaku, maka tampakkanlah urusan itu, mudahkanlah bagi hatiku dan perasaanku untuk bisa kembali seperti sedia kala, baikkanlah kembali hubungan kami, sama-sama sebagai ustadz/ustadzah di TPA Sabilillah.”

Doa yang aku lantunkan ketika sholat malam dan sholat istikharoh.

-------------------------

Tiga hari telah berlalu, siang hari aku habiskan untuk melarutkan diri dalam kesibukan bersama ibu di “Warung Cocok”nya dan bersama bapak di sawah. Kalau aku pulang apalagi dalam waktu yang lama dipastikan berat badan bertambah serta derajat kehitaman kulit juga bertambah. Aku ini anak petani yang mau naik kelas menjadi dokter. Kalau di”Warung Cocok”nya ibu, aku berperan sebagai pelayan “rumah makan”, mencatat yang dipesan tamu, aku serahkan catatan itu di dapur, ibu menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan, kemudian aku sendiri yang mengantarkannya ke meja tamu yang memesan. Untuk urusan pembayaran, biasanya langsung kepada ibu. Mungkin karena tampangku yang agak intelek, bukannya ge-er, ada tamu yang cewek beberapa kali mencoba mencuri pandang….he…he…he.. Aku sangat malu kalau ibu membuka rahasia diriku…

“Tadi yang ngelayani panjenengan mas dokter lho, sekarang baru Co-Ass di UNS”

“Nanti kalau pesan, sama mas dokter…ya..”

“Nanti makanan dan minumannya diantar mas dokter..”

Demikian juga ketika aku membantu bapak di sawah. Pekerjaanku kalau di sawah juga seperti kebanyakan pemuda-pemuda sekampung denganku. Mencangkul, nggejik[1] jagung atau kacang panjang, mencabuti tanaman-tanaman pengganggu di sekitar padi, memanen bahkan ketika air sulit seperti di musim kemarau ikut mengawasi pasokan air yang masuk ke petak sawah bapak. Untuk yang terakhir ini, seringkali bersitegang dengan tetangga, termasuk tetangga dekat sekalipun. Aku tidak malu melakukan hal-hal yang telah biasa aku lakukan sebelum aku kuliah di kedokteran. Mengapa harus malu? Aku anak petani. Aku bangga menjadi anak petani. Petani itu orangnya jujur, tidak pernah memanipulasi, bahkan sering dimanipulasi oleh pedagang, pengijon dan mandor bila petani tebu.

Seperti halnya yang dilakukan ibu ketika di”Warung Cocok”nya, bapak juga tidak kalah seru menceritakan putra putrinya yang menjadi dokter dan calon insinyur.

Kepada setiap orang yang dijumpai di sawah, ketika aku bersama bapak selalu bercerita kepada mereka…

“Karim ini dokter dari Solo…”

“Mas dokternya mau mencangkul pak…”

“Ini pak Jo, mas Dokter Karim mau ikut nggejik jagung…”

Aku tahu maksud ibu dan bapak, siapa orang tua yang tidak bangga dengan keberhasilan anaknya. Tapi tetap saja aku merasa risih…dan tidak nyaman. Satu pertanyaan buatku mengenai hal ini.

“Karim, Apakah anak-anakmu bisa berhasil seperti orang tuamu mendidik kamu?”

“Karim, Apakah istrimu nanti bisa melahirkan anak-anak yang shalih/shalihah?”

“Karim, Apakah sudah menyiapkan program pendidikan untuk kehidupan yang akan dihadapi oleh anak-anakmu dengan zamannya yang tidak kamu ketahui?”

---------------------

Akhirnya sampai juga pada kesempatan memberitahukan kemantapan hatiku untuk bisa dinikahkan dengan Aisyah.

“Ibu, bapak, terima kasih atas segala yang telah ibu dan bapak curahkan selama ini kepada Karim demikian juga dengan mbak Fatimah, mbak Malika, dik Iqbal dan dik Harun. Sehingga kami bisa menjadi orang-orang dewasa yang tahu dan sadar akan tanggung jawab dan kewajiban…”

“Ibu, bapak, tibalah waktunya bagi Karim untuk bisa mandiri secara ekonomi, mandiri secara batin, jiwa dan agama untuk membangun rumah tangga sendiri…” aku ucapkan itu dengan terbata-bata dan tak terasa air mataku meleleh menggenangi permukaan pipiku, karena yang terbayang dalam pikiran dan perasaanku adalah saat aku harus berpisah dengan kedua orang tuaku.

“Ibu, bapak, Setelah sholat istikharoh, Karim menemukan keyakinan dan kemantapan untuk bisa dinikahkan dengan Aisyah, tetapi Karim juga minta doanya kalau seandainya Aisyah ternyata tidak mau dengan Karim, Karim diberikan kekuatan hati untuk menerima kenyataan itu, masih bisa menyambung tali silaturahim dengan Aisyah seperti sedia kala, dan semoga Allah segera memberikan petunjukNya menemukan jodoh Karim yang lebih baik lagi…”

“Karim anakku, kita sebagai manusia wajib berusaha, itu saja, mengenai hasilnya itu adalah wewenang mutlak Allah SWT. Masalah perjodohanmu dengan Aisyah itu adalah usaha kita, siapa tahu Aisyah itu adalah jodoh kamu. Misalpun ternyata tidak, kita mendapatkan saudara baru… Aisyah dan keluarganya.” kata bapak dengan suara agak ngebas tetapi tenang…menunjukkan kematangan emosional beliau.

“Karim, sejak kecil hampir setiap hari kita dihadapkan dengan banyak keinginan kita yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ada keinginan dengan usaha ringan langsung bisa kita capai, ada pula dengan usaha keras baru bisa dicapai, ada pula dengan mati-matian mengurangi tidur, menguras uang, mengurangi jatah makan dan minum, seperti yang kamu usahakan dalam kuliah … baru insyaAllah bisa berhasil. Dari situ Ibu yakin mental kamu sudah terasah, kamu jadi lebih tegar, lebih kokoh dalam menghadapi segala macam peristiwa hidup yang itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Meski demikian sebagai manusia yang lemah, kita juga butuh teman “curhat”, insyaAllah ibu bisa menjadi teman curhatmu yang baik..anakku”

“Ibu dan bapak…akan segera memberi tahu tentang kemantapanmu kepada bu Mochtar malam ini juga” kata-kata ibu mengakhiri perbincangan kami bertiga… sembari bapak dan ibu bersiap-siap untuk silaturahim ke tempat bu Mochtar.

-----------------------

Malam berjalan terus menuju larut, menyapa makhluk-makhluk yang mereka lalui. Makhluk-makhluk itu meresponsnya dengan cara yang beragam, jam biologis manusia mengantarkannya, membuatnya memberikan respons ketika malam, dengan memejamkan mata, merelaksasikan otot-otot penopang tubuh, otot-otot kelopak mata ….. semuanya dalam keadaan rileks …. Santai …. Hanyut dalam tidurnya yang nyenyak. Makhluk lain justru meresponsnya dengan keluar, mencari karunia rizki yang telah diberikan Allah padanya yang juga keluar dan hadir di malam hari. Kehidupan berjalan dalam qadarNya. Di malam yang pekat ada kehidupan. Di siang yang terang menyengat ada kehidupan. Semuanya tunduk dalam kehendak Ilahi Robbi Allah SWT..

Ombak di lautan, angin gunung di pegunungan tiada jemu secara bergelombang menyapa apa yang dilaluinya, baik itu siang maupun malam. Mereka tiada jemu, tiada lelah, tiada bosan untuk terus-menerus melakukan itu…. Dalam ketundukan kepadaNya. Atas Izin-Nya mereka jinak terhadap manusia. Mereka tunduk pada manusia. Membuat manusia bisa menjelajah lautan pada saat siang maupun malam. Manusia bisa menyusuri dan menyibak setiap detil yang dilaluinya di gunung, baik siang yang terang ataupun di malam yang membutakan. Semuanya bisa dijinakkan dan ditaklukkan oleh manusia atas izin-Nya..

Ketika gunung-gunung itu diberikan amanah untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi, mereka ketakutan seraya menolak karena merasa tidak mampu. Hanya kita manusia makhluk yang lemah dan bodoh tetapi sombong dan merasa mampu mengemban amanah yang demikian berat itu. Allahu akbar. Alhamdulillah. Subhanallah. Astaghfirullahaladziim.

-------------------

Telephon berdering, diterima ibu. Beberapa saat kemudian ibu menghampiriku dengan wajah berseri-seri..

“Karim, tahu kabar apa yang akan ibu sampaikan kepadamu?”

“Jelas tidak tahu kan bu… Karim bukan ahli nujum yang tahu sak durunge winarah[1]

“Kamu nanti siang diantar bapak, mengurus surat-surat di kelurahan dan kecamatan ya…”

“Sebentar… sebentar… ada apa nggih ibu..? Karim belum faham?”

“Tadi barusan bu Mochtar tilfun, beliau dapat kabar dari Purworejo, kalau Aisyah mau kamu menjadi suaminya”

“Jadi Aisyah mau menikah dengan Karim bu?

“Yaa, tapi segera kamu urus semua proses administrasimu. Hari minggu kita ke Purworejo. Kita secara resmi akan mengkhitbah Aisyah”

“Benar bu?”

“Kamu kok tidak percaya sama ibu sih… B E N A R A I S Y A H M A U

S A M A K A M U R I M!!!”

“Alhamdulillah … ya bu, Karim segera berangkat ke kelurahan dan kecamatan” segera aku melakukan sujud syukur dan berkemas-kemas menyiapkan segala berkas untuk keperluan administrasi pernikahan.

Sisa waktu hari itu aku habiskan bersama bapak mengurus surat-surat untuk keperluan pernikahanku ke Purworejo. Hari itu juga surat-surat sudah beres.

“Karim, kamu tadi kalau jalan sudah seperti dokter le!” bapak memujiku

“Seperti dokter gimana bapak?”

“Jalanmu cepat, tegap dan berwibawa”

“Ah bapak ada-ada saja maturnuwun bapak”

“Oh ya besok gantian yang menyopir ya. Kamu, terus Iqbal dan Harun ke Purworejo”

“Inggih bapak”

“Jangan lupa surat-surat administrasimu kamu bawa juga”

“Inggih bapak”

“Sebentar Rim. Bapak mau nanya. Ini masalah sensitif. Kamu B I S A E R E K S I kan?”

“Ya bisa tho bapak. Setiap pagi bangun tidur mesti ya..”

“Ya sudah. Memang berarti kamu benar-benar layak untuk menikah. Bapak cuman khawatir saja.”

“Ah bapak, kalau tidak bisa ereksi mana berani aku minta dilamarkan Aisyah bapak.. bapak.. ha haa haa” bapak dan aku sama-sama tertawa.

Aku merasa baru kali ini begitu dekat dengan bapak. Bapak serasa seperti teman saja. Hari terus berlalu. Aku selesaikan pengepakan barang-barang yang akan dibawa besok ke Purworejo.

Malam itu aku benar-benar bisa tidur nyenyak. Memulihkan tenaga untuk perjalanan panjang besok. Nganjuk sampai Solo ditempuh selama empat jam. Solo sampai Purworejo juga ditempuh selama empat jam. Jadi total perjalanan selama delapan jam. Seusai sholat Subuh kami semua berangkat menuju Purworejo.

-------------------------

Perhelatan itu akhirnya terwujud juga. Aqad nikah itu berlangsung tepat satu hari sebelum masuk siklus Obgyn. Aku menikah sebelum lulus jadi dokter, bahkan siklus normal Co-Ass-ku belum selesai. Prosesi itu berlangsung di Masjid Agung Purworejo.

Datang sederetan mobil dengan satu mobil yang dikontraskan dengan lainnya dengan pita memanjang warna-warni. Di puncak mobil tampak sebuah keranjang rotan yang dipenuhi bunga tertata sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen keindahan bunga itu bisa memamerkan keindahan dan keanggunan yang dimilikinya. Orang yang melihat, walaupun tidak mengerti atau mengapresiasi seni, pasti dapat menyimpulkan itu adalah rombongan pengantin.

Aku dan rombongan keluarga dari Nganjuk sudah berada di masjid itu satu jam sebelumnya. Aku sendiri memakai jas warna mayonais, dengan baju koko putih gading di dalamnya. Sehelai sarung hijau daun dengan bahan dari katun dihiasi garis-garis hijau gelap melingkari perut. Memerankan sabuk, yang menutupi sambungan celana dan baju. Memakai peci hitam layaknya pemimpin Minang yang akan berbicara di depan kaumnya.

Tampak Aisyah dengan diapit bapak ibunya dan diiringi beberapa anggota keluarga memasuki pintu masjid. Pakaiannya sungguh mengesankan. Dengan gaun putih, kerudung putih, mahkota bunga-bunga warna perak, menambah anggun penampilannya. Yang membuatku tertegun, walaupun dari kejauhan aku dapat menangkap ada kerudung tambahan… luar biasa dari bunga melati! Penampilannya seperti mahkota cleopatra yang hampir menutupi seluruh rambutnya. Tetapi kali ini melati yang dironce menjadi kerudung. Beberapa kali aku menangkap sorot matanya yang kemudian tertunduk malu. Sungguh cantik.

Ijab qabul akan dilakukan di bagian tengah masjid beberapa meter menjauh dari tempat pengimaman.

“Apakah benar anda bernama Abdul Karim Abdullah?” tanya pak naib kepadaku

“Benar pak naib”

“Mas kawinnya cincin emas 24 karat 5 gram dan seperangkat alat ibadah”

“Benar pak naib”

“Sebagai wali dari pengantin wanita, bapak Rusli Muhammad, bapak kandungnya langsung?”

“Benar pak naib”

Ternyata menikah itu sederhana aku hanya mengucapkan “kuterima nikahnya Aisyah binti Rusli Muhammad dengan mas kawin cincin emas 24 karat 5 gram dan seperangkat alat ibadah tunai… dan … sah.. aku menjadi suaminya Aisyah” cuman itu saja.

Aku sudah resmi menjadi suaminya Aisyah. Antara Perasaan takjub, tak percaya dan aku merasakan beban besar dan berat serta mempengaruhi perjalanan hidupku ke depan semua menjadi satu. Aku sudah boleh menyentuhnya. Aku gandeng tangannya menuju mobil pengantin. Merasakan getaran-getaran yang tak menentu, baru kali ini menyentuh kulit lembut wanita yang sudah sah menjadi istriku. Berbunga-bunga rasanya hati, perasaan dan segala asa pun berpadu. Kulirik Aisyah dan matanya membalas tatapan mataku. Fuih… Begitu bahagianya diriku dan juga Aisyah.

Kebersamaan Yang Indah

Duhai pujaanku

Duhai belahan hatiku

Duhai Aisyah nan molek indah dan ayu

Duhai dambaan hatiku

Beberapa detik yang lalu

Masih terasa belenggu menghadang

Tapi kini

Semua begitu benderang

Berbunga-bunga semua asa

Membuncah semua kebahagiaan

Melihat terangnya jalan di depan

Bersama kita dalam dekapan

Merajut bersama jala untuk merengkuh kebahagiaan

Terbang bersama menuruni lembah dan menaiki gunung yang terjal

Bersama selalu menghadapi semua badai

Bersama merengkuh madu dunia yang indah

Bersama dalam kebersamaan yang indah

Semoga kita menjadi jodoh dunia dan akhirat

Amin


BERSAMBUNG...

[1] Tahu sebelum segala sesuatu terjadi


[1] menanam biji jagung atau kacang panjang dengan melubangi tanah memakai tongkat kayu yang diruncingkan, kemudian beberapa biji jagung atau kacang panjang dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.





[1] Ngaji dimaksudkan; bisa membaca Al-qur’an dengan tartil

[2] Ada permasalahan apa


No comments:

kebersamaan yang Indah kita

Daisypath Anniversary Years Ticker
zwani.com myspace graphic comments